Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamp Jenin tidak runtuh. Rumah-rumah hancur, orang mati, dan meskipun ternyata tak ada pembantaian massal di sana, kini segalanya adalah sebuah lubang besar hitam. Bukan, ia bukan sebuah liang lahat buat orang Palestina. Lubang hitam itu justru sesuatu yang mengarah ke Israel, dan menyedot apa yang selama ini melekat di wajahnya.
Dulu ia sebuah negeri dengan hikayat yang mengesankan tentang eksodus, seperti dikisahkan dalam novel Leon Uris, dulu ia sepetak bumi merdeka bagi para korban, sebuah tanah air bagi mereka yang terusir, sebuah rumah lama yang ditemukan kembali di wilayah Arab, setelah berabad-abad.
Hari ini potret-potret diri itu masuk di lubang hitam di Jenin.
Sejak 1967, apalagi setelah 2002, potret diri lain seharusnya muncul. Tony Judt di The New York Review of Books, 9 Mei 2002, menulis beberapa kualifikasi yang bisa disimpulkan seperti deretan fakta: kini Israel adalah sebuah kekuatan kolonial. Ia mengembangkan diri dengan menduduki wilayah luas yang bukan haknya. Ia mungkin negeri ke-4 terbesar di dunia dalam hal bangunan militernya. Si Daud telah menjadi Goliath, tapi belum sadar betul apa yang terjadi. "Orang-orang Israel sendiri buta terhadap ini," tulis Judt. "Di mata mereka, mereka tetap sebuah paguyuban kecil para korban yang mempertahankan diri dengan enggan dan tak berlebihan, melawan tantangan yang begitu besar…."
Kamp Jenin tidak runtuh, tapi di sana ada sesuatu yang sebenarnya sudah tampak pada sosok yang hancur para pengebom bunuh-diri. Dua minggu pertempuran. Helikopter-helikopter Israel menembakkan misil antitank ke rumah-rumah. Tapi orang Palestina siap mati. "Kelompok pengebom bunuh-diri ini menolak untuk menyerah," kata Jenderal Yitzhak Eitan, mungkin jengkel. Sebab penghuni kamp itu melawan. Tiga belas tentara Israel tewas. Pertempuran terjadi dari pintu ke pintu di satu bagian dari wilayah berpenghuni 13 ribu jiwa itu.
Tidak, di Kamp Jenin tak terjadi pembantaian. Tak seperti diberitakan sebelumnya, tak ada ratusan orang dibunuh. Kadoura Mousa Kadoura, direktur Al-Fatah di Tepi Barat bagian utara, mengatakan 56 orang Palestina gugur. Tapi ada yang tak kalah buruk bagi Israel: Kadoura menyebut Jenin sebuah kemenangan—dan ia tak sepenuhnya salah. Seperti dikatakan oleh seorang perwira Israel, "Jenin adalah Masada orang Palestina."
Menyebut "Masada" buat Palestina, sang musuh, adalah memakai sebuah perumpamaan secara luar biasa. Sebab hampir 2.000 tahun yang lalu, di Masada, di gurun pasir di tenggara Yerusalem, ada teladan keberanian—dan ia hanya datang dari orang Yahudi. Di tahun 73 Masehi, orang-orang Yahudi bertahan sampai orang terakhir gugur oleh serbuan pasukan Romawi, setelah dua tahun mereka dikepung. Kini puing-puing di pucuk gunung itu jadi pusaka nasional Israel. Maka, jika Jenin adalah "Masada Palestina", ber-artikah Israel yang berada dalam posisi imperium Romawi?
Jika demikian, sebuah potret-diri Israel yang baru pelan-pelan terbit, barangkali. Barangkali juga tidak. Apa pun yang terjadi, konflik adalah sebuah cermin. Ketika dua seteru saling menatap dan saling mengintai, apalagi dalam waktu yang lama, pihak "sini" melihat diri sendiri dengan memandang ke pihak "sana".
Kesalahan Israel adalah terlambat melihat dengan tepat. Amos Elon, salah satu dari sedikit orang Israel yang cermat pandangnya hari-hari ini, mengemukakan sebuah kenyataan yang umumnya luput dipandang: perang kemerdekaan Palestina telah di-"privat"-kan oleh para shahid. Para pengebom bunuh-diri telah mengubah pertempuran ke dalam sebuah medan yang nyaris mustahil dihadapi oleh sebuah negara dengan tentara besar. Israel harus menghadapi bukan organisasi teror satu atau dua biji. Israel kini juga harus menghadapi puluhan gerakan gerilya yang tak perlu koordinasi detik per detik, tak perlu pula menjaga jalan-jalan lari setelah menyerbu, sebab sukses seorang shahid adalah justru ketika ia tak kembali.
Dan itu juga berarti Israel menghadapi sebuah lawan yang mengalami evolusi dengan menakutkan. Dalam tulisan di The New York Review of Books, 23 Mei 2002, Elon membandingkan tahun 2002 dengan tahun 1967. Ketika Israel menang dan memasuki wilayah Arab di tahun 1967, tak ada perlawanan dari rakyat. Bahkan tampak penduduk mengelu-elukan dengan teriakan "shalom, shalom". Tapi 20 tahun kemudian, di tahun 1987, anak-anak muda melawan tentara pendudukan dengan batu, dan intifada pertama meletus. Hampir 20 tahun setelah itu, senjata batu dengan katapel berganti dengan senjata bom dibalutkan ke tubuh sendiri.
Yang terjadi bukan sekadar eskalasi. Yang terjadi adalah sebuah perlawanan yang menyebar ke samping tapi juga sekaligus merasuk ke dalam soal hidup-mati sendiri—sebuah gejala yang lebih meluas ketimbang para pengebom bunuh-diri pertama, yakni orang-orang Tamil di Asia Selatan. Ada yang total dalam perang Palestina, ketika sebuah hasrat menjadi ide, dan ide menyatu dengan badan, dan semuanya menyatu dengan sesuatu yang sakral dan sosial.
Dalam totalitas yang pedih itu, apa yang disebut kemenangan dan apa pula kekalahan memerlukan definisi lain. Dengan segala daya pukulnya, Israel ternyata tidak menang secara militer ataupun politik. Tapi juga Palestina tidak mengalahkannya. Israel akan tetap unggul di Timur Tengah, tetap didukung Amerika Serikat di dunia, tetap bisa beradu argumen—tapi semua itu tak relevan bagi sebuah lawan yang menang seraya hancur, yang hancur seraya meruntuhkan
Jenin luluh-lantak: sebuah lubang hitam, sebuah putus asa yang menelan hampir semua jalan keluar. Jalan keluar itu justru kini yang sangat dibutuhkan di Palestina, oleh siapa saja—yakni jalan keluar dari neraka ke dalam dunia.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo