TEMPO, 20 Juni 1992

Hasil Pemilu selalu saja menjadi silang pendapat antarpartai peserta. Masing-masing merasa tidak puas dengan berbagai alasan. Seperti juga yang terjadi dalam pemilu kali ini, berbagai tuduhan meruap: si A bagi-bagi uang, si B menyebar beras di kampung miskin, dan si C sengaja salah hitung. Kecurigaan terhadap kecurangan seperti itu selalu menghiasi pemilu kita. TEMPO edisi 20 Juni 1992 pernah menurunkan laporan utama soal itu. Saat itu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) membuat "buku putih" berisi daftar panjang kecurangan yang mengakibatkan kekalahan partainya. Golkar, sebagai partai pemerintah, saat itu memang menang besar. Mereka merengkuh lebih dari 80 persen suara. Perolehan itu membikin kaget petinggi Golkar sendiri, karena mereka cuma pasang target 73 persen. Kemenangan itu tak aneh. Dengan dana kampanye yang saat itu sampai Rp 50 miliar, mesin politik Partai Beringin bisa menjangkau hingga ke pelosok desa. Pesantren-pesantren, yang biasanya jadi basis suara PPP, pada pemilu saat itu sekitar 75 persen suaranya "jatuh" ke tangan Golkar. Kantong-kantong suara PDI juga sama saja. Meski dalam kampanye Partai Banteng itu bisa memerahkan berbagai kota seperti Jakarta, tetap saja Golkar berjaya dalam pemilu. Kekalahan itu konon disebabkan kecurangan Golkar. Ada 1.001 modus kecurangan yang dibeberkan oleh partai-partai yang kalah: anak-anak sekolah dimobilisasi untuk memilih Golkar, orang partai yang akan jadi saksi dipersulit, "serangan fajar" bagi-bagi uang bagi para pemilih. Kecurangan?meski angka dan kualitasnya makin kecil?memang sepertinya menjadi penyakit abadi dalam pemilu di Indonesia. n