Tak ada suasana sedih di kediaman Bung Hatta. Juga tak ada yang berpura-pura sedih. Jumat, pukul 18.58 WIB, 14 Maret 1980, proklamator itu wafat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Ketika rombongan jenazah Hatta melewati Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, ratusan orang berbondong-bondong menghormat. Sejumlah manusia mengibarkan spanduk putih bercat hitam dengan tulisan ”Selamat Jalan Bapakku.” Saat jenazah 77 tahun itu diturunkan ke liang lahad, hujan turun rintik-rintik di Pemakaman Tanah Kusir.
Buya Hamka, yang memimpin sembahyang di rumah almarhum dan membacakan doa di pemakaman, menangis di tengah kata-katanya. Paginya penghormatan lain diberikan. Se-orang laki-laki agak tua datang ke rumah Hatta di Jalan Diponegoro, masuk ke kamar jenazah, dan minta diizinkan menyanyikan lagu rohani. Wongso Widjaja, sekretaris pribadi Hatta sejak 1943, mengeluh. ”Saya tidak tahu ke mana saya harus pergi. Wafatnya Bung Hatta adalah pukulan terberat bagi saya,” katanya.
Semua orang kehilangan Hatta. Tak cuma pada hari itu, tapi bahkan juga 22 tahun kemudian. Pada 12 Agustus 2002, orang merayakan 100 tahun hari kelahirannya. Dan sekaligus merindukannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini