Daya: Kilas Pemikiran Sosial dalam Foto
Penulis : Fred Hehuwat, Helen Lok, Didid Adi Dananto. Pemotret: Freddy
Penerbit : Bandung: Ashoka Indonesia & Ford Foundation, 2002. Tebal: 168 hlm.
Barangkali ini pertanda zaman. Sementara tentara sibuk bergerilya memasang spanduk "perdamaian" di pojok-pojok kota, sejumlah aktivis dan lembaga swadaya masyarakat malah serius melancarkan kampanye yang terencana dan terorganisasi rapi. Salah satu buktinya adalah buku Daya: Kilas Pemikiran Sosial dalam Foto, yang baru saja diluncurkan oleh organisasi sosial nirlaba, Ashoka Indonesia.
Dilengkapi 250 lebih gambar fotografi, diproduksi di percetakan profesional, dan dijual Rp 200 ribu, terbitan ini tergolong bacaan mewah. Sesuai dengan misinya untuk mendukung individu dengan ide-ide inovatif dalam memajukan kondisi masyarakat, apa yang disajikan Ashoka dalam buku ini adalah visualisasi sepak terjang para "wirausahawan" dan "inovator" sosial di berbagai LSM.
Di antaranya adalah Kak WeEs dengan Rumah Dongengnya yang berlokasi di sepetak lahan di antara kamar-kamar kontrakan, jemuran tetangga, dan kakus umum, nun di Bantul sana. Kak WeEs—panggilan akrab Wachidus Sururi Ibnoe Sayy—pandai memerankan seribu satu watak. Dalam cerita dewa nan bijaksana atau binatang paling hina, puluhan bocah dibuatnya terpaku, menyimak nilai-nilai kehidupan lewat kisah jenaka macam "si ulat dan kupu-kupu".
Lantas di Jakarta ada Suzana, yang berkata ke seluruh dunia: dirinya penderita HIV+. Sikap ini bukan tanpa risiko. Tapi menyadari bahwa berbagai upaya yang ada selama ini masih mengabaikan mereka yang justru sakit, perempuan cantik, cerdas, dan penuh gelora ini memilih untuk secara terbuka menjadi sahabat, guru, dan contoh bagi masyarakatnya.
Alhasil, melalui esai foto semacam ini kita mendapat gambaran yang gamblang, bukan cuma tentang hakikat aktivisme sosial, tapi juga tentang betapa luas cakupannya di pelosok Negeri: mulai dari penyelenggaraan pendidikan anak dan perempuan, pembangunan akses informasi, pelestarian lingkungan, hingga pemberdayaan masyarakat adat. Maka, kendati Ashoka hanya memprofilkan tak sampai seperempat dari 89 "inovator" yang mereka dukung di seluruh Indonesia, boleh jadi buku ini akan berhasil melakukan apa yang tak dapat dicapai ratusan halaman makalah di berbagai seminar.
Tentu ini bukan konsep baru. Para pemikir dan pekerja sosial Inggris, misalnya, sudah sejak pertengahan abad ke-19 menganggap fotografi sebagai medium yang tepat dalam mengungkapkan berbagai kondisi masyarakat. Di Amerika Serikat, rekaman foto Jacob Riis dan Lewis Hine, yang dibuat pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, malah berhasil membuat pemerintahnya memperbaiki undang-undang yang berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan pekerja anak.
Bagaimana dengan Indonesia? Sejak perubahan politik dan ekonomi yang melanda negeri ini, paling tidak ada dua buku yang memelopori kecenderungan itu di Indonesia. Tahun lalu, misalnya, Aliansi Jurnalis Independen menerbitkan buku foto berformat luks tentang Timor Timur, karya fotografer harian Kompas Eddy Hasbi. Sebelum itu, pada 1997, pernah muncul Menghadang Mentari Pun Tak Peduli, album foto yang memuat imaji-imaji yang sangat menyentuh karya para pekerja seks Bandungwangi.
Namun, upaya terbesar untuk memvisualkan pemikiran sosial, ironisnya, justru terjadi di zaman penjajahan. Misi-misi keagamaan pada saat itu, misalnya, kerap menyertakan ilustrasi foto yang dibuat oleh pastor atau pendetanya sendiri dalam selebaran yang mereka kirim ke umat. Di kalangan sekuler bahkan pernah ada tokoh macam Hendrik Tilema, yang dijuluki "Multatuli Fotografi". Pengusaha asal Semarang ini menerbitkan belasan buku bergambar yang menyoroti kondisi lingkungan, kesehatan, dan perumahan pribumi yang mengenaskan. Dengan cara ini, misalnya, ia pernah memaksa pemerintah kolonial membangun saluran air bersih di kampung-kampung.
Salah satu kelemahan dari penggunaan fotografi untuk misi sosial ialah sering diabaikannya hal-hal yang bersangkutan dengan persoalan estetika atau seni. Itu juga terjadi pada Daya, yang berkurang nilainya sebagai sebuah buku foto akibat berbagai masalah teknis—mulai dari penguasaan sang fotografer terhadap cahaya dan komposisi, pencetakan foto, hingga penyuntingan.
Sikap penerbit yang menganggap bahwa fotografi bisa menyampaikan beragam pesan "secara sederhana" jelas tidak membantu. Fotografi, sebagaimana dengan tulisan, adalah bahasa yang juga memiliki kaidah, tata bahasa, dan estetikanya yang khas. Maka, mencermati profesionalisme dan kemampuan organisasi Ashoka, barangkali ada baiknya bila mereka juga menyisihkan sedikit modal agar Freddy, fotografer buku Daya, bisa lebih meningkatkan kemampuannya di masa depan.
Terlepas dari itu semua, Ashoka telah melakukan beberapa terobosan penting. Pertama, dengan cara menguasai medan dan modus komunikasi yang biasanya didominasi pemodal dan penguasa. Kedua, dengan memberi wajah dan suara pada suatu lapisan masyarakat yang sepanjang rezim Orde Baru seperti tak terlihat. Alhasil, melalui buku ini organisasi sosial tersebut turut menghidupkan kembali semangat pluralisme dan demokrasi di dalam masyarakat.
Lantas, adakah yang lebih damai dan indah daripada itu?
Yudhi Soerjoatmodjo, Direktur "i see"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini