PARA pengambil kebijakan di Departemen Keuangan, Lapangan Banteng, Jakarta, kini tengah diliputi kepercayaan diri yang be-gitu kuat. Setidaknya itulah sinyal yang tertangkap ketika pemerintah mematok sejumlah asumsi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2003. Sebut saja angka pertumbuhan ekonomi dalam rancangan APBN 2003 yang berkisar 4,5-6 persen atau angka inflasi yang berada pada posisi 7 sampai 9 persen.
Pada pekan-pekan ini, tak ada ekonom atau lembaga riset yang berani mematok angka pertumbuhan ekonomi Indonesia setinggi itu. Mengapa? Banyak faktor yang membuat mereka berbeda dengan pemerintah. Paling tidak, perekonomian nasional yang masih naik-turun dan perekonomian Amerika Serikat—barometer perekonomian dunia—yang justru kembali menurun membuat mereka bersikap hati-hati ketika membuat proyeksi anggaran tahun depan. Hal itu bisa dilihat dari penetapan angka pertumbuhan ekonomi. Mereka menetapkan angka 4,5 persen sebagai batas tertinggi pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai Indonesia, sementara bagi pemerintah angka tersebut justru batas terendah. Betulkah pemerintah terlalu optimistis?
Menurut staf ahli Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, asumsi RAPBN 2003 tidak bisa dibilang terlalu optimistis. Kalaupun angkanya tinggi, itu semua ada dasarnya. Dia menegaskan bahwa ada banyak alasan yang mendasari keyakinan pemerintah bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan akan bisa mencapai 4,5-6 persen. Salah satu alasan itu ialah pertumbuhan ekspor Indonesia. Meskipun ekspor selama enam bulan pertama 2002 turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, untuk pertama kalinya sepanjang tahun ini ekspor bulanan Indonesia mencapai US$ 5 miliar pada Juni lalu. "Ada kemungkinan besar ekspor akan terus naik pada enam bulan berikutnya," kata Anggito.
Faktor lain adalah penyelesaian kredit macet usaha kecil menengah dan penjualan aset kredit di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Anggito meyakini bahwa kedua langkah ini akan mendorong perbankan menjalankan kembali fungsi intermediasi. Uang akan mengalir dari perbankan ke sektor usaha. Dan ini sudah terlihat dari laporan bulanan Bank Indonesia. Pada Juni lalu, kredit baru yang dikucurkan perbankan mencapai Rp 7,6 triliun, naik hampir dua pertiga dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Perkembangan ini paralel dengan terus menurunnya tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang pekan lalu beringsut ke 14,87 persen. Pada gilirannya sektor usaha akan menggeliat dan produksi juga akan meningkat.
Kenyataan bahwa perekonomian dalam beberapa bulan terakhir ini membaik juga diakui oleh ekonom Indef, Dradjad H. Wibowo. Indef sendiri, katanya, sudah mengoreksi angka pertumbuhan tahun ini dari semula 2,86 persen menjadi 3,48 persen. Hal ini dilakukan antara lain karena pertumbuhan konsumsi yang cukup signifikan selama enam bulan pertama 2002. Salah satu indikasinya adalah penjualan mobil sepanjang semester pertama tahun ini yang mencapai 158.655 unit atau naik hampir tujuh persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Pusat bisnis eceran juga terus dibangun seperti di kawasan Jakarta Pusat dan Bekasi.
Tapi, untuk tahun depan, Dradjad punya segepok catatan yang membuatnya berhati-hati ketika meramalkan perekonomian Indonesia. Salah satu hal yang membuat Indef agak konservatif dengan hanya mematok pertumbuhan ekonomi 2003 sebesar 3,5-4 persen adalah tingkat persetujuan investasi yang jauh menurun dibandingkan dengan tahun lalu, baik investasi asing (penanaman modal asing/PMA) maupun domestik (penanaman modal dalam negeri/PMDN).
Data yang ada di Bank Indonesia mengonfirmasikan kekhawatiran Indef. Selama lima bulan pertama tahun ini, investasi asing yang disetujui hanya mencapai US$ 1,6 miliar—tak sampai separuh dari nilai investasi tahun sebelumnya. Begitu pula investasi dalam negeri, yang turun dari 12,6 triliun pada lima bulan pertama tahun 2001 menjadi Rp 9,2 triliun pada periode yang sama tahun ini.
Menurut Dradjad, jika faktor yang menghambat investasi seperti keamanan dan ekonomi biaya tinggi bisa dikurangi, dia yakin Indonesia bisa tumbuh sekitar empat persen pada tahun depan. Namun, jika kondisinya tetap seperti sekarang atau bahkan lebih buruk, untuk mencapai 3,5 persen saja sulit. Ekonom senior M. Sadli sependapat.
Katanya, jika Indonesia ingin tumbuh lebih cepat, salah satu kuncinya adalah investasi. Selama investasi asing masih seperti sekarang—trennya menurun antara lain karena lemahnya penegakan hukum—sulit bagi Indonesia untuk tumbuh lebih cepat dari empat persen. Inilah yang membuat Indonesia makin tertinggal dari Korea Selatan dan Cina. Di kedua negara tersebut, investasi tetap tinggi dan menyerap lebih dari tiga perempat investasi yang digelontorkan negara maju di kawasan Asia Pasifik.
Apalagi kontraksi perekonomian Amerika Serikat diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan ketiga tahun ini. Ekonomi Negeri Abang Sam memang bisa tumbuh di atas lima persen pada triwulan pertama 2002, tapi pada triwulan kedua pertumbuhannya hanya sedikit di atas satu persen. Dampaknya tentu akan terasa juga di Indonesia, terutama karena konsumsi penduduk negara superkuat itu akan berkurang dan ujung-ujungnya mengurangi permintaan barang buatan Indonesia. Indikasinya juga mencolok: ekspor Indonesia ke AS selama empat bulan pertama tahun ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Padahal perekonomian AS pada tahun lalu jauh lebih buruk ketimbang tahun ini.
Lembaga-lembaga riset asing pun mematok angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat rendah, baik tahun ini maupun tahun depan. JP Morgan, misalnya, meramalkan perekonomian Indonesia akan tumbuh 3,3 persen pada tahun ini dan akan meningkat menjadi 3,8 persen pada tahun depan. Walhasil, jika pemerintah tetap dengan asumsi dan angka-angka yang tinggi, aparat pemerintah harus siap-siap bekerja lebih keras.
Selain aparat pajak, aparat penegak hukum perlu berusaha keras menegakkan pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Tidak mudah memang, tapi prestasi memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), misalnya, akan dicatat oleh lembaga pemeringkat seperti PERC dan dipantau oleh investor asing.
Dan tidak kurang penting dari itu adalah kinerja aparat pemerintah yang berada di garis terdepan perdagangan internasional ataupun lokal. Kalau pungutan liar masih bersimaharajalela, ekonomi biaya tinggi akan terus menghantui pelabuhan sehingga akan menghambat dan menyebabkan ekonomi Indonesia tidak bisa tumbuh lebih cepat.
M. Taufiqurohman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini