Wacana perlunya berkampanye bagi calon presiden merebak. Pelontarnya adalah Dahlan Ranuwiharjo, yang mengambil contoh kegiatan serupa dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat. Isu ini lalu ditanggapi berbagai pihak, termasuk para ketua partai, pejabat negara, hingga Presiden Soeharto, orang kuat dan nomor satu selama berpuluh-puluh tahun di negeri ini.
Pak Harto—begitu dia biasa disapa—menyebut kampanye untuk calon presiden tidak perlu. Soalnya, seorang presiden hanya menjalankan mandat dari MPR. Nah, kalau berkampanye, itu namanya menjalankan program sendiri, bukan program dari MPR—begitu katanya. Soeharto pantas yakin dengan ucapannya. Sebab, ketika itu, ia mutlak tak punya pesaing buat melaju menuju kursi RI-1.
Kekuatan dan nama besar Soeharto inilah yang kembali dijual dalam musim kampanye kali ini. Biarpun dia sudah lengser lebih dari lima tahun lalu, nostalgia kepemimpinan Soeharto menjadi jargon kampanye Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Untuk meraup massa yang kangen dengan suasana Orde Baru, Jenderal (Purn.) R. Hartono—ketua partai ini—mengaku dirinya antek Soeharto.
Toh, bagi PKPB dan Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, yang diusung buat menjadi presiden dari partai ini, mengkampanyekan Soeharto adalah sebuah keniscayaan. Jadilah putri pertama Soeharto ini wira-wiri ke berbagai pelosok, berkampanye untuk dirinya dengan menjual nama ayahnya, sesuatu yang dulu bahkan tak pernah dilakukan Soeharto.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini