Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, benarkah intelijen lemah sehingga banyak muncul aksi teror?
(Periode 27 April-4 Mei 2011) |
||
Ya | ||
80,37% | 307 | |
Tidak | ||
17,80% | 68 | |
Tidak Tahu | ||
1,83% | 7 | |
Total | 100% | 382 |
DALAM dua bulan terakhir, Indonesia kembali dirundung teror bom. Meski skalanya kecil dan sporadis, tetap saja publik merasa terancam dan cemas. Dimulai dari serangan bom buku yang melukai seorang perwira polisi pada Maret lalu sampai bom bunuh diri di masjid kepolisian Cirebon, Jawa Barat, April lalu. Terakhir, Detasemen Khusus 88 membongkar rencana pengeboman Gereja Christ Cathedral Serpong, Tangerang, dan menggulung komplotan pelakunya akhir April lalu.
Teror bom ini membuat kewaspadaan masyarakat meningkat. Banyak benda mencurigakan dilaporkan sebagai bahan peledak. Walhasil, polisi dan tim Gegana pun mondar-mandir menjinakkan aneka bentuk benda asing yang dicurigai sebagai bom.
Publik menuding petugas intelijen tak sigap mengantisipasi ancaman maut ini. Sentimen ini diwakili oleh Wakil Ketua Komisi Pertahanan dan Keamanan Dewan Perwakilan Rakyat Mahfudz Siddiq. Politikus Fraksi Partai Keadilan Sejahtera ini menilai kemampuan aparat intelijen Indonesia lemah. "Tidak bisa melakukan pencegahan dini," katanya menyesalkan.
Dituding seperti itu, Kepala Badan Intelijen Negara Sutanto punya jawaban. Menurut dia, peraturan yang saat ini ada justru menyulitkan intel bekerja. "Undang-undang yang ada sekarang tidak bisa dipakai menjerat orang yang menganjurkan kebencian dan memicu terorisme," katanya. Selain itu, beleid pegangan polisi ini juga mewajibkan adanya dua alat bukti yang meyakinkan sebelum menyidik seseorang. "Proses hukum ini tidak mudah, apalagi perangkat hukum kita tidak memadai," kata Sutanto.
Tapi publik rupanya tak mau tahu. Sebagian besar pembaca Tempo Interaktif, misalnya, menilai petugas intelijen lambat merespons ancaman teror bom. Yang menilai sebaliknya dan memuji kesiapan intel hanya 17,8 persen.
Indikator Pekan Ini
Kepala Desk Antiterorisme Gedung Putih John Brennan menyatakan kematian Usamah adalah pukulan berat bagi jaringan Al-Qaidah di Pakistan dan Afganistan. ”Kematian Usamah memastikan kami dapat menghancurkan organisasi ini,” katanya di televisi NBC, Amerika Serikat, awal Mei lalu. Yang tak sepakat bukannya tak ada. Sejumlah pemimpin dunia menilai kematian Usamah akan memicu aksi balasan dari jaringan Al-Qaidah di berbagai penjuru dunia. Menteri Pertahanan Australia Stephen Smith memperingatkan bahwa balasan bisa terjadi kapan pun. ”Bisa di kota-kota di Amerika Serikat atau Eropa.” Menurut Anda, setelah terbunuhnya Usamah bin Ladin, apakah aksi terorisme akan mereda? Kami menunggu tanggapan Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo