Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Tiket Jembatan Gantung Situ Gunung

PADA Minggu, 26 Mei 2019, kami sekeluarga berkunjung ke obyek wisata Situ Gunung, Kecamatan Kadudampit, Kabupa­ten Sukabumi, Jawa Barat, kira-kira 10 kilometer dari Kota Sukabumi.

29 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Surat/Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tujuan kami ke sana sebenarnya untuk melihat Jem­batan Gantung Situ Gunung, obyek wisata baru yang ko­non katanya merupakan jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara yang diresmikan oleh Menteri Koordinator Kemari­timan, Bapak Luhut B. Panjaitan, sekitar tiga bulan yang lalu.

Di pintu gerbang, kami diminta membayar Rp 47 ribu untuk dua orang dewasa dan dua anak, termasuk buat biaya parkir kendaraan. Setelah berada di dalam kawasan, kami diberi tahu bahwa uang yang telah kami bayarkan adalah untuk obyek wisata lama, yang sudah kami kenal dan tidak me­na­rik perhatian kami lagi. Sedangkan untuk mengunjungi Jembatan Gantung, kami berempat diharuskan membayar lagi sebesar Rp 150 ribu di loket kedua di dalam kawasan. Di tengah berlangsungnya debat kecil dengan petugas, kami me­nyak­sikan beberapa pengunjung calon perwira polisi yang berada di Sukabumi, dalam rangka menjalani pendidikan di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia, diloloskan dari kewajiban membayar tiket masuk.

Merasa dijebak, kami membatalkan niat untuk melihat obyek wisata baru tersebut. Kami ingat komitmen Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan sektor pariwisata seba­gai sektor andalan dan penggerak utama pertumbuhan eko­nomi. Berulang kali pula beliau mengkritik pejabat daerah yang hanya pandai membuat peraturan dan menarik pu­ngutan yang menghambat pertumbuhan ekonomi serta kese­jahteraan masyarakat. Bila dipikir, di kota dan kabupaten di Sukabumi terdapat cukup banyak situs dan peluang yang da­pat dikembangkan atau lebih dioptimalkan dalam sektor pariwisata.

Yang diperlukan adalah inovasi dan komitmen pemimpin daerah untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai pengge­rak perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalah bukan hanya dalam bidang pariwisata. Kota Suka­bumi, misalnya, belum memiliki bangunan pasar yang repre­sentatif. Di atas lahan terminal bus lama, yang telah direlokasi beberapa tahun lalu, telah dibangun ratusan kios pedagang pasar. Proyek tersebut belum ada kelanjutannya hingga kini.

Kurniatan A.

Sukabumi, Jawa Barat


 

Soal Simpatisan ISIS

LIPUTAN Tempo edisi 17-23 Juni 2019 bertajuk “Para Pengejar Mimpi ISIS” di Raqqah, Suriah, sangat menarik dan mudah-mudahan menyentak pemimpin bangsa ini betapa rumitnya persoalan pengembalian mereka, mantan anggota kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), ke Indonesia. Bak makan buah simalakama: tidak dikembalikan kasihan menyaksikan penderitaan saudara-saudara kita ini, tapi ka­lau dikembalikan menjadi benalu bagi bangsa karena para pentolan radikalis dan Hizbut Tahrir Indonesia telah siap merekrut mereka.

Sahih sekali pernyataan Kepala Badan Nasional Pe­nanggulang­an Terorisme Suhardi Alius: “Ini bukan sekadar mengembalikan orang, tapi bagaimana memu­lihkan mereka kembali ke pang­kuan ibu pertiwi; men­cintai NKRI, Pancasila, UUD 1945; meneri­ma keberagam­an; dan, intinya, talak tiga dengan khilafah yang absurd dan utopia.”

Saya ingin berbagi pikiran soal pengembalian eks ang­gota ISIS dari Suriah:

1. BNPT harus menyeleksi lebih dulu simpatisan yang kom­batan dan non-kombatan sebelum menempatkan mereka dalam cluster yang berbeda.

2. Dalam cluster tersebut, mereka harus mengikuti pe­la­tihan, penataran, dan bimbingan tentang Nega­ra Ke­satuan Republik Indonesia dan Islam dari tokoh nasio­nal serta ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadi­yah.

3. Mereka harus lulus teori dan praktik dari poin 2.

Jika pemerintah berhasil menjalankan proses ini, sehingga eks anggota ISIS tersebut kembali ke pangkuan ibu pertiwi; menjadi warga negara yang cinta NKRI, Panca­sila, dan Undang-Undang Dasar 1945; serta men­ja­di muslim Nusantara yang menghargai perbedaan dan keberagaman, mereka akan menjadi front line, ujung tombak, dan instruktur untuk merekrut serta menya­darkan anggota HTI dan para radikalis.

Sebaliknya, jika BNPT gagal, mereka akan bergabung lagi dan memperkuat barisan radikalis serta HTI yang saat ini masih eksis dan mungkin hanya berganti baju. Betul apa yang dikatakan oleh Menteri Pertahanan: enggak usah balik, berjuang saja di sana sampai mati.

Taufik A. Wumu

Jakarta Selatan

 


 

Tanggapan Iklan Unpar

MENANGGAPI surat Saudara Oman Fathurahman (majalah Tempo edisi 17-23 Juni 2019) yang merespons artikel iklan Program Filsafat Budaya Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung (majalah Tempo edisi 10-16 Juni 2019), pertama-tama, kami ucapkan terima kasih atas catatan Anda tentang budaya literasi. Namun yang saya maksud sudah barang tentu bukan sebelum 1998 tidak ada kultur literasi atau tak ada karya tulis bermutu sama sekali di Nusantara ini, melainkan bahwa kebiasaan membaca dan menulis belum merupakan pola mental utama masyarakat umum, belum merupakan paradigma budaya pokok yang menentukan pola pikir dan perilaku masyarakat. Saya kira jelas juga bahwa langgam dasar mental masyarakat kita umumnya masih berada dalam paradigma kultur lisan, yang kini justru diperparah oleh kultur chatting di media sosial. Sudah menjadi keluhan umum bahwa kemampuan membaca dan kualitas tulisan pelajar ataupun mahasiswa—bahkan hingga level doktorat sekalipun—masih sangat memprihatinkan. Pengalaman saya pribadi selama mengajar lebih dari 35 tahun pun menunjukkan hal itu.  Sekali lagi, terima kasih atas tanggapannya. Di era post-truth ini, salah tangkap adalah suatu kelaziman juga.

Bambang Sugiharto

Guru besar filsafat Universitas Katolik Parahyangan

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus