Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuan kami ke sana sebenarnya untuk melihat Jembatan Gantung Situ Gunung, obyek wisata baru yang konon katanya merupakan jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara yang diresmikan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman, Bapak Luhut B. Panjaitan, sekitar tiga bulan yang lalu.
Di pintu gerbang, kami diminta membayar Rp 47 ribu untuk dua orang dewasa dan dua anak, termasuk buat biaya parkir kendaraan. Setelah berada di dalam kawasan, kami diberi tahu bahwa uang yang telah kami bayarkan adalah untuk obyek wisata lama, yang sudah kami kenal dan tidak menarik perhatian kami lagi. Sedangkan untuk mengunjungi Jembatan Gantung, kami berempat diharuskan membayar lagi sebesar Rp 150 ribu di loket kedua di dalam kawasan. Di tengah berlangsungnya debat kecil dengan petugas, kami menyaksikan beberapa pengunjung calon perwira polisi yang berada di Sukabumi, dalam rangka menjalani pendidikan di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kepolisian Republik Indonesia, diloloskan dari kewajiban membayar tiket masuk.
Merasa dijebak, kami membatalkan niat untuk melihat obyek wisata baru tersebut. Kami ingat komitmen Presiden Joko Widodo yang ingin menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan dan penggerak utama pertumbuhan ekonomi. Berulang kali pula beliau mengkritik pejabat daerah yang hanya pandai membuat peraturan dan menarik pungutan yang menghambat pertumbuhan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Bila dipikir, di kota dan kabupaten di Sukabumi terdapat cukup banyak situs dan peluang yang dapat dikembangkan atau lebih dioptimalkan dalam sektor pariwisata.
Yang diperlukan adalah inovasi dan komitmen pemimpin daerah untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai penggerak perekonomian dan kesejahteraan masyarakat setempat. Masalah bukan hanya dalam bidang pariwisata. Kota Sukabumi, misalnya, belum memiliki bangunan pasar yang representatif. Di atas lahan terminal bus lama, yang telah direlokasi beberapa tahun lalu, telah dibangun ratusan kios pedagang pasar. Proyek tersebut belum ada kelanjutannya hingga kini.
Kurniatan A.
Sukabumi, Jawa Barat
Soal Simpatisan ISIS
LIPUTAN Tempo edisi 17-23 Juni 2019 bertajuk “Para Pengejar Mimpi ISIS” di Raqqah, Suriah, sangat menarik dan mudah-mudahan menyentak pemimpin bangsa ini betapa rumitnya persoalan pengembalian mereka, mantan anggota kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), ke Indonesia. Bak makan buah simalakama: tidak dikembalikan kasihan menyaksikan penderitaan saudara-saudara kita ini, tapi kalau dikembalikan menjadi benalu bagi bangsa karena para pentolan radikalis dan Hizbut Tahrir Indonesia telah siap merekrut mereka.
Sahih sekali pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius: “Ini bukan sekadar mengembalikan orang, tapi bagaimana memulihkan mereka kembali ke pangkuan ibu pertiwi; mencintai NKRI, Pancasila, UUD 1945; menerima keberagaman; dan, intinya, talak tiga dengan khilafah yang absurd dan utopia.”
Saya ingin berbagi pikiran soal pengembalian eks anggota ISIS dari Suriah:
1. BNPT harus menyeleksi lebih dulu simpatisan yang kombatan dan non-kombatan sebelum menempatkan mereka dalam cluster yang berbeda.
2. Dalam cluster tersebut, mereka harus mengikuti pelatihan, penataran, dan bimbingan tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Islam dari tokoh nasional serta ulama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
3. Mereka harus lulus teori dan praktik dari poin 2.
Jika pemerintah berhasil menjalankan proses ini, sehingga eks anggota ISIS tersebut kembali ke pangkuan ibu pertiwi; menjadi warga negara yang cinta NKRI, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar 1945; serta menjadi muslim Nusantara yang menghargai perbedaan dan keberagaman, mereka akan menjadi front line, ujung tombak, dan instruktur untuk merekrut serta menyadarkan anggota HTI dan para radikalis.
Sebaliknya, jika BNPT gagal, mereka akan bergabung lagi dan memperkuat barisan radikalis serta HTI yang saat ini masih eksis dan mungkin hanya berganti baju. Betul apa yang dikatakan oleh Menteri Pertahanan: enggak usah balik, berjuang saja di sana sampai mati.
Taufik A. Wumu
Jakarta Selatan
Tanggapan Iklan Unpar
MENANGGAPI surat Saudara Oman Fathurahman (majalah Tempo edisi 17-23 Juni 2019) yang merespons artikel iklan Program Filsafat Budaya Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung (majalah Tempo edisi 10-16 Juni 2019), pertama-tama, kami ucapkan terima kasih atas catatan Anda tentang budaya literasi. Namun yang saya maksud sudah barang tentu bukan sebelum 1998 tidak ada kultur literasi atau tak ada karya tulis bermutu sama sekali di Nusantara ini, melainkan bahwa kebiasaan membaca dan menulis belum merupakan pola mental utama masyarakat umum, belum merupakan paradigma budaya pokok yang menentukan pola pikir dan perilaku masyarakat. Saya kira jelas juga bahwa langgam dasar mental masyarakat kita umumnya masih berada dalam paradigma kultur lisan, yang kini justru diperparah oleh kultur chatting di media sosial. Sudah menjadi keluhan umum bahwa kemampuan membaca dan kualitas tulisan pelajar ataupun mahasiswa—bahkan hingga level doktorat sekalipun—masih sangat memprihatinkan. Pengalaman saya pribadi selama mengajar lebih dari 35 tahun pun menunjukkan hal itu. Sekali lagi, terima kasih atas tanggapannya. Di era post-truth ini, salah tangkap adalah suatu kelaziman juga.
Bambang Sugiharto
Guru besar filsafat Universitas Katolik Parahyangan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo