Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas sosial-ekonomi sehari-hari yang dominan dan menonjol dalam kehidupan masyarakat adalah kegiatan jual-beli. Ada dua pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan tersebut, yakni penjual dan pembeli. Penjual membutuhkan kehadiran pembeli untuk melakukan jual-beli suatu barang. Dari situ, penjual memperoleh keuntungan atau laba. Sedangkan pembeli mendapatkan suatu barang yang dibutuhkan setelah bertransaksi jual-beli itu dengan menyerahkan sejumlah uang yang disepakati kepada penjual.
Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan kompleksitas aktivitas manusia yang kian rumit, kegiatan jual-beli melebar ke makna yang bersifat konotatif—makna yang membawa efek nilai rasa tertentu, di luar makna harfiah kontekstual. Kegiatannya tidak lagi semata-mata berkutat pada transaksi jual-beli itu sendiri, tidak ada serah-terima uang dan barang, serta tidak mesti ada penjual dan pembeli.
Tengoklah cabang olahraga tinju. Kerap dikatakan bahwa “kedua petinju jual-beli pukulan”. Petinju mana yang bertindak sebagai penjual dan mana yang berposisi sebagai pembeli sulit dijabarkan. Itu karena jual-beli pukulan bermuatan makna konotasi, yakni aktivitas saling melepaskan pukulan kepada lawan. Makin banyak melepaskan atau mendapat pukulan tinju, kedua petinju makin ramai berjual-beli pukulan, tanpa ada barang atau uang yang diserahterimakan.
Dalam pertandingan sepak bola, ada dua kesebelasan yang menyerang dengan target memasukkan bola ke gawang lawan atau menciptakan gol. Sebagaimana pada tinju, pada sepak bola pun ada aktivitas yang bersifat resiprokal atau berbalasan. Kedua tim yang saling menyerang dikatakan melakukan jual-beli serangan. Apalagi kalau dua tim yang bertanding itu memiliki kualitas permainan yang seimbang: praktik jual-beli serangan akan kian terlihat nyata.
Ada pula aktivitas jual-beli yang berkategori larangan karena mengandung unsur rasuah atau suap. Pelaku dalam kegiatan ini terancam sanksi hukum. Sebagai contoh, seorang tokoh politik nasional belum lama ini dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi dan dinyatakan sebagai tersangka karena ditengarai telah menjalankan praktik jual-beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama.
Jual-beli jabatan masih bisa dirunut sebagai aktivitas yang bermakna denotatif. Ada pihak penjual dan ada pula pembeli. Hanya, yang diperjualbelikan bukan barang atau benda, melainkan kedudukan atau jabatan. Namun makna konotatif pun muncul di sini, bahkan lebih terasa. Tidak ada penjual atau pembeli dalam arti yang lazim. Pelaku yang punya jalur dan pengaruh kuat di kementerian itu memiliki kesempatan sebagai “penjual” jabatan penting. Sedangkan “pembeli”, yang juga sudah berstatus tersangka, ditengarai harus menyerahkan uang yang tidak sedikit nilainya dalam transaksi jual-beli jabatan tersebut.
Istilah jual-beli jabatan menarik perhatian. Jika dicermati, praktik transaksi penyalahgunaan kedudukan atau jabatan itu bukanlah jual-beli, melainkan suap-menyuap. Orang yang ingin menduduki jabatan tertentu menyuap orang yang memiliki pengaruh kuat untuk mengatur posisi atau jabatan tersebut. Lalu terjadilah kesepakatan di antara keduanya dan berlangsung serah-terima uang dengan jaminan posisi atau jabatan penting. Inilah yang sejatinya disebut praktik suap-menyuap jabatan. Namun, secara sosiologi bahasa, sudah telanjur digunakan istilah jual-beli jabatan.
Istilah lain yang bernada rasuah adalah jual-beli suara. Pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden belum lama berlalu dan menyisakan sejumlah isu sensitif. Di antaranya jual-beli suara. Sejatinya, praktik jual-beli suara ada di ranah money politics. Pihak yang membidik posisi tertentu, jika mau berbuat kotor, bisa “membeli” suara pada pemegang hak pilih tertentu. Padahal pemegang hak pilih belum tentu mau diposisikan sebagai “penjual” suara. Namun, sekecil apa pun jual-beli suara tersebut, praktik politik uang itu diyakini ada pada setiap pergelaran pemilihan umum.
*) Editor online, lulusan Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo