Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Balada Para Petugas Partai
DALAM sambutan acara silaturahmi Ramadan Partai Amanat Nasional pada 2 April 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan dirinya merasa pusing mengurusi sepak bola. Di situ tersirat kesedihannya karena Indonesia telah dicoret sebagai penyelenggara Piala Dunia U-20 2023. Acara itu telah disiapkan dengan saksama sejak Indonesia dipilih FIFA pada 24 Oktober 2019 sebagai penyelenggara perhelatan sepak bola dunia ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Presiden, keberhasilan memperoleh penunjukan itu tidaklah mudah karena Indonesia harus bersaing dengan banyak negara lain. Sebab, menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 akan menaikkan citra negara dan bangsa. Bagi Indonesia, pergelaran ini akan menggelorakan semangat sportivitas olahraga sepak bola di Indonesia. Yang tidak kalah penting, pergelaran sepak bola bergengsi ini bisa meningkatkan geliat ekonomi di Indonesia yang nilainya diperkirakan para ahli ekonomi bisa sampai Rp 3 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesempatan ini lenyap gara-gara penolakan sebagian masyarakat terhadap keikutsertaan tim sepak bola Israel dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia. Penolakan yang juga disuarakan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Keadilan Sejahtera ini mencapai klimaks setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Bali I Wayan Koster bersikap sama.
Keduanya pemimpin daerah yang resmi akan dipakai sebagai lokasi pertandingan Piala Dunia U-20 dan telah terikat kontrak dengan FIFA sebagai daerah penyelenggara. Keduanya kader PDIP. Keduanya juga kebetulan akan mengikuti kontestasi Pemilihan Umum 2024. Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai calon presiden dan I Wayan Koster ingin terpilih lagi menjadi Gubernur Bali periode kedua.
Penolakan kedua gubernur ini sebenarnya bisa dipandang sebagai tindakan menentang garis kebijakan presiden sebagai pemimpin tertinggi penyelenggara negara Republik Indonesia. Tapi Presiden Joko Widodo hanya menyatakan "Ini adalah kehendak Allah yang harus kita terima” dan “Kita harus belajar dari kejadian ini agar tidak terulang lagi di masa depan”. Kenapa hanya begitu reaksinya? Ya, karena baik Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, maupun Gubernur Bali I Wayan Koster adalah kader dan petugas partai, bukan bagian dari Dewan Pimpinan Pusat PDIP.
Inilah yang terjadi bila presiden dan pemimpin daerah bukan ketua partai atau keturunannya. Kebijakannya bisa diintervensi sesukanya oleh pemimpin tertinggi partainya. Begitulah balada para petugas partai. Idealnya, presiden adalah ketua partai, sedangkan gubernur, bupati, dan wali kota adalah ketua partai di daerahnya, seperti di negara maju Inggris, Amerika Serikat, dan Cina.
Teguh Mulyono
Surakarta, Jawa Tengah
Sistem Ketatanegaraan
BEBERAPA tahun lalu, seorang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang tersandung masalah hukum mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya setingkat dengan presiden, jadi tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Bahkan pernah terjadi seorang anggota DPR yang masih muda belia menyatakan hal yang sama pada waktu terkena masalah.
Dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, presiden punya dua fungsi, yakni sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Sebagai kepala pemerintahan, presiden memang sejajar dengan DPR, tapi sebagai lembaga dan tidak sejajar dengan Ketua DPR. Sebab, tugas utama DPR adalah mengawasi jalannya roda pemerintahan, termasuk menyetujui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Seperti kita ketahui, Ketua DPR bukan atasan anggota DPR, melainkan lebih sebagai juru bicara. Karena itu, Ketua DPR di Amerika Serikat disebut "speaker".
Setelah reformasi berjalan, DPR memposisikan diri jauh lebih berkuasa dibanding pemerintah, dan cenderung arogan. Sikap tersebut sering diperlihatkan para anggota Dewan yang terhormat, terutama saat melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan jajaran eksekutif yang mewakili pemerintah. Contoh yang terbaru adalah sewaktu RDP dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Di luar ruang sidang, anggota DPR juga acap bersuara lantang apabila ada permasalahan yang menarik perhatian publik. Bahkan ada kalanya mereka memberikan pernyataan yang bernada menghakimi karena bisa dengan mudah mengatakan benar atau salah tanpa melihat akar permasalahan dengan jernih.
Sering kita cermati, pada waktu RDP, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan sebagian anggota Dewan menyimpang dari substansi, bahkan kadang tidak berhubungan sama sekali, dan mengajukan pertanyaan dengan sikap intimidatif. Akhirnya sering terjadi perdebatan keras dan panas yang sebetulnya tidak patut dipertontonkan kepada rakyat.
Memang, anggota DPR yang berperilaku demikian tidak banyak, tapi akhirnya rakyat menjadi antipati terhadap DPR sebagai lembaga, yang seharusnya mewakili kepentingan rakyat. Bukankah setiap anggota DPR, sebelum maju menjadi calon, mendapat pembekalan dari partai politiknya mengenai fungsi dan tanggung jawabnya serta memahami berbagai undang-undang yang berlaku di Indonesia?
Ada baiknya rakyat memberikan hukuman melalui Pemilihan Umum 2024 terhadap anggota-anggota DPR yang akan mencalonkan diri lagi, yang sering berperilaku tidak menjunjung etika dalam bernegara. Wajah-wajah mereka sangat mudah diingat karena sering muncul di media elektronik dan dunia maya.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo