Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda bila BPJS menerapkan skema melibatkan peserta membiayai biaya pengobatan (cost sharing) sebagai solusi mencegah defisit keuangan?
|
||
Ya | ||
20,4% | 280 | |
Tidak Tahu | ||
3,1% | 42 | |
Tidak | ||
76,5% | 1.048 | |
Total | (100%) | 1.370 |
WACANA penerapan sistem urun biaya (cost sharing) program Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) mengemuka dalam rapat di Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, akhir November lalu. Wakil Ketua Komisi Kesehatan Saleh Partaonan Daulay mengatakan BPJS mengusulkan pembagian biaya antara lembaga itu dan pasien atau keluarganya. Menurut politikus Partai Amanat Nasional itu, komisinya meminta BPJS mengkaji ulang rencana tersebut. "Kebijakan itu bakal berdampak terhadap aspek pelayanan dan kepesertaan," kata Saleh. Defisit pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional diperkirakan mencapai Rp 9 triliun. Direktur Kepatuhan Hukum dan Hubungan Antarlembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi pada akhir September lalu mengatakan defisit terjadi karena jumlah pemasukan lebih sedikit ketimbang pengeluaran. Menurut dia, ada selisih pembayaran iuran Rp 13 ribu per peserta. "Bayangkan Rp 13 ribu dikali 92,4 juta jiwa," ujarnya. Data BPJS menunjukkan pembiayaan penyakit katastrofik-berbiaya tinggi dan komplikasinya bisa mengancam keselamatan jiwa-menghabiskan hampir 20 persen dari total anggaran. Misalnya, untuk pengobatan penyakit jantung, ginjal, kanker, dan stroke. Selama ini, pemerintah membayar defisit pendanaan program Jaminan Kesehatan Nasional. Pada 2014, misalnya, pemerintah mengucurkan dana tambalan Rp 3,3 triliun dan naik menjadi Rp 5,7 triliun setahun kemudian. Rencana cost sharing menimbulkan kecemasan peserta Jaminan Kesehatan Nasional. Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia Tony Samosir mengatakan, jika rencana itu diterapkan, bakal banyak pasien cuci darah kesulitan. "Tidak semua pasien cuci darah orang kaya. Orang kaya yang terkena penyakit itu berpotensi menjadi miskin," katanya. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah sedang mengkaji kontribusi pemerintah daerah dalam menyubsidi premi BPJS untuk masyarakat. Menurut dia, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional yang kian meningkat tak diikuti peningkatan subsidi, khususnya di daerah. Sedangkan Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan pemerintah tak akan menerapkan cost sharing untuk penyakit katastrofik. "Kami mencoba membenahi dulu," ujarnya. Direktur BPJS Kesehatan Fachmi Idris menyatakan hal senada. "Masyarakat tak mungkin membiayai sendiri kesehatannya karena cost sangat tinggi," tuturnya. Hasil jajak pendapat pembaca Tempo.co hingga Kamis pekan lalu menunjukkan mayoritas pembaca tidak sepakat mekanisme cost sharing sebagai solusi mencegah defisit keuangan BPJS. l |
Indikator Pekan Ini Indikator pekan ini> Setujukah Anda dengan kecaman pemerintah Indonesia terhadap pengakuan Amerika Serikat atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel?www.tempo.co. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo