Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGADILAN Negeri Jakarta Utara menjatuhkan hukuman dua tahun penjara untuk Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dalam sidang Selasa pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto menilai Ahok bersalah dalam kasus penodaan agama. "Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata hakim.
Putusan itu lebih berat ketimbang tuntutan jaksa yang hanya meminta hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Vonis ini kontan memicu pro dan kontra. Sejumlah kalangan menilai vonis bersalah yang mengacu pada Pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu tidak tepat. Apalagi Ahok langsung ditahan hari itu juga. Posisinya diisi Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat.
Kasus penistaan agama dengan nuansa serupa pernah diulas di majalah Tempo edisi 20 April 1991 dalam tulisan berjudul "Arswendo, Tanpa Maaf". Tulisan ini mengulas vonis terhadap Pemimpin Redaksi Tabloid Monitor Arswendo Atmowiloto yang divonis lima tahun karena dianggap bersalah menghina agama Islam.
Sepekan menjelang Idul Fitri, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diketuai Sarwono memvonis Wendo dengan hukuman maksimal dari ancaman Pasal 156a KUHP. Vonis itu terkait dengan angket "Kagum 5 Juta" yang dimuat di Monitor dan menghebohkan umat Islam setahun sebelumnya. Angket itu menempatkan Nabi Muhammad pada peringkat ke-11, di bawah ranking Presiden Soeharto, Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie, bahkan di bawah Wendo, yang menempati posisi ke-10.
Gara-gara angket itu, Wendo didera "hukuman" yang tak kepalang banyak dan berat. Ia dipecat dari Persatuan Wartawan Indonesia, dicopot dari semua jabatan di Gramedia (grup perusahaan yang menerbitkan Monitor), sampai akhirnya surat izin usaha penerbitan pers medianya itu dicabut.
Dalam pleidoinya, baik Wendo maupun tim pengacaranya yang diketuai Oemar Seno Adji menegaskan sudah berkali-kali meminta maaf kepada umat Islam dan sekaligus memohon keringanan hukuman. Menurut Wendo, "musibah" angket itu sama sekali tak disengaja. Oemar menganggap Wendo tak bisa disebut sengaja menghina Nabi Muhammad. Sebab, Wendo mengaku lalai dan penghinaan dalam KUHP itu harus berupa pernyataan kasar.
Oemar juga menilai tuntutan hukuman untuk Wendo terlalu berat. Dia mencontohkan, di luar negeri, kasus delik agama paling banter dihukum enam bulan. Oemar mengkritik penanganan kasus dengan masa persidangan yang terhitung cepat ini tak lepas dari tekanan massa di luar pengadilan.
Semua pembelaan Wendo dan pengacaranya gagal meyakinkan majelis hakim. Dalam putusannya, hakim menegaskan bahwa angket yang dibuat Wendo terbukti telah merendahkan derajat Nabi Muhammad. Perbuatan itu, kata majelis hakim, terhitung penghinaan terhadap agama Islam dengan menggunakan penerbitan pers.
Selain itu, menurut hakim, sesuai dengan yurisprudensi vonis Mahkamah Agung pada 14 Juli 1976, penghinaan tak perlu berbentuk pernyataan kasar. "Menempatkan posisi Nabi seperti manusia biasa itu sudah menyinggung agama Islam. Tak perlu sampai mengatakan Nabi bodoh dan sebagainya," ujar hakim Sarwono.
Wendo, kata majelis, juga terbukti sengaja menodai agama Islam. Sebab, sewaktu angket itu akan dimuat, dua orang bawahannya sudah memperingatkan agar nama Nabi Muhammad tak usah dicantumkan.
Kesalahan Wendo makin berat karena, selaku pemimpin redaksi, dia dapat dimintakan pertanggungjawaban sebagai pelaku sesuai dengan ketentuan KUHP. Artinya, majelis mengesampingkan pertanggungjawaban pidana Wendo secara formal yang bisa dilimpahkan kepada bawahan seperti diatur Undang-Undang Pokok Pers.
Ketika mendengar vonis hakim, Arswendo yang bersetelan abu-abu tampak berusaha tenang dan menorehkan angka hukuman pada catatan hariannya. Sepekan menjelang Idul Fitri, tampaknya tak tersisa maaf buat Wendo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo