Saya, 28 tahun, seorang wanita invalid kaki, mempunyai seorang anak laki yang lahir dari dunia kemiskinan, yang tak pernah saya harapkan. Beberapa tahun lalu, saya pernah menjadi peng- huni RC Solo. Kebersamaan kaum invalid di lembaga rehabilitasi penderita cacat tubuh itu membuat semangat hidup dan kemandirian saya terpompa. Lalu, sekitar 1980, saya pernah bekerja di PT Kedaung Subur Magelang. Namun, kemandirian dan masa depan yang saya rintis tiba-tiba terampas oleh seorang laki-laki yang memperistri saya sekaligus menceburkan saya dalam penderitaan kolektif. Demi harga diri tak beralasan, ia memaksa saya untuk keluar dari pekerjaan. Belum lepas dari trauma, saya tiba-tiba dibujuk untuk pulang ke orangtua. Sejak 1982 itu, saya merasakan kehidupan rumah tangga yang ganjil. Dia di rumah orangtuanya, sedangkan saya di rumah orangtua saya. Meskipun begitu, saya sebagai seorang istri "nrimo", hingga seorang bocah laki-laki lahir pada 1987, yang sekarang sudah tumbuh menjadi anak yang cerdas. Saya semakin yakin, ruang dan waktu ternyata mampu mengubah sebuah nasib menjadi jungkir balik. Saat suami menganggur, saya dengan tabah dan sabar berdoa siang malam agar suami bisa bekerja sehingga kami bisa hidup layak sebagai suami istri. Namun, ketika sebagian doa terkabul saya kembali terempas pada realita yang menyakitkan. Kalau sebelumnya, suami saya sekali dalam sebulan menyenguk kami. Namun, sejak bekerja, ia tidak menghiraukan anak dan istrinya. Saya berkali-kali mencoba berdamai dengan tangis pada orangtuanya, tapi hanya kekecewaan dan sakit yang saya rasakan. Akhirnya saya pasrah. Tapi, saya ingin menunjukkan bahwa seorang invalid pun mampu bertahan hidup dengan keringat sendiri. Saya mencoba menguras keringat dengan mengambil cucian dari tetangga. Dari usaha itu, saya mendapat penghasilan Rp 300 sehari. Tapi kan kami tidak hanya hidup sehari. Saya bertanggung jawab atas anak yang tak lagi mendapat tanggung jawab ayahnya. Ia butuh masa depan. Tapi, apa yang bisa diberikan oleh seorang ibu yang invalid semacam saya. Saya mencoba menenteng ijazah -- sebagai tanda keterampilan men- jahit dan menyulam -- ke mana-mana, namun hanya senyuman sinis dan ketidakadilan masyarakat yang saya temukan. Andai kata semua jalan kerja benar-benar buntu bagi orang semacam saya ini, saya sangat bersyukur jika ada para pembaca yang sudi mengangkat anak saya sebagai anak asuh. LIS EVAWATI Jalan Pangeran Puger 45 Kudus 59313 Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini