JOS Soetomo, tokoh yang banyak dibicarakan orang hari-hari ini, bukan orang yang mudah ditemui wartawan. Kehadiran dan kasus hukumnya memang banyak menimbulkan perdebatan, dan mungkin karena itu dia menjaga diri sekali untuk omong. Maka, ketika wartawan TEMPO Zaim Uchrowi menemuinya di Samarinda beberapa waktu yang lalu Jos mengelak. Ia hanya berkata, "Salam untuk Pak Helmy". Siapa Pak Helmy? Ternyata, seorang wartawan TEMPO yang lain, Musthafa Helmy. Teman kami yang sebenarnya lebih enak disebut "Dik" ketimbang "Pak" ini dulu memang pernah terbang bersama Jos Soetomo dengan pesawat dakwah Cessna yang disumbangkan Jos. Rupanya, Jos teringat Mus. Karena itu, Mus yang, untuk laporan utama nomor ini. terbang ke Samarinda. Ini tugas yang tak mudah, karena tim pembela berkeberatan Jos bicara dengan pers. Tapi Mus mencoba lewat jalurnya sendiri, dan diterima Jos Soetomo sekitar satu jam sebelum salat Jumat bersama. Hasilnya kami muat nomor ini. Tak banyak, tapi cukup agaknya menampilkan orang yang sedang disorot itu. Tugas Mus berhasil. Namun, bukan dalam hal itu saja Mus berhasil pekan ini. Begitu pulang dari Samarinda, Musthafa - yang masuk TEMPO 1981, dan untuk sementara tidak melanjutkan studinya sebagai mahasiswa tingkat terakhir Perguruan Tinggi Ilmu-Ilmu Al Quran - langsung berhadapan dengan dewan penguji di perguruan tingginya. Dan ia lulus sebagai sarjana. Keinginan menyelesaikan studi di universitas, boleh dilaporkan, memang terasa di TEMPO. Terutama pada mereka yang selama ini dikenal sebagai "sarjana minus skripsi". Karni Ilyas, yang menulis laporan utama ini, pengasuh rubrik Hukum, juga tengah menyelesaikan skripsinya di FH UI. Beberapa wartawan muda, antara lain dari FISIP UI dan IPB, juga pada minta izin "kembali ke kampus", karena dikejar batas waktu yang disyaratkan universitas. Perusahaan memang menyediakan suatu cuti khusus untuk itu - katakanlah "cuti skripsi". Beberapa senior TEMPO, seperti Herry Komar, kini redaktur pelaksana dan salah seorang staf pengajar di FISIP UI, dua tahun lalu bertitel sarjana pula. Sedangkan Salim Said, setelah lulus di FIS Ul bahkan melangkah jauh: ia kini kandidat Ph. D. di Universitas Ohio, AS. Sebaliknya, Toeti Kakiailatu yang dulu dikenal sebagai pengasuh Pokok & Tokoh, terpaksa berpisah dengan rubrik yang paling digemari pembaca TEMPO. Ia dengan gembira masuk FISIP UI mulai dari bawah - dan kini juga menyelesaikan skripsi untuk Sarjana antropologi. Ijazah kesarjanaan sebenarnya tak berpengaruh (sama sekali) bagi jenjang karier di TEMPO. Menjadi wartawan yang baik, sampai tingkat apa pun, memang tidak ditentukan oleh titel, walaupun latar belakang pendidikan jelas menentukan. Tapi selain sebagai sekadar tanda tamat universitas, atau pertimbangan pribadi, rupanya ada juga alasan yang "lebih idealistis" - seperti yang dikatakan Salim Said. "Agar titel doktor tak hanya dipunyai teknokrat, tapi juga wartawan," katanya, berkelakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini