Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Yang Murah, yang Telantar

24 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAIN sekarang, lain dulu. Cerita telantar saat beribadah di Tanah Suci kini tak kenal besaran ongkos yang dikeluarkan jemaahnya. Mereka yang sudah mengeluarkan biaya mahal, dengan harapan dapat lebih nyaman beribadah, bisa terlunta-lunta-cerita yang dulu biasa menjadi oleh-oleh "jemaah backpacker".

Di depan Ka'bah, jemaah haji ONH (Ongkos Naik Haji-istilah jemaah lewat jalur pemerintah) atau bukan sejatinya tak berbeda. Tapi edisi majalah ini yang terbit lebih dari 30 tahun silam menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun, jemaah haji Indonesia yang non-ONH-tidak lewat jalur resmi pemerintah-selalu ada yang telantar tak bisa pulang.

Pada tahun itu, jumlah yang telantar cukup mengejutkan. Kabar dari Kedutaan Besar Republik Indonesia di Jeddah menyatakan 200-an anggota jemaah haji Indonesia belum bisa meninggalkan Arab Saudi. "Keadaan ini lebih parah dibanding tahun lalu," kata pihak KBRI di Jeddah pada saat itu.

Soal ketelantaran haji non-ONH itu pula yang ramai ditanyakan dalam rapat kerja Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat dengan Departemen Agama. Menteri Agama saat itu, H Munawir Sjadzali, yang baru kali itu mengalami masa naik haji, mengakui memang masih ada beberapa ganjalan dalam pelaksanaan ibadah haji. "Kini sedang dibicarakan beberapa perubahan peraturan pelaksanaan haji," ujarnya.

Salah satu hal yang ditanyakan Komisi IX adalah tarif tiket yang demikian mahal. Dari Komisi V DPR, Komisi Perhubungan, diperoleh data tarif carteran Jakarta-Jeddah pergi-pulang paling mahal sekitar Rp 1,1 juta. Jemaah haji ONH tahun ini harus membayar Rp 1,6 juta untuk tiket itu. Maka, kata H Abduh Paddare, anggota Komisi IX, "Wajar bila orang mencari jalan naik haji yang lebih murah. Dan yang lebih murah itu yang lewat non-ONH, lewat swasta."

Total jenderal, seorang anggota jemaah ONH tahun ini harus membayar sekitar Rp 3,1 juta. Memang ongkos hidup selama di Saudi, yang disebut "biaya perbekalan & pelayanan", bila ada sisa akan dikembalikan. Danarto dari majalah Zaman, yang saat itu naik haji, mengaku menerima pengembalian Rp 500 ribu. Bila ini terjadi juga pada jemaah ONH yang lain, tarif haji ONH menjadi kurang-lebih Rp 2,6 juta.

Menurut Syufri Helmy Tanjung, anggota Komisi V, dengan tarif Rp 2,6 juta pun sebenarnya pemerintah sudah untung sekitar Rp 200 ribu-entah bagaimana cara menghitungnya. Yang jelas, tarif naik haji di Malaysia saat itu US$ 2.000 atau sekitar Rp 2 juta.

Dan, untuk ongkos sebesar itu, jemaah haji ONH konon masih harus mengalami ketidaknyamanan pelayanan. Misalnya ternyata jumlah kursi pesawat ditambah hingga pesawat penuh sesak.

Dari hal-hal seperti itulah kemudian muncul dugaan: ada sejumlah anggota jemaah yang dibiayai dengan "keuntungan tarif ONH". Misalnya, menurut Syufri, ada sekitar 6.000 anggota jemaah haji atas biaya dinas pada tahun yang sama. "Untuk apa memberi jatah naik haji kepada KNPI, kepada Pramuka?" kata Syufri.

Menteri Agama tak membantah adanya "keuntungan" itu. Tapi ia menolak anggapan bahwa kelebihan biaya ONH digunakan untuk macam-macam. "Selama ini justru dari hasil jemaah haji mengalir amal jariyah, yang kemudian diwujudkan menjadi asrama-asrama haji di beberapa daerah," ucap Menteri.

Jumlah anggota jemaah ONH dari 1980 memang terus menurun. Tahun itu tercatat 76 ribu anggota jemaah. Tahun berikutnya menurun menjadi hanya lebih dari 67 ribu. Pada 1982 cuma 55 ribu dan pada 1983 resmi tercatat hanya 48 ribu. Sementara itu, anggota jemaah non-ONH meningkat. Kenaikannya dari 18 ribu pada 1982 menjadi 21 ribu. Tapi seberapa murah ongkos haji non-ONH tak diketahui jelas. Cuma, prosedur pengurusannya barangkali memang tidak begitu berbelit-belit, meski dengan risiko tertipu.

Yang jelas, sejak itu direncanakan keputusan presiden baru tentang umrah-lewat umrah inilah sebenarnya jemaah haji non-ONH mengalir. Sementara dulu hanya melibatkan Departemen Luar Negeri, Agama, dan Kehakiman, keppres baru akan melibatkan juga Departemen Dalam Negeri. "Kami akan melakukan pengawasan sampai ke desa-desa, karena basis umrah itu di desa," ujar Menteri Agama. Tapi cukupkah dengan itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus