Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Seorang Pemain Akrobat dan Hujan

Pentas kedua sirkus teater Rictus dan Ine Febriyanti. Kali ini mereka tampil di tengah guyuran hujan buatan dan suhu yang dingin.

24 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuh Anthony Weiss menggelantung di atas kasur. Bertumpu pada kekuatan otot lengan dan perut, dia melayang-layang dengan tali. Dan, sedari menit awal, Ine Febriyanti meluncurkan kalimat-kalimat puitis. Ia memerankan empat karakter: Penelope, Dido, Phaedra, dan Ariane.

Kita tak tahu di bagian mana Ine menjadi Penelope, Dido, Phaedra, atau Ariane. Dari kalimat-kalimatnya, keempat perempuan itu tampak mengalami keresahan. Tatkala air hujan diturunkan ke atas kasur, Ine memutari kasur: mencaci, mengutuk, dan meminta dewa menghukum sang kekasih. Suara guntur seperti melumpuhkan si lelaki, yang kemudian tersungkur di salah satu sisi kasur yang basah.

Ine Febriyanti dan Anthony Weiss mementaskan teater berjudul Drop di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, pada Jumat dan Sabtu dua pekan lalu. Di bawah arahan sutradara David Bobee, teks diangkat dari puisi-puisi yang ditulis Publius Ovidius Naso, penyair Romawi. Puisi-puisi Ovid itu menginspirasi naskah Drop. "Drop berkisah tentang cinta perempuan yang jatuh cinta, ditinggalkan, dan terempas," ujar Bobee.

Weiss, 23 tahun, anggota kelompok teater asal Prancis, Rictus. Ia berjumpalitan, berayun, melayang, berputar, bersalto, bahkan melakukan adegan split dengan tali yang dipancang di langit-langit ruang Teater Salihara. Dia mengandalkan kekuatan otot perut, bisep, dan trisep serta keseimbangan tubuh. Ia juga membelitkan tali ke badan atau tangannya dan bergelantungan ketika tali ditarik ke atas.

Sebetulnya gerakan seperti itu sudah biasa bagi pria yang menekuni akrobat sejak usia 7 tahun tersebut. Tapi kali ini Weiss harus berakrobat di bawah curahan hujan buatan. Aksi ini berbahaya karena tali rawan terlepas. Tubuh juga bisa terpeleset, tergelincir, dan terjatuh di lantai. "Memang sedikit licin, tapi jadi lebih dramatis," kata Weiss, yang rutin berlatih akrobat empat-lima jam sehari.

Adegan menjadi lebih dramatis ketika embusan angin dari empat blower ditiupkan. Juga terlihat artistik ketika Ine menebarkan kertas-kertas putih yang diandaikan sebagai surat cinta, sementara tubuh Weiss berayun-ayun. Juga sorot-sorot cahaya senter kecil dari para penonton dan tata cahaya yang menggiring suasana kelam.

Ine Febriyanti sudah dua kali tampil bersama Rictus dengan tantangan yang berbeda. Pada Juni tahun lalu, ia tampil dalam lakon berjudul Warm, bermonolog di bawah panasnya sorot lampu ribuan watt. Saat itu, Ine tampil dalam deraan suhu panas sekitar 60 derajat Celsius. Namun kali ini ia harus bergulat dengan air dan embusan angin yang dingin.

Sebelum pementasan Drop, Ine terbang ke Prancis untuk berlatih di Rouen. Sang sutradara, David Bobee, menempa Ine dengan latihan di suhu dingin untuk mendapatkan karakter para tokoh. Ine harus menjadi Penelope yang lembut dan tegar dikhianati Odysseus; Dido yang terbakar cinta dan amarah ketika cintanya diempaskan dan diperkosa; Phaedra yang sensual dengan gestur lembut mengejar cinta anak tirinya, tapi juga menggelora ketika cintanya tak terbalas; atau Ariane, yang mengikuti Tesse, lelaki yang dicintainya. Cinta itu membuat dia mengkhianati keluarga dan negaranya.

"Dalam pementasan Drop, Ine berpikir tidak hanya dengan otak, tapi juga tubuh dan insting untuk menunjukkan gairah dari karakter tokohnya," ujar Bobee kepada Tempo. Tapi itu masalahnya. Sepanjang pertunjukan, empat perempuan berbeda karakter yang ia perankan tak terlampau menonjol perbedaannya.

Kalimat-kalimat Ine memang lancar, tapi berkesan hanya sebuah hafalan "dramatic reading". Vokal, gestur, dan mobilisasi dari tiap perempuan itu diseragamkan. Sesungguhnya adalah tantangan bagi Ine untuk memerankan empat karakter secara berlainan. Bisa kita bayangkan bila Ine menjadi empat perempuan yang berbeda. Dan masing-masing perempuan itu berinteraksi dan memiliki ekspresi sendiri-sendiri saat berkonfrontasi dengan sang akrobat. Tapi kesannya, di panggung, akrobat yang susah itu hanya menjadi ilustrasi cantik dari rentetan kalimat Ine.

Dian Yuliastuti, Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus