Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kolong Meja Itu Hitam

Seni lukis abstrak diciptakan di Bandung dan Yogyakarta pada 1960-an, antara lain oleh Srihadi, Sadali, dan Fadjar Sidik. Dan kini ada Hanafi, dengan abstrak yang berbeda.

24 Maret 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN inilah lukisan terpanjang yang pernah dipamerkan di Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sekitar tiga perempat dinding galeri yang melengkung itu "tertutup" oleh hanya satu lukisan Hanafi berukuran 2,65 x 32 meter. Dan cuma terlihat sapuan hitam, tak merata-hitam yang terbentuk dari warna hitam dan biru. Seperti karya Hanafi pada umumnya, lukisan Migrasi Kolong Meja #3 ini absen dari bentuk benda dan figur-lazim disebut lukisan abstrak atau nir-benda.

Di tengah apa yang dinamakan seni rupa kontemporer yang membuka segala kemungkinan bentuk (karya instalasi, misalnya, bukan lagi karya dua dimensi atau tiga dimensi) bahkan suara (karya Heri Dono, misalnya) dan bau (karya Tisna Sanjaya), pameran Hanafi sekilas terasa sebagai lukisan "modern"-ekspresi emosi dan gagasan pada bidang dua dimensi, yang menekankan garis sebagai garis, bidang sebagai bidang, warna sebagai warna, barik sebagai barik. Unsur-unsur seni lukis itu hadir tak hanya membentuk gambar benda atau figur, tapi juga atas namanya sendiri.

Sejak 1960-an, seni lukis abstrak hadir di Indonesia, setidaknya lewat karya Srihadi Soedarsono, Ahmad Sadali, dan Fadjar Sidik-lewat jalan masing-masing. Srihadi tampaknya "menemukan" seni lukis abstrak lewat deformasi bentuk dan renungan tentang Zen Buddhisme. Sadali membebaskan bentuk benda dan figur serta hanya menghadirkan rupa biomorfik (bentuk alami). Fadjar Sidik sampai pada seni lukis abstrak justru karena hendak menghadirkan benda-benda "masa kini", tapi ia pikir lukisan akan seperti gambar reklame. Maka ia menciptakan bentuk-bentuk sendiri yang "tak berbentuk". (Periode abstrak Srihadi pendek. Dia kemudian merasa perlu menghadirkan obyek, di samping melukis abstrak dirasanya begitu mudah, tinggal menyapukan cat, dan selesai.)

Adakah Hanafi (lahir 1960), yang karya-karya awalnya diminati beberapa arsitek karena dipandang cocok menghiasi rumah-rumah modern, penerus seni abstrak yang dimulai pada 1960-an itu?

Sampai pada pamerannya di Bentara Budaya Jakarta (2005), saya berpendapat seperti itu: lukisan Hanafi berada di wilayah seni abstrak Indonesia 1960-an. Wujud karyanya berada di kawasan seni lukis abstrak dengan kanvas lebar dengan sapuan warna luas beraksen berupa tekstur, lelehan cat, dan sebagainya. Keunggulan Hanafi dibandingkan dengan sejumlah pelukis abstrak yang lain (Nunung W.S., misalnya), perupa ini memiliki kepekaan pada warna dan bidang luas yang cermat, membentuk komposisi yang padu, dan peletakan aksen yang membuat karyanya hadir mencekam, menyedot perhatian.

Memang pada pameran di Bentara Budaya itu, misalnya, Hanafi pun mencoba "mencicipi" seni rupa kontemporer. Pameran bertajuk "Tiga Hari dalam Sepatu" itu tak hanya memamerkan lukisan abstrak, tapi juga karya instalasi dengan sepatu. Kita bisa berspekulasi bahwa "kombinasi" seperti ini mempengaruhi Hanafi dalam berkarya. Dan, dari dua "estetika" yang tak sejalan itu, disadari atau tidak, Hanafi melangkah keluar dari suasana abstrak Srihadi, Sadali, atau Fadjar Sidik.

Demikianlah Migrasi Kolong Meja #3 sekarang menghadirkan tiga karya (selain yang 32 meter itu, ada dua karya besar pada kanvas persegi, digantung di ruang galeri, agak ke pinggir). Secara fisik yang 32 meter jelas berbeda dengan dua yang digantung itu. Namun terkesan pada saya, ketiga karya tersebut "sama rasa", yakni bahwa abstrak mutakhir Hanafi bukan lagi perlawanan terhadap lukisan representasional yang menghadirkan bentuk (seperti pada karya Fadjar Sidik), bukan juga mengambil bentuk biomorfik (seperti Sadali), dan bukan lirisme warna-warna (seperti pada lukisan Srihadi).

Dan semua itu bukan karena ruang pameran tak hanya diisi lukisan. Ada juga pemutaran video, rekaman Hanafi melukis. Lalu, ini dia, sebuah ayunan dipasang. Untuk apa? Dengan duduk di ayunan, kata Hanafi, menikmati karyanya akan lebih santai. Mungkin dia bergurau, mungkin benar. Yang saya tangkap, adanya suasana "kontemporer" itu terasa lebih mudah menengarai bahwa abstrak Hanafi berbeda dengan abstrak modernisme. Lebih mudah berarti tidak harus. Ayunan hanya unsur "luar", yang andai tidak ada pun tak mengapa-karya Hanafi akan seperti sekarang itu juga.

Adalah Kandinsky (1866-1944), pelukis Rusia yang dianggap pelopor seni lukis abstrak (modernisme), yang "menemukan" abstrakisme ketika bermukim di Jerman, pada musim panas 1911. Dalam salah satu tulisannya ia bercerita, tiap hari ia bangun pagi, melihat-lihat dari jendela langit yang biru berkilat, mendengar geledek, lalu sebentar turun gerimis. Ia merasa seperti sakit, berkeringat, dan tak ada obat apa pun yang menyembuhkan. Mendadak ia merasa bahwa dunia berubah putih, putih yang agung, penuh segala kemungkinan, hadir di mana-mana, dan terus berkembang.

Dan begitulah proses seni Kandinsky menjadi abstrak. Obyek lukisan Kandinsky-yang biasanya melukis pemandangan dengan warna-warna liar (fauvisme)-semisal pohon, rumah, dan awan, pada 1911 itu pelan-pelan lenyap. "Dunia putih" itu menjadi obsesinya, mempengaruhi proses menciptanya. Lanskap tinggal hanya warna. Dari proses ini, kira-kira kita bisa membayangkan seni abstrak Kandinsky sama rasa dengan, misalnya, impresionisme, ekspresionisme, fauvisme, kubisme, dan isme-isme di masa modern seni rupa Eropa. Ada sesuatu yang dibebankan pada obyek, dan demikian juga bidang dan warna yang tak lagi membentuk obyek. Terasa seperti itu juga lukisan abstrak Srihadi Soedarsono, Ahmad Sadali, dan Fadjar Sidik.

Pada Migrasi Kolong Meja #3 Hanafi, menurut hemat saya, tak ada beban itu. Sapuan-sapuan hitam (dan samar-samar biru) Hanafi terasa ringan, bergerak di permukaan. Ini bukan semacam sari-pati (abstract), karena memang tak perlu.

Srihadi menyapukan bidang dan warna serta menggoreskan garis sebagai sesuatu yang disengaja untuk merangsang munculnya rasa atau gagasan abstrak apa pun pada penonton. Hanafi semestinya juga begitu (ia bercerita bahwa di kolong meja bisa terjadi apa saja, dan cenderung-katakanlah-ilegal, sedangkan di atas meja yang legal). Lalu kenapa menurut rasa saya kedua karya perupa ini berbeda?

Yang terbayang oleh saya, Srihadi membuat semacam pemiuhan bentuk dan gagasan sehingga bentuk yang kita kenal hilang dan tinggal warna. Ada semacam "dunia putih" Kandinsky ketika itu yang berbeda dengan "dunia" bentuk yang jelas yang ditampilkan kanvas-kanvas di masa itu. Sedangkan Hanafi tidak; ia tak mencoba menyarikan gagasan "kolong meja"-nya. Melihat pamerannya kali ini, saya menangkap bahwa "kolong meja" dan sapuan hitam itu identik. Seolah-olah, ketika melukis Migrasi Kolong Meja #3, Hanafi melihat "model" di depannya. Dan model itu, ya, seperti yang kini ia pamerkan di Salihara hingga 29 Maret ini.

Bambang Bujono, Pengamat Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus