APAKAH pencemaran oleh reaktor, atau bom nuklir, merupakan
satu-satunya sumber radiasi? "Menurut kesimpulan saya, radiasi
alam sudah ada tanpa pencemaran, sebagai hasil peluruhan radon
dan kalium (K)," kata Peter Soedojo, dosen jurusan Fisika,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam UGM, Yogyakarta. Dengan
disertasi berjudul Mekanisme Transport dan Distribusi Gas Radon
Alam 190 halaman, Peter meraih gelar doktor lalam Ilmu Fisika di
UGM, Senin pekan lalu.
Enam tahun Peter mencari korelasi antara gas radon di udara dan
gas radon yang dikandung bumi. Sekarang, "dengan hasil yang
dicapai, promovendus bisa puas, karena telah menjelajahi bidang
ilmu yang sangat menarik," ujar Prof. Dr. Ir. Herman Johannes,
promotor. Hasil penelitian Peter Soedojo menurut Johannes kepada
TEMPO, "penting artinya untuk ilmu penetahuan, dan perlu
dicarikan penerapannya." Disertasi Peter, 50 mengemukakan rumus
baru mekanisme transpor dan distribusi gas radon alam, yang
secara kualitarif dapat dipertanggungjawabkan. Ia mendasar dan
penelitiannya pada kesimpulan bahwa bumi mengandung uranium di
manamana dan mengalami peluruhan radioaktif secara berurutan
sampai pada radium.
Uranium adalah bahan radioaktif yang meluruh menjadi torium,
yang selanjutnya meluruh menjadi protaktinum. Pada tingkat
berikutnya, protaktinum menghasilkan radium, yang kemudian
meluruh menjadi radon, gas mulia yang radioaktif. Gas ini
mendifusi dari tempat terjadinya, dari radium ke arah permukaan
bumi, sambil meluruh menjadi polonium. Setelah sampai di
permukaan bumi, gas radon lepas ke udara.
Gas radon bukan barang baru. Selama ini pun banyak dilakukan
pengukuran konsentrasi gas radon pada kedalaman tanah, dan
peluruhannya di udara. Namun, belum dikemukakan korelasi antara
keduanya. "Penelitian saya dapat merumuskan korelasi itu," ujar
Peter Soedojo, yang lulus dengan predikat "sangat memuaskan".
Konsentrasi gas radon di udara tidak hanya ditentukan oleh
konsentrasi gas radon di dalam tanah. Melainkan juga oleh
parameter-parameter, misalnya penyumbatan pori tanah oleh air
hujan. Pengaruh itu harus dapat dirumuskan secara matematis di
dalam persamaan yang bersangkutan dengan variasi gas radon di
dalam tanah. "Rumus semacam itu belum pernah dijabarkan orang,"
kata Peter. Penjabaran itu sendiri diperlukan untuk memperoleh
pedoman di dalam mendesain eksperimen.
Tak kalah menarik ialah alat-alat yang dipakai Peter dalam
penelitiannya. Dengan memodifikasikan Lucas Chamber - tabung
pelacak dari baja yang sukar dibuat, rumit dan mahal - Peter
memperkenalkan alat baru yang diberi nama "botol sintilasi" atau
"botol kelipan". Botol berukuran 250 cc, atau 500 cc, ini
dilapisi seng sulfida (Zn 5) yang dikotori dengan perak. Dengan
perbandingan harga 1/100 Lucas Chamber, prinsip kerjanya sama,
dan hasilnya tidak berbeda," tutur Peter, yang meraih gelar
B.Sc. dari Universitas Sydney, Australia (1960), dan gelar
insinyur dari FIPA UGM (1976).
Keterangan Peter agaknya bukan sekadar kecap. "Botol sintilasi
ciptaan Peter Soedojo dipakai di tambang uranium di
Cekoslovakia," kata Herman Johannes. Informasi ini disampaikan
Dr. Ronald D. Vis, salah seorang anggota tim penguji. Konon,
Cekoslovakia menerima penemuan itu melalui seorang profesor
Yugoslavia, yang pernah menyaksikan eksperimen Peter di Vrije
Universiteit, Amsterdam, 1980. Peter memang menghadiahkan satu
unit botol tersebut di atas kepada sang profesor.
Bila tertumbuk zarah alfa, botol sintilasi itu akan mengeluarkan
cahaya, atau "kelipan". Pengukuran gas radon di dalam hal
ini dilakukan dengan mengisap gas tanah ke dalam botol sintilasi
hampa, melalui pipa baja yang ujungnya berlubang-lubang kecil.
Pipa baja itu ditusukkan ke dalam tanah hingga kedalaman sekitar
satu meter. Pencacahan alfa terhadap cuplikan gas tanah
dilakukan setelah 3« jam.
Pengukuran konsentrasi gas radon di dalam bumi hanya satu dari
empat pengukuran yang dilakukan Peter dalam eksperimennya. Tiga
lainnya adalah: pengukuran laju lepas landas radon dari
permukaan bumi, pengukuran konsentrasi gas radon di udara, dan
pengukuran konsentrasi hasil peluruhan gas radon di udara.
Pengukuran laju lepasan gas radon dari permukaan bumi, "orisinil
ciptaan saya," kata Peter. Ia menutup permukaan tanah dengan
silinder baja bergaris tengah 25 cm dan tinggi 22 cm. Setelah
sejam terperangkap di dalam silinder ' itu, gas radon diisap ke
botol sintilasi, untuk kemudian dicacah zarah alfanya setelah 3«
jam.
Penemuan Peter diharapkan bisa dikembangkan untuk memperoleh
data-data yang dapat ditafsirkan secara geofisis. Misalnya
melacak gempa bumi dan memahami gejala vulkanologi. "Disertasi
saya hanya memberi dasar pengertian, dan memperkenalkan teknik
pengukuran yang murah, mudah diduplikasi, tapi hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan," uar ayah empat anak itu. Pengukuran
radon dapat digunakan meramalkan letusan gunung berapi.
Di Indonesia, Peter mengharapkan pengukuran radon bisa pula
dimanfaatkan melacak radiasi. "Pencemaran nuklir itu tidak
terasa, tidak berbau, hanya tiba-tiba banyak orang kena kanker,"
tutur Peter. Apalagi di Eropa orang sudah bermain nuklir. Ketika
membuat spektrum tenaga gama di Negeri Belanda, Peter
dibingungkan oleh puncak-puncak yang sulit dimengerti. Setelah
dibawa ke Paris, ternyata, itu pengaruh percobaan bom nuklir di
RRC, beberapa bulan sebelumnya. "Begitu jauhnya radiasi
merambat," ujar doktor fisika Indonesia pertama yang
menyelesaikan promosi di dalam negeri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini