IA datang dari negeri miskin, Bangladesh. Tapi tubuhnya sangat
kukuh, tak mudah kena penyakit, dan bukan main jangkungnya.
Dalam suatu penelitian di sini, terbukti bahwa tingginya
encapai 3,4 m, atau kira-kira dua kali tinggi rata-rata tubuh
orang Indonesia. Sungguh luar biasa. Apalagi, kalau diingat, dia
ini cuma padi, yang sekarang lagi diteliti Balai Penelitian
Tanaman Pangan (BPTP) Bogor, untuk dikembangkan di lahan
pertanian pasang surut dan lebak.
Lahan seperti ini di Indonesia luasnya - sampai lima juta hektar
dan, karena hampir sepanjang tahun tergenang air, baru 10% di
antaranya yang bisa ditanami padi. Yaitu daerah rawa dangkal,
dengan kedalaman air sampai 1 m, seperti yang banyak terdapat di
daerah permukiman transmigrasi di Sumatera dan Kalimantan.
Petani di Kalimantan Selatan, misalnya, sudah lama menanam
varietas Hyang, sejenis padi lokal yang rupanya bisa hidup di
daerah rawa. Sayangnya, jika air surut pada saat padi sudah
berbuah, rumpun padi yang tingginya sampai 1,5 m ini tak cukup
tegar, sering-sering rubuh dan buahnya pun busuk terendam air.
Karena itu, sejak 11 tahun yang lalu, BPTP Bogor berupaya
mencari jenis padi yang cocok untuk kondisi ini. Hasilnya,
ditemukan varietas Mahakam, yang awal Desember ini mulai
disebarkan Departemen Pertanian kepada para petani.
Mahakam adalah hasil persilangan varietas lokal, Pelita 1-2,
dengan T442-36 yang berasal dari Muangthai. Penampilannya
lumayan, dilihat dari uji lapangan yang dilakukan selama tiga
tahun di kebun percobaan BPTP di Pusakanegara, Subang, Jawa
Barat, dan beberapa tempat lainnya. Produksi per hektar mencapai
3-4 ton, dengan umur sekitar 135 hari, tahan terhadap bakteri
daun bergaris dan keracunan besi. Dan, yang terenting, tahan
genangan air, tak mudah rubuh.
Tapi si Mahakam ini terbilang kerdil, tingginya cuma 1,1 m.
Karena itu, peranannya nanti tampaknya cuma bisa diharap di
daerah rawa dangkal sampai sedang. Padahal, daerah rawa dalam,
yang digenangi air 2-3 m, terbentang begitu luas. Jangankan di
luar Jawa. Di Lamongan, Jawa Timur saja rawa jenis ini ada
sekitar 20.000 ha.
Untuk itu, sejak dua tahun lalu BPTP meneliti enam galur
(pravarietas) padi dari Bangladesh, yaitu Habiganj Aman 1 dan 2,
Balun, BR224, BR311, dan DWCB. Inilah si jangkung tadi.
Di negeri asalnya, yang banyak sungai dan sering dilanda banjir
itu, si jangkung memang biasa ditanam di daerah rawa dengan
kedalaman 2 sampai 3 m. Jenis ini sudah ada di negeri itu sejak
ratusan tahun lalu, tumbuh liar di rawa-rawa di tepi sungai.
Baru dalam 10 tahun terakhir ditanam secara intensif aleh petani
di sana.
Di sini pun, setelah lewat proses dipenelitian selama dua tahun,
kehandalan si jangkung sudah teruji. "Kami sudah menemukan padi
yang betul-betul tahan genangan air," kata Dr. Zainuddin
Harahap, yang memimpin penelitian itu.
Mula-mula, bibit padi jangkung ini, ketika tingginya 10 cm,
direndam di dalam bak yang berisi air setinggi 50 cm. Setelah
lima hari, bak dikeringkan, ternyata bibit itu tetap hidup.
Padahal, dengan perlakuan yang sama, Mahakam dan Bogowonto,
jenis varietas lokal lainnya, pada layu dan mati.
Di kompleks kebun percobaan BPTP di Bogor, dibuat sebuah bak
seluas 20 x 20 m, sedalam 3 m. Ke dalamnya dimasukka si
jangkung yang berumur satu bulan, lalu bak itu diisi air sampai
padi itu tenggelam. Jarak ujung padi dengan permukaan air 30
sampai 40 cm. Anehnya, bukan cuma tak mati, si jangkung tumbuh
terus mengejar permukaan air. "Sesuai dengan sifat tumbuh
tumbuhan yang ingin selalu mendapatkn sinar matahari," ujar
Harahap, ahli pemuliaan tanaman lulusan Universitas Louisiana
(AS), 1975, itu.
Begitulah, setiap muka air dipertinggi, si jangkung tumbuh kian
tinggi, sampai ketinggian air 3 m, pucuk daun si jangkung masih
melampaui permukaan air sampai 40 cm. Ketika umurnya sudah tiga
bulan, dan mulai memasuki masa pembuahan, pekerjaan menaikkan
muka air dihentikan. Dan pada Oktober lalu, si jangkung itu
sudah dipanen dan hasilnya diperkirakan tiga ton per ha. Pada
waktu yang hampir sama, padi ini juga ditanam - untuk tes
adaptasi - di atas tanah rawa-rawa seluas 100 m persegi, di
Alabio, Kalimantan Selatan.
Dari berbagai percobaan itu, si jangkung tampaknya cocok ditanam
di daerah rawa di sini, sampai kedalaman air 3 m. Misalnya untuk
lahan pasang surut dan lebak. Namun, kalau banjir datang
tiba-tiba dengan arus deras, "padi itu akan tercerabut dan
mati," kata Harahap kepada TEMPO.
Meski umur si jangkung - 140 sampai 150 hari - memang kalah
singkat dibanding Mahakam, ada kelebihannya yang cukup penting.
Jika air surut menjelang panen, pohonnya cukup kekar dan tak
rubuh. Paling-paling, rumpunnya condong sampai 45 derajat.
Tetapi bukankah hal itu malah memudahkan petani menuai buah dari
tubuhnya yang teramat jangkung?
Melihat kondisi ini, Harahap berpendapat bahwa sebaiknya padi
ini ditanam pada awal musim penghujan, ketika air rawa atau
lebak masih dangkal, sehingga mudah menanam bibitnya. Ketika
musim panen, Maret atau April, air sudah surut lagi.
Tahun depan BPTP akan mencoba menanam padi ini di atas 1.000
hektar rawa-rawa di Kalimantan Selatan. Selain untuk penelitiin
lanjutan di areal yang luas, "juga untuk membuat benih yang akan
disebarkan kepada petani," kata Harahap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini