Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Album obl telah tutup

Mati tertembak saat keluar penjara, setelah selesai menjalani hukuman dalam kasus bank gelap. sejumlah perkara menjadi buntu. (krim)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMBEBASAN Oey Boen Lian (OBL) alias Slamet Widodo, 16 Desember itu, ternyata hanya di atas kertas. Sebelum OBL, 44, melangkah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, tujuh polisi berpakaian preman dari Semarang menemuinya. Moestari, yang memimpin keenam rekannya, menyodorkan sepucuk surat perintah penangkapan. Alasannya - seperti tertera dalam surat perintah yang ditandatangani Letnan Kolonel Kadargono - OBL diduga keras melakukan pembunuhan terhadap Christiana Lina Dewi. Disaksikan pengacaranya, Judjono, kepala LP Wahono, dan Jaksa Yushar Yahya, lelaki yang senang berpakaian perlent itu dikawal naik ke sebuah mobil. Sebuah mobil lain membuntutinya. OBL hendak dibawa ke Semarang. Mendadak, esok harinya, pihak keluarga mendapa pemberitahuan bahwa OBL telah mati tertembak. "Saya hampir tak percaya mendengar berita itu," kata Judjono. Soalnya, menurut pengacara itu, ketika meninggalkan LP, kliennya tampak riang dan segar. Penembakan, seperti didengar Judjono dari seorang pejabat kepolisian Jawa Tengah di Semarang, terjadi di Desa Jambu, sekitar 5 km barat laut Ambarawa. Saat itu, sekitar pukul 19.30, kendaraan yang ditumpangi OBL "ngadat". Pemilik Toko Slamet, yang namanya sering dikaitkan dengan kematian Lina itu, konon minta izin untuk buang air kecil. Ternyata, katanya, ia terus lari. Tembakan betul-betul dilepas, setelah tembakan peringatan tak digubris. OBL pun jatuh tersungkur di semak-semak. Kepala dan punggung sebelah kirinya cedera. Begitu cerita sementara yang terdengar. Kepolisian sendiri belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang bagaimana persisnya penembakan itu terjadi. Maka, ada-ada saja omongan orang. Ada yang menduga, OBL memang sengaja dihabisi karena, mungkin, ia diketahui terlibat berbagai tindak pidana yang sulit dibuktikan. Bisa juga, menurut sebuah sumber TEMPO, ada pihak-pihak tertentu yang merasa risi bila OBL masih hidup. Sebab, katanya, sepak terjang lelaki yang dikenal dekat dengan beberapa pejabat di Purwokerto itu sudah mulai merepotkan. Sebelumnya terdengar cerita, untuk menggolkan sesuatu, misalnya, OBL konon sering mengumpan cukong atau pejabat dengan wanita cantik. Judjono, terus terang, meragukan kliennya sampai begitu nekat mencoba melarika diri. "Waktu dijemput petugas di LP, ia manut, menurut saja. Tidak ada gelagat dia mau memberontak," katanya Karena penasaran ia lalu menyempatkan diri melongok lokasi di bilangan Jambu, tempat penembakan terjadi. Di kiri dan kanan jalan raya itu, katanya, tumbuh semak dan perdu. Siapapun yang lari di situ, menurut perkiraannya, akan mudah tertangkap kembali - tanpa harus didor. "Tapi, entahlah," kata Judjono lagi, seperti sedang bingung. Nama OBL sering dihubungkan denga kematian Lina alias Cucu, 18, pelajar SMA Bruderan di Purwokerto. Gadis yang lincah dan menjabat ketua OSIS di sekolahnya itu, malam 19 April 1982 lalu, pulang ke rumah dalam keadaan payah. Pada becak yang dinaikinya, ada sekaleng racun nyamuk yang sudah terbuka. Diduga, Cucu telah meminumnya. Ia segera dilarikan ke rumah sakit, tapi jiwanya tak tertolong. Tapi, sebelum menutup mata, kepada ayahnya, Yayah Budiman, pemilik pabrik ini, Cucu sempat memberikan sebuah nomor telepon yang tak lain milik OBL Dan ketika OBL dihubungi, lelaki itu segera meletakkan gagang telepon. Pihak keluarga mencurigai OBL: mendalangi atau, paling tidak, tahu-menahu tentang kematian Cucu. Sebab, gadis itu sempat berkata, "Saya belum mau mati ... saya dibohongi OBL." OBL menyangkal tuduhan yang diaramatkan kepadanya. Ia hanya mengaku bahwa memang mereka intim. "Dia sudah lihai dan terbiasa bergaul di ranjang," kata OBL. Gaya hidup Lina memang berbeda dengan penampilannya di sekolah. Dia gemar berpakaian apik dan, menurut beberapa kenalannya, gadis itu tak asing lagi dengan kehidupan malam di hotel atau penginapan (TEMPO, 9 April 1983). Upaya polisi menjaring OBL, dengan mengaitkannya dengan kematian Lina, boleh dibilang selalu kandas. Tim dari Markas Besar Polri, yang diterjunkan melacak peristiwa itu, tampaknya tak menemukan bukti yang cukup berarti. Dan kesombongan OBL pun menjadi-jadi. Dia, misalnya, sering "ngomong" seenaknya: seolah-olah dirinya kebal hukum. Namun, akhirnya dia kena perkara juga. Ia dituduh membuka bank gelap. Pengadilan tingkat pertama menghukumnya 10 bulan penjara. Pengadilan banding meringankan hukumannya menjadi delapan bulan penjara. Dan pada 6 Desember itulah ia mendapat pembebasan. Sebenarnya, masih ada beberapa perkara lain menunggunya: penipuan, pemalsuan stempel undian harapan, dan kasus video porno. Semua perkara itu, tentu saja, jadi gugur. "Sayang sekali, kepergiannya terlalu cepat," komentar Judjono. Sementara itu, O.C. Kaligis, pengacara dari Jakarta pun turut menyayangkan kematian OBL. November lalu, katanya, ia kedatangan utusan Yayah Budiman yang meminta kesediannya memberi bantuan hukum sehubungan dengan kasus kematian Lina. Rupanya, ditemukan bukti-bukti baru yang mengarah ke keterlibatan OBL. "Dua kali mereka datang dan saya sudah bilang, oke, kata Kaligis. Setelah OBL tertembak, katanya lagi, utusan Yayah belum menghubunginya lagi. Pengusaha mi itu, menurut sebuah sumber, tampaknya memang bertekad membuktikan bahwa Lina bukan mati bunuh diri. Belum lama ini, kabarnya, mereka menjual sebuah rumah di Jakarta seharga Rp 200 juta. "Biarlah harta saya ludes, pokoknya perkara Lina harus dibongkar," begitu konon dia pernah berkata. Tapi keadaan menentukan lain. OBL tertembak sebelum terbukti bertanggung jawab atas kematian Lina. Pihak keluarga OBL, tampaknya, sudah pasrah atas kejadian itu. Mereka tak berniat menuntut, atau mencari tahu, adakah OBL tertembak karena lari atau memang sengaja dihabisi. "Dia sudah meninggal, mau apa lagi? Album lama sudah ditutup," kata Eko, adik ipar OBL. Kini "orang kuat" Purwokerto itu memang telah terbaring tenang di pemakaman Cina di Tanjung. Di pemakaman itu pulalah Cucu terbaring.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus