PEMBEBASAN Oey Boen Lian (OBL) alias Slamet Widodo, 16 Desember
itu, ternyata hanya di atas kertas. Sebelum OBL, 44, melangkah
keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Purwokerto, tujuh polisi
berpakaian preman dari Semarang menemuinya. Moestari, yang
memimpin keenam rekannya, menyodorkan sepucuk surat perintah
penangkapan. Alasannya - seperti tertera dalam surat perintah
yang ditandatangani Letnan Kolonel Kadargono - OBL diduga keras
melakukan pembunuhan terhadap Christiana Lina Dewi.
Disaksikan pengacaranya, Judjono, kepala LP Wahono, dan Jaksa
Yushar Yahya, lelaki yang senang berpakaian perlent itu dikawal
naik ke sebuah mobil. Sebuah mobil lain membuntutinya. OBL
hendak dibawa ke Semarang. Mendadak, esok harinya, pihak
keluarga mendapa pemberitahuan bahwa OBL telah mati tertembak.
"Saya hampir tak percaya mendengar berita itu," kata Judjono.
Soalnya, menurut pengacara itu, ketika meninggalkan LP, kliennya
tampak riang dan segar.
Penembakan, seperti didengar Judjono dari seorang pejabat
kepolisian Jawa Tengah di Semarang, terjadi di Desa Jambu,
sekitar 5 km barat laut Ambarawa. Saat itu, sekitar pukul 19.30,
kendaraan yang ditumpangi OBL "ngadat". Pemilik Toko Slamet,
yang namanya sering dikaitkan dengan kematian Lina itu, konon
minta izin untuk buang air kecil. Ternyata, katanya, ia terus
lari. Tembakan betul-betul dilepas, setelah tembakan peringatan
tak digubris. OBL pun jatuh tersungkur di semak-semak. Kepala
dan punggung sebelah kirinya cedera.
Begitu cerita sementara yang terdengar. Kepolisian sendiri belum
mengeluarkan pernyataan resmi tentang bagaimana persisnya
penembakan itu terjadi. Maka, ada-ada saja omongan orang. Ada
yang menduga, OBL memang sengaja dihabisi karena, mungkin, ia
diketahui terlibat berbagai tindak pidana yang sulit dibuktikan.
Bisa juga, menurut sebuah sumber TEMPO, ada pihak-pihak tertentu
yang merasa risi bila OBL masih hidup. Sebab, katanya, sepak
terjang lelaki yang dikenal dekat dengan beberapa pejabat di
Purwokerto itu sudah mulai merepotkan. Sebelumnya terdengar
cerita, untuk menggolkan sesuatu, misalnya, OBL konon sering
mengumpan cukong atau pejabat dengan wanita cantik.
Judjono, terus terang, meragukan kliennya sampai begitu nekat
mencoba melarika diri. "Waktu dijemput petugas di LP, ia manut,
menurut saja. Tidak ada gelagat dia mau memberontak," katanya
Karena penasaran ia lalu menyempatkan diri melongok lokasi di
bilangan Jambu, tempat penembakan terjadi. Di kiri dan kanan
jalan raya itu, katanya, tumbuh semak dan perdu. Siapapun yang
lari di situ, menurut perkiraannya, akan mudah tertangkap
kembali - tanpa harus didor. "Tapi, entahlah," kata Judjono
lagi, seperti sedang bingung.
Nama OBL sering dihubungkan denga kematian Lina alias Cucu, 18,
pelajar SMA Bruderan di Purwokerto. Gadis yang lincah dan
menjabat ketua OSIS di sekolahnya itu, malam 19 April 1982 lalu,
pulang ke rumah dalam keadaan payah. Pada becak yang dinaikinya,
ada sekaleng racun nyamuk yang sudah terbuka. Diduga, Cucu telah
meminumnya. Ia segera dilarikan ke rumah sakit, tapi jiwanya tak
tertolong.
Tapi, sebelum menutup mata, kepada ayahnya, Yayah Budiman,
pemilik pabrik ini, Cucu sempat memberikan sebuah nomor telepon
yang tak lain milik OBL Dan ketika OBL dihubungi, lelaki itu
segera meletakkan gagang telepon. Pihak keluarga mencurigai
OBL: mendalangi atau, paling tidak, tahu-menahu tentang kematian
Cucu. Sebab, gadis itu sempat berkata, "Saya belum mau mati ...
saya dibohongi OBL."
OBL menyangkal tuduhan yang diaramatkan kepadanya. Ia hanya
mengaku bahwa memang mereka intim. "Dia sudah lihai dan terbiasa
bergaul di ranjang," kata OBL. Gaya hidup Lina memang berbeda
dengan penampilannya di sekolah. Dia gemar berpakaian apik dan,
menurut beberapa kenalannya, gadis itu tak asing lagi dengan
kehidupan malam di hotel atau penginapan (TEMPO, 9 April 1983).
Upaya polisi menjaring OBL, dengan mengaitkannya dengan kematian
Lina, boleh dibilang selalu kandas. Tim dari Markas Besar Polri,
yang diterjunkan melacak peristiwa itu, tampaknya tak menemukan
bukti yang cukup berarti. Dan kesombongan OBL pun menjadi-jadi.
Dia, misalnya, sering "ngomong" seenaknya: seolah-olah dirinya
kebal hukum. Namun, akhirnya dia kena perkara juga. Ia dituduh
membuka bank gelap. Pengadilan tingkat pertama menghukumnya 10
bulan penjara. Pengadilan banding meringankan hukumannya menjadi
delapan bulan penjara. Dan pada 6 Desember itulah ia mendapat
pembebasan.
Sebenarnya, masih ada beberapa perkara lain menunggunya:
penipuan, pemalsuan stempel undian harapan, dan kasus video
porno. Semua perkara itu, tentu saja, jadi gugur. "Sayang
sekali, kepergiannya terlalu cepat," komentar Judjono. Sementara
itu, O.C. Kaligis, pengacara dari Jakarta pun turut menyayangkan
kematian OBL. November lalu, katanya, ia kedatangan utusan Yayah
Budiman yang meminta kesediannya memberi bantuan hukum
sehubungan dengan kasus kematian Lina. Rupanya, ditemukan
bukti-bukti baru yang mengarah ke keterlibatan OBL. "Dua kali
mereka datang dan saya sudah bilang, oke, kata Kaligis. Setelah
OBL tertembak, katanya lagi, utusan Yayah belum menghubunginya
lagi.
Pengusaha mi itu, menurut sebuah sumber, tampaknya memang
bertekad membuktikan bahwa Lina bukan mati bunuh diri. Belum
lama ini, kabarnya, mereka menjual sebuah rumah di Jakarta
seharga Rp 200 juta. "Biarlah harta saya ludes, pokoknya perkara
Lina harus dibongkar," begitu konon dia pernah berkata.
Tapi keadaan menentukan lain. OBL tertembak sebelum terbukti
bertanggung jawab atas kematian Lina. Pihak keluarga OBL,
tampaknya, sudah pasrah atas kejadian itu. Mereka tak berniat
menuntut, atau mencari tahu, adakah OBL tertembak karena lari
atau memang sengaja dihabisi. "Dia sudah meninggal, mau apa
lagi? Album lama sudah ditutup," kata Eko, adik ipar OBL. Kini
"orang kuat" Purwokerto itu memang telah terbaring tenang di
pemakaman Cina di Tanjung. Di pemakaman itu pulalah Cucu
terbaring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini