Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Ahli Madya dari Pusat Riset Teknologi dan Proses Pangan (PRTPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ervika Rahayu Novita Herawati, meneliti dan mengembangkan tanaman kakao alias coklat (theobroma Cacao) yang aman bagi penderita diabetes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
‘’Mengkonsumsi cokelat juga dapat mengontrol gula darah dan melancarkan peredaran darah. Hal ini karena kandungan flavanol di dalam cokelat,’’ ucap Ervika melalui keterangan tertulis, Kamis, 29 Februari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain diminati karena rasanya, coklat juga bermanfaat untuk kesehatan. Ervika menyebut cokelat bisa mencegah penyakit jantung, kanker, dan menghambat penuaan dini. Kandungan senyawa flavonoid dalam cokelat memiliki aktivitas antioksidan.
Komoditas itu juga mengandung kalsium untuk penguatan tulang dan gigi, potassium untuk mengatur tekanan darah, serta magnesium untuk membantu penyerapan kalsium. Ada pula asam phenylethylamine yang dapat merangsang otak untuk mengeluarkan hormon endorfin dan serotonin. “Berfungsi sebagai penenang alami untuk relaksasi,’’ tuturnya.
Sejak 2014, Ervika dan Kelompok Riset Rekayasa Teknologi Protein Alternatif PRTPP berkolaborasi dengan Bank Indonesia Yogyakarta dan Dinas Pertanian Kabupaten Gunungkidul untuk meneliti tanaman cokelat. Kakao yang dipelajari berada di sekitar Gunung Api Purba sekitar Desa Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul. Sebelum disambangi tim BRIN, para petani cokelat di sana belum mengoptimalkan biji kakao untuk meningkatkan ekonomi.
Ervika menilai kualitas cokelat di Gunungkidul dapat bersaing dengan cokelat yang lain, asal pengolahannya benar. Pengolahan biji cokelat, menurut dia, tergolong kompleks dari hulu ke hilir.
Kandidat Doktor Fakultas Teknik Pertanian Universitas Gadjah Mada ini mengatakan proses pengolahan kakao sangat menentukan kualitas produk cokelat. “Sehingga pengolahan pascapanen harus dilakukan secara tepat.”
Ia mengatakan para petani hanya mengolah cokelat sampai pada produk biji kering dan langsung dijual ke pengepul. Belum semua petani menerapkan proses fermentasi dengan tepat. Padahal, tahap itu menentukan cita rasa yang berpengaruh pada kualitas produk akhir.
Meski alat pendukung dan pengetahuan petani lokal soal pengolahan biji cokelat masih terbatas, Ervika dan tim tetap memulai pendampingan berkonsep usaha kecil menengah (UKM) yang terbagi dalam tiga kluster. Ketiga kluster itu adalah pemetikan biji, pengolahan biji, serta versifikasi.
’Ketiganya harus saling terkait, Jika salah satu hasilnya kurang maksimal akan berpengaruh pada kualitas produknya,’’ ucapnya.
Kolaborasi BRIN dan petani cokelat Nglanggeran juga terkait pengembangan cokelat probiotik. Jenis cokelat yang digunakan untuk penelitian ini adalah dark cokelat. ‘’Dalam proses ini, ada penambahan bakteri asam laktat yang diformulasikan sedemikian rupa, serta menggunakan beberapa jenis gula yang aman untuk penderita diabetes,.”
Cokelat yang aman bagi penderita diabetes itu sudah melalui pengujian di lab, meliputi analisis fisik, analisis kimia, serta pengujian sensorik cita rasa. Uji sensorik dilakukan oleh beberapa panelis sebelum cokelat ini diproduksi lebih banyak.
Ada juga pengujian dengan hewan coba—sering diistilahkan sebagai in-vivo. Dari pengujian in-vivo yang memakai tikus, peneliti menemukan penurunan glukosa darah. Selanjutnya cokelat probiotik juga diuji ke manusia.
Dalam penelitian ini, tim BRIN juga melihat nilai indeks glikemik yaitu pola kenaikan glukosa darah responden ketika mengkonsumsi suatu makanan. Hasilnya, nilai indeks glikemik tercatat rendah pada cokelat probiotik. “Aman untuk dikonsumsi penderita diabetes,” kata Ervika.