Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK terlihat keletihan di raut muka Ahmad Ghofar Ismail, Kepala Balai Besar Jalan Nasional V, yang memimpin Proyek Pembangunan Jembatan Nasional Suramadu. Dengan sabar alumnus Program Studi Ilmu Transportasi Pascasarjana Institut Teknologi Bandung ini menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan wartawan dalam jumpa pers di salah satu ruangan kantor PT Jasa Marga Cabang Surabaya pada Selasa pekan lalu.
Seusai acara itu pun beberapa wartawan tetap saja menguntit lelaki 56 tahun itu ke luar ruangan dengan berondongan pertanyaan. Umumnya mereka bertanya perihal maraknya pencurian baut, mur, rambu, dan lampu sejak Jembatan Suramadu mulai beroperasi. Sambil berdiri di depan sebuah ruangan, dengan suara seraknya yang khas, Ismail menjawab pertanyaan Rohman Taufiq dari Tempo. Berikut ini cuplikannya.
Bagaimana sejarah pembangunan jembatan ini?
Sejarah jembatan ini sangatlah panjang. Dulu ada konsep Trinusa Bima Sakti, yakni gagasan penyatuan Nusantara dengan dibangunnya tiga jembatan besar, yang menghubungkan Jawa dan Sumatera di Selat Sunda, Jawa dan Bali di Selat Bali, serta Jawa dan Madura di Selat Madura. Hanya, yang paling mungkin dan bisa dilakukan untuk sementara adalah jembatan Jawa-Madura.
Untuk Suramadu, meski ada beberapa kali pergantian pemerintahan, konsep ini berjalan terus. Presiden Megawati menancapkan tiang pancang pertama pada 2003 dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meresmikannya pada 10 Juni 2009.
Pembangunan jembatan ini melibatkan Cina. Sejauh mana peran para insinyur Indonesia?
Sejak awal pengerjaan, proyek ini didesain oleh para insinyur kita di bawah naungan Departemen Pekerjaan Umum. Kita memang dibantu Cina karena sebagian dananya berasal dari Cina. Jembatan ini melibatkan sekitar 3.500 tenaga kerja, yang 65 persen di antaranya pekerja Indonesia. Para akademisi dari Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Surabaya, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, dan Universitas Gadjah Mada serta pakar-pakar lain memiliki andil yang cukup besar di sini.
Apakah pemilihan model jembatan ini mempertimbangkan nilai estetika?
Jembatan ini harus mempertimbangkan nilai keindahan, apalagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur menginginkan Suramadu sebagai daerah wisata, sehingga desain jembatan juga harus memilih yang punya konfigurasi indah. Maka kemudian dipilih jembatan dengan kabel penahan (cable stayed) karena bentuknya indah serta gagah.
Apa kendala yang dihadapi untuk mewujudkan Suramadu?
Biasalah kalau setiap pekerjaan selalu ada hambatan, apalagi pekerjaan besar semacam ini. Hambatannya dimulai dari masalah sosial, seperti waktu membersihkan ranjau (di sekitar Suramadu memang banyak ranjau yang dipasang Belanda saat Perang Dunia II). Saat itu ada protes dari para nelayan karena mereka menganggap tangkapan ikannya menurun. Ya, kami langsung membicarakan masalah ini dengan mereka. Kami tanyakan apa persoalannya dan mencarikan solusinya. Solusinya bukan uang, karena kami bukan instansi yang bagi-bagi uang. Kami akhirnya sepakat bertemu dengan para nelayan itu dan kami datangi kelompok-kelompok mereka untuk menjelaskan perlunya pembersihan ranjau.
Setelah pembangunan selesai, ternyata masih saja muncul masalah sosial. Mur dan baut hilang. Bagaimana Anda menyikapinya?
Yang resmi dilaporkan ke saya, ada 42 lampu penerangan hilang. Beberapa mur dan rambu juga. Pencuri itu kan ada di mana-mana. Kini tinggal meningkatkan keamanan. Yang pasti, kami menyayangkan hal ini terjadi. Sebab, begitu dibuka, Jembatan Suramadu sudah nyata manfaatnya. Kalau ada yang hilang kan sayang. Coba lihat, di sisi Madura saat ini sudah bermunculan pedagang kaki lima. Ini bukti nyata ada lapangan pekerjaan baru bagi mereka. Karena itu, marilah kita jaga bersama jembatan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo