Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK Jembatan Suramadu dibuka untuk umum pada Sabtu dua pekan lalu, suasana dermaga feri Ujung di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dan dermaga Kamal, Madura, tak seramai biasanya. Jumlah feri yang beroperasi kini turun, hanya delapan kapal per hari, dari biasanya 12 kapal. ”Ada penurunan penumpang sekitar 20 persen,” kata Kepala Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Surabaya, Prasetyo Bakti Utomo, pekan lalu.
ASDP mengelola 18 feri yang melayani rute penyeberangan dari Surabaya ke Madura. Pada masa jayanya, menurut survei Proyek Pembangunan Jembatan Nasional Suramadu pada 2002, armada feri itu mampu mengangkut 315 kendaraan ringan, 1.036 truk kecil, 324 truk besar, 260 bus, dan 8.128 sepeda motor setiap hari.
Menyusutnya jumlah penumpang dan kendaraan jelas mengancam masa depan bisnis feri penghubung Jawa dan Madura itu. Dan pengelola ASDP paham benar penyebabnya. Kemampuan feri melayani lalu lintas penumpang, barang, dan kendaraan, misalnya, dianggap sudah tak memadai bagi kebutuhan masyarakat yang kian mengutamakan kecepatan. Ini terlihat dari waktu tunggu rata-rata kendaraan di pelabuhan Ujung dan Kamal yang sekitar setengah jam, ditambah proses menaikkan dan menurunkan penumpang ke atas feri selama 30 menit, dan terakhir waktu penyeberangan sekitar 30 menit. Jadi paling cepat dibutuhkan waktu sekitar satu setengah jam untuk menyeberang.
Lama penyeberangan semakin panjang di akhir pekan atau musim liburan, terutama saat Lebaran dan hari besar Islam lainnya. Bandingkan dengan waktu tempuh sebuah kendaraan yang hanya 15 menit bila melalui Jembatan Suramadu.
Ongkos penyeberangan feri juga sudah tak kompetitif. Tarif penyeberangan feri yang berlaku saat ini Rp 5.800 untuk sepeda motor dan Rp 65 ribu untuk kendaraan roda empat. Padahal tarif jalan tol Suramadu hanya Rp 3.000 untuk sepeda motor dan Rp 30 ribu untuk kendaraan roda empat.
Karena itulah Prasetyo mengusulkan Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai dan Penyeberangan menurunkan tarif feri sehingga bisa bersaing dengan tarif Suramadu. ”Tapi ini semua tergantung Gabungan Pengusaha,” katanya.
Ketua Gabungan Pengusaha, Bambang Harjo, juga mengeluh soal penurunan penumpang, yang membuat pendapatan mereka anjlok hingga 60 persen. Bambang memang tak merinci bagaimana penurunan pendapatan itu terjadi, tapi dia menyebutkan makin sedikitnya sepeda motor yang menggunakan feri. ”Solusinya hanya satu, pemerintah harus memberikan subsidi agar kami tetap bisa jalan,” kata Bambang.
Dengan subsidi ini, kata dia, nantinya ASDP bisa menurunkan harga karcis feri agar bisa bersaing dengan tarif jalan tol Suramadu. Para pemilik kapal juga berencana mempersingkat waktu sandar, dari yang biasanya 40 menit menjadi 30 menit.
Prasetyo masih yakin jasa penyeberangan feri Ujung-Kamal tidak akan mati. Menurut dia, penyeberangan dengan feri relatif sedikit kendalanya dibanding melalui Suramadu. Dia lalu memberikan ilustrasi seandainya terjadi kecelakaan di atas Suramadu. Lalu lintas pasti macet dan masyarakat akan kembali naik feri. ”Feri dan Suramadu tak bermusuhan, tapi akan didesain untuk saling mendukung,” kata Prasetyo.
Prasetyo bahkan tetap optimistis dengan menunggu hasil kajian pengoperasian Suramadu setidaknya sebulan ke depan. ”Saat ini kan masih gratis. Kita belum tahu kalau Suramadu bayar jadinya seperti apa,” katanya. Jalan tol Suramadu memang baru mulai membuka loket pembayaran pada Rabu pekan lalu.
Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal juga mengatakan pemerintah akan mengkaji pengoperasian kedua layanan penyeberangan itu selama tiga bulan. ”Kita uji coba rute feri sekaligus Jembatan Suramadu, berapa besar penurunannya dalam tiga bulan,” kata Syafii setelah meresmikan penggunaan tiket elektronik di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, Senin pekan lalu.
Hasil kajian itu nanti akan digunakan untuk menetapkan langkah pemerintah selanjutnya terhadap jumlah feri yang beroperasi. ”Nanti kita bisa melihat berapa idealnya kapal yang dioperasikan, apakah 10 atau 12, dan itu baru bisa ditentukan setelah melihat potensi penurunannya,” kata Syafii.
Kurniawan, Rohman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo