Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMPRITAN kecil itu bila ditiup menimbulkan bunyi cericit-cuit-cuit burung. Suaranya seperti burung-burung yang bergembira meloncat dari ranting ke ranting. Sempritan dari bambu itu dibeli komponis Rahayu Supanggah di sebuah kios di Tanah Lot, Bali. ”Cuma lima ribuan,” katanya.
Panggah menggunakan alat musik mainan anak-anak itu dalam latihannya bersama Kronos Quartet. David Harrington (violin), John Sherba (violin), Hank Dutt (viola), dan Jeffrey Zeigler (cello), empat anggota Kronos Quartet, membebaskan Rahayu Supanggah menggunakan instrumen apa saja—yang dibeli di pasar atau kios-kios di lokasi wisata Bali. Itulah suasana pementasan kolaborasi Rahayu Supanggah dan Kronos Quartet di Ubud. Pekan lalu, seusai konsernya di Australia, Kronos khusus terbang ke Bali untuk menemui Supanggah. Selama seminggu mereka berlatih bersama di Purnati Art Centre, Ubud.
Kronos Quartet dibentuk pada 1973 oleh David Harrington di Seattle. Pada 1978, mereka berdomisili di San Francisco. Kronos terkenal sebagai kuartet gesek yang memainkan karya komposer avant garde Amerika seperti Steve Reich Phillip dan Terry Rilley. Mereka juga kerap memainkan eksperimen di dunia rock seperti karya David Bowie dan Bjork. Kolaborasi mereka dengan komposer lintas benua dari Afrika sampai Azerbaijan sudah tak terhitung. Mereka, misalnya, pernah bermain bersama maestro alat musik pipa dari Cina, Wu Man. Album terbaru mereka, Floodplain, bekerja sama dengan band asal Palestina, Ramallah Underground. Dan semenjak empat tahun lalu mereka mengincar Rahayu Supanggah.
”Kami berkenalan dengan Rahayu Supanggah melalui Restu Imansari,” kata Harrington. Harrington mengagumi komposisi Supanggah tatkala Panggah menjadi penata musik Robert Wilson dalam I La Galigo, lakon yang pementasannya melibatkan Restu sebagai koordinator artistik. Agaknya, kerja sama Panggah dengan Robert Wilson melambungkan nama Supanggah di panggung musik kontemporer. ”Kami juga mendengar komposisi Panggah yang dibuatnya untuk film Opera Jawa,” Harrington menambahkan. Kronos tertarik karena keterampilan Panggah bermain gender. Dalam kolaborasi, instrumen utama yang dimainkan Panggah adalah gender.
Tahun lalu Panggah datang ke sarang Kronos di San Francisco. ”Kronos itu kalau dalam cerita wayang ibarat Ramaparasu,” kata Panggah, tertawa. Ramaparasu adalah brahmana dalam kisah Mahabharata yang senantiasa mengembara dan menantang kesaktian setiap kesatria. Adapun Kronos menantang berbagai komposer di dunia untuk membuat komposisi sesulit apa pun untuk mereka mainkan. Di San Francisco, Kronos meminta Panggah membuat sebuah karya. ”Tiga hari saya stres,” kata Panggah. Ia bingung hendak memulai dari mana, karena ia tidak terbiasa membuat komposisi musik bertolak dari partitur not balok.
”Kami kemudian lebih banyak diskusi,” tutur Panggah. Menurut Panggah, ada beberapa cara yang ditempuhnya untuk mengemukakan ide-ide komposisinya kepada Kronos. ”Saya mula-mula menguji kepekaan pendengaran mereka. Ia memainkan rebab, lalu ia minta anggota Kronos menirukan dengan gesekan violin. Ia juga mencoba menulis dengan angka-angka, meminta Kronos menafsirkannya, dan ternyata Kronos mampu menerjemahkan ke notasi.
Ketika di San Francisco itu Panggah dan Kronos mengunjungi Hamilton Tower di Oliver Ranch, sebuah menara karya arsitek Ann Hamilton yang mendapat anugerah San Francisco Merit Award for Excellence in Architecture. Menara itu berbentuk silinder dinding yang tingginya kurang-lebih 25 meter dengan diameter 9 meter. Bagian atas terbuka seperti cerobong. Silinder dinding itu tertutup, tak ada jendela untuk melihat panorama. Menara itu khusus dibuat dengan mempertimbangkan segi akustik. Tangganya melingkar-lingkar spiral menuju bagian atas yang terbuka. Dan di bagian bawah ada kolam air. Menara itu memang didesain khusus menjadi tempat pertunjukan. Beberapa kali di situ telah diadakan pertunjukan tari eksperimen dan paduan suara.
”Rahayu Supanggah memiliki ide untuk membuat semacam musik ritual di Menara Hamilton. Ini ide yang sangat fantastis,” kata Harrington. Menurut Harrington, mereka akan membuat komposisi yang menitikberatkan pada unsur gaung. ”Kami akan menggantung-gantung gong dan genta di tangga menara itu.” Mereka juga akan mengolah unsur bau dalam pertunjukan itu. Rencananya, bersama Supanggah mereka akan berdiri di tangga yang berbeda dan kemudian bergerak naik-turun tangga. ”Kami menginginkan efek suara seperti di dalam gua,” kata Harrington.
Pada Oktober tahun ini rencana itu akan diwujudkan. Maka, dari itulah, setelah konser di Sydney Opera House dan Melbourne Recital Centre pada 5 Juni lalu, mereka ke Ubud, melanjutkan latihan bersama Panggah. Selama latihan mereka bersama Panggah keluar-masuk Pasar Sukawati membeli berbagai mainan anak-anak, seperti sempritan, gantungan bambu yang bila diangin-anginkan menimbulkan bunyi, dan marakas yang terbuat dari buah keluak. ”Kami mencari instrumen-instrumen yang warna suaranya cocok digantungkan di Tower,” kata Panggah. Ia juga mengajak Kronos Quartet memperhatikan bahwa di Bali unsur bau sangat penting. Di mana saja, di sungai, di pasar, selalu ada sajen.
Dan sore itu, tanggal 13 pekan lalu, hasil kerja sama itu dipergelarkan di hadapan sekitar 60 penonton lesehan, tepat di depan pemusik. Para anggota Kronos berpakaian Bali. Mula-mula Kronos Quartet memainkan tiga nomor pendek. Pertama, sebuah lagu rakyat dari Rumania berjudul Doina Lullaby. Lalu sebuah lagu dari Fairuz, biduanita legendaris dari Libanon—yang terkenal sebagai duta bangsa Arab untuk dunia. Dan kemudian sebuah komposisi dari komponis Afrika, Hamza El Din. Dari situ saja terlihat bagaimana kekayaan Kronos melakukan penjelajahan budaya. Dan kemudian mereka memainkan komposisi karya Panggah.
”Ini nomor karya Panggah yang masih belum ada judul,” kata Harrington. Penonton yang duduk lesehan tertawa. Musik diawali dengan gong. Di antara dua violin, satu viola, dan sebuah cello, Rahayu Supanggah bermain gender. Supanggah melakukan eksperimen dengan gendernya. Gender yang biasanya bertabung bambu digantinya dengan tabung tembaga.
Kolaborasi itu terdengar seperti bersuasana Jawa tapi beyond. Tidak ada benturan antara diatonik dan pentatonik. Kronos Quartet tampak menerapkan pola tabuhan dan harmoni gender ke biola. Antara gender dan instrumen gesek barat itu terjalan suasana dialog yang hangat. Antara Panggah dan Kronos mulanya seperti membuat lagu-lagu sendiri, namun lambat-laun menuju satu titik terminal yang sama. Di tengah tabuhan gender dan gesekan kuartet itu, baik Panggah maupun anggota Kronos meramaikan komposisi dengan suara cericit-cuit-cuit burung dan berbagai bunyi-bunyian yang dibeli di pasar itu. ”Tafsir mereka ikut andil besar memberikan jiwa pada komposisi saya,” kata Panggah.
Di Menara Hamilton nanti, rencananya, komposisi yang dibuat akan lebih bersahut-sahutan. Terbayang di Tower Hamilton, Oktober nanti, bakal digantung-gantung: gong, klunthung sapi, marakas keluak....
Seno Joko Suyono (Ubud)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo