Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada siang yang sejuk, sebuah pesawat Cessna mendarat di tanah berumput di tengah belantara Memberamo, Papua. Perhatian penumpang tertuju pada ratus-an pria, wanita, dan anak kecil berkulit- legam yang berkerumun di dekat landasan.
Mereka menenteng anak panah dan busur. Sekujur tubuh mereka berlumur lumpur kering dan dedaunan yang dise-matkan di kepala, tangan, dan kaki. Sepintas, mereka seperti serombongan prajurit yang siap berperang. Namun kumandang nyanyian dan rentak kaki serempak dengan tetabuhan itu menyi-ratkan suasana gembira.
Tak jauh dari tempat pesawat mendarat, di dekat sederet rumah kayu beratap anyaman rumput kering, tampak kaum perempuan mengacung-acungkan kertas putih bertulisan tangan dalam bahasa yang carut-marut. Salah satu tulisan itu berbunyi, ”Selamat datan bapa. Doran elesem CI mau berlin durgi hutan tropis kami masyarakat Kwerba ka!... Mari bapa. Doran kami sama-sama menjaga kitorang.”
Mereka adalah penduduk Kwerba, sebuah desa kecil di kaki Gunung Foya, dataran tertinggi di hutan Memberamo. Siang itu, 15 November 2005, mere-ka menari untuk menyambut rombong-an pertama 13 peneliti gabungan dari Conservation International Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Universitas Cenderawasih, dan Museum Australia Selatan.
Para anggota rombongan tamu itu berencana meneliti hutan Memberamo-, yang kaya dengan keanekaragaman hayati. Di Kwerba, penelitian itu di-mulai-. Sepekan pertama survei digelar di belantara sekitar desa. Rombongan terbagi dalam lima tim berdasarkan keahliannya, yakni tim mamalia, herpetofauna (reptilia dan amfibia), burung, tumbuhan, dan kupu-kupu.
Setiap hari peneliti dan pemandunya- keluar-masuk hutan untuk berburu tumbuhan dan hewan serta memasang perangkap kupu-kupu, burung, dan kelelawar. Di pos konservasi yang dibangun di dekat desa, sebagian tim mengidentifikasi berbagai temuannya.
Tetapi alam Memberamo tak terlalu- bersahabat. Hujan dan kabut tebal amat menjengkelkan. ”Sampai-sampai ada joke, kalau mau tak berkabut, babat habis saja hutannya,” kata Yance de Fretes, seorang peneliti senior dari Conservation International Indonesia, kepada Tempo, Rabu dua pekan lalu.
Kekesalan terhadap alam tertutupi oleh antusiasme penduduk. Pos menjadi seperti pasar malam karena setiap hari disambangi penduduk. Kaum ibu sampai-sampai membuat dapur umum di sana. Bahan makanannya didapat dari ha-sil buruan para pria. Mereka pun de-ngan senang membaginya kepada para peneliti.
Dua pekan kemudian, peneliti ber-ge-rak lebih jauh ke dalam hutan. Tim ter-bagi dua. Kelompok pertama melakukan survei di puncak Foya, yang berketinggi-an 1.800 sampai 2.000 meter di atas permukaan laut. Mereka diterbangkan de-ngan helikopter sewaan.
Di rombongan ini Burhan Tjaturadi, salah seorang peneliti dari Conserva-tion International Indonesia yang kini menetap- di Papua, bergabung. Dia bercerita, pengalaman tak terlupakan adalah saat kedatangan mereka seperti ”disambut” ratusan kanguru tanah.
Awan yang tebal membuat helikopter tak dapat terbang terlalu tinggi. Pada saat itulah Burhan menyaksikan kanguru-kanguru itu berlarian di sekitar tempat pendaratan, sebuah danau mati.
Kelompok ini mengubek-ubek hutan- di tengah hujan deras, kabut tebal, dan suhu yang mencapai 10 derajat di malam hari. Tantangan lainnya adalah ”serbuan” lintah. Kengerian akan lintah dan alam yang tak bersahabat ini terbayar dengan berbagai temuan me-na-rik dari dataran tinggi. Salah satunya adalah burung mandur dahi emas (Amblyornis flaviforns), yang pernah dila-por-kan keberadaannya di Papua 110 tahun yang lalu. Burhan pun menemukan katak mata jaring (Nyctimystes fluvialitis), yang selama ini hanya diketahui dari spesimen.
Burhan dan kawan-kawannya pun terkadang tak perlu repot ke hutan, karena ada juga binatang yang menyambangi kamp tanpa diundang. Semisal burung-burung yang tertarik dengan tangkapan kupu-kupu. ”Bahkan ditemukannya -spe-sies baru burung madu meliphagidae karena bertandang ke tenda,” katanya.
Cerita dari kelompok kedua yang me-la-kukan survei di ketinggian 200 sampai 500 meter di atas permukaan laut (dpl) lain lagi. Di kelompok ini Yance bergabung. Baginya, perjalanan itu adalah petualangan karena harus menembus hutan lebat dengan berjalan kaki. Hujan deras yang turun tak henti membuat jalanan licin dan berlumpur sehingga mereka jatuh-bangun.
Hari pertama, rombongan Yance tinggal di kamp Muara Manirim. Di tempat- ini mereka menemukan tiga ekor kanguru pohon mantel emas atau Dedrolagus pulcherrimus, spesies yang jadi perbincang-an selama 25 tahun terakhir.
Bila dunia ilmu pengetahuan menganggap kanguru jenis ini amat langka, tak demikian halnya orang di Memberamo. Di hutan ini binatang tersebut amat mudah ditemukan, bahkan tak jarang menjadi target buruan penduduk. Di Manirim, mereka juga menemukan sejenis tikus besar yang belum diketahui spesiesnya.
Keesokan paginya, rombongan bertolak menuju tempat yang lebih tinggi, kamp Hotija. Tempat ini berada dekat sungai sempit beraliran deras yang penuh batu-batu besar.
Perjalanan ke Hotija ternyata jauh lebih berat. Jalan setapak berubah menjadi kubangan lumpur. Mereka juga harus menyeberangi sungai yang dalamnya sampai sedada orang dewasa. ”Saat itu yang kami khawatirkan cuma banjir bandang,” kata Yance bergidik.
Di Hotija, cuaca hanya bersahabat sampai saat matahari ada di atas kepa-la. Namun, di sekitar kamp itu mereka menemukan berbagai spesies palem, ku-pu-kupu, tikus, kelelawar, kuskus tanah, kuskus timur, dan walabi atau babi hut-an.
Setelah sepuluh hari berpisah, kedua rombongan bergabung kembali di Kwer-ba. Wajah mereka pun sumringah. Te-mu-an spesies baru maupun yang baru tapi lama adalah pelipur tubuh yang lelah.
Namun, bagi Yance dan Burhan, ekspedisi kali ini baru langkah awal karena survei mereka baru mencakup 20 persen dari total 10 juta hektare hutan perawan Memberamo. ”Kami akan kembali lagi pada bulan Agustus,” kata Yance.
Pada 9 Desember 2005 siang, seluruh rombongan terbang meninggalkan -Kwer-ba. Mereka dihantar pulang de-ngan cara yang sama seperti saat dijemput. Ketika pesawat bertubuh mungil itu mulai membelah langit, lamat-lamat masih terdengar bunyi tetabuhan, rentak kaki, dan nyanyian dari pengantar yang tertinggal. Lalu sayup-sayup menghilang bersama awan yang mulai membungkus daratan. Ke Memberamo, mereka berjanji akan kembali.
Deddy Sinaga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo