Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyandang tunanetra harus bisa membaca pesan pendek di telepon seluler. Beginilah tekad Muhammad Hanif Sugiyanto, siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 6, Yogyakarta. Keinginannya itu bukan tanpa sebab. Dia sering dimintai bantuan Mursidi, tetangganya yang buta, membaca pesan di layar ponselnya. "Pak Mursidi biasa minta tolong saya baca SMS di ponsel yang diterimanya," kata Hanif.
Dari Mursidi, muncul kesadaran Hanif bahwa banyak penyandang tunanetra lainnya kesulitan membaca pesan di layar ponsel. Meski sudah ada ponsel cerdas yang memiliki fasilitas pesan pendek dengan mode suara, teknologi itu masih belum memadai karena pesan bisa didengar orang lain sehingga tidak ada privasi bagi penggunanya. "Belum lagi ada penyandang disabilitas yang memiliki hambatan penglihatan sekaligus pendengaran," ujar pelajar kelas XII IPA itu.
Tergerak ingin mewujudkan ide itu, siswa yang tinggal di Soropadan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini lalu menggandeng rekan sekelasnya, Swakresna Edityomurti. Mereka kemudian merancang prototipe ponsel Braille yang diberi nama iBlind. Selama sebulan mereka melakukan observasi dan butuh dua pekan dalam pengerjaannya.
Menurut pelajar 18 tahun itu, iBlind sebenarnya masih belum sempurna. Alat itu baru bisa menerjemahkan pesan pendek di perangkat seluler ke bentuk cahaya lampu light emitting diode (LED). Di perangkat iBlind, yang berupa kotak berukuran mirip tablet, ada 30 butir lampu LED. Begitu pesan masuk ke perangkat kartu global system for mobile (GSM) seluler, lampu-lampu LED menyala sesuai dengan huruf pesan yang dikirim.
Ponsel iBlind dilengkapi sejumlah perangkat, seperti lampu LED pelambang huruf, resistor, transistor, mikrokontroler AT Mega 32, kabel sentral, dan USB port. Agar pesan bisa dicitrakan dalam bentuk lampu-lampu LED menyala, lewat perintah dari mikrokontroler, ada perangkat lunak (software) khusus yang memproses programnya. Untuk membuat algoritma software, Hanif mengakui harus minta bantuan mahasiswa di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. "Terlalu rumit kalau harus kami buat sendiri. Belum banyak tahu soal ini," ucap Hanif.
Dengan bantuan software untuk menerjemahkan pesan menjadi perintah penyala lampu LED, pengoperasian iBlind memerlukan sarana perangkat komputer atau laptop. Hanif mengatakan biaya pembuatan iBlind tidak akan terlalu mahal jika pelengkap komponen pengoperasi software yang digunakan langsung terangkai menjadi satu di boks iBlind. "Dengan memakai laptop, biayanya hanya sampai Rp 700 ribu," ujarnya.
Untuk bisa benar-benar bisa dimanfaatkan penyandang tunanetra, iBlind rencananya akan dilengkapi Hanif dengan perangkat micro servo, yakni sejenis motor kecil yang mengubah energi listrik menjadi gaya mekanik. Setahu dia, micro servo biasa dipakai sebagai komponen utama mobil mainan Tamiya. "Intinya agar iBlind mengubah pesan jadi huruf yang bisa diraba," katanya.
Micro servo, menurut Hanif, bisa memicu gerakan mengangkat ke atas. Fungsi ini bisa dimanfaatkan untuk mendorong ke atas perangkat pelengkap lain, berupa titik-titik timbul berbentuk huruf di tekstur layar ponsel iBlind. "Begitu rancangan konsepnya. Kalau jadi, ini bisa membantu penyandang tunanetra bisa membaca SMS sendiri."
Gayung bersambut. Guru-gurunya mendorong agar karyanya bisa didaftarkan di kompetisi National Young Inventor Award Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2013. Akhirnya, iBlind menjadi salah satu finalis National Young Inventor Award LIPI keenam. Karya Hanif dan Swakresna dipamerkan di Gedung Widya Graha, LIPI, Jakarta, pada November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo