Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Jejak Purba Tergerus Marmer

Peneliti menemukan jejak peradaban manusia purba di Gua Song Gentong, Tulungagung. Situs berumur 7.000 tahun rusak akibat penambangan marmer.

6 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mendung tebal menyelimuti kawasan bukit kapur di Desa Besole, Kecamatan Besuki, Kabupaten Tulungagung, akhir bulan lalu. Aspal mulus sejauh 24 kilometer dari Tulungagung berakhir saat memasuki area yang dikelola PT Industri Marmer Indonesia Tulungagung.

Melintasi gerbang perusahaan itu—satu-satunya akses ke kawasan bukit kapur—jalan makin menanjak. Jalan setapak yang menjadi akses di sana hanya bisa dilintasi sepeda motor. Di kanan-kiri jalan, penambang sibuk memecah batu marmer. Di ujung jalan berlumpur dan licin tampak dua bukit batu.

Di kedua lokasi itulah tim arkeolog dari Departemen Antropologi Ragawi Universitas Airlangga, Surabaya, dan Departemen Arkeologi Laboratorium Bioantropologi dan Paleoantropologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, selama tiga tahun sejak 2011 mencari jejak kehidupan kuno di situs Song Gentong. "Mereka menggali tanah di bawah batuan besar itu," kata Karyadi, warga setempat.

Temuan-temuan hasil ekskavasi itu dipamerkan di Laboratorium Kajian Etnografi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, 11-14 Desember 2013. Situs Song Gentong terbagi di dua tempat—yang berjarak sekitar 70 meter. Terdapat enam ceruk seluas 200 meter dengan kedalaman 6-7 meter yang oleh tim arkeolog digolongkan sebagai gua prasejarah. 

Dosen antropologi Unair sekaligus penanggung jawab penggalian, Toetik Koesbardiati, mengatakan ekskavasi di Song Gentong bukan pertama kali dilakukan. Pada 1986, tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional mengadakan kegiatan serupa. "Tapi saat itu hanya menggali permukaannya untuk mendeteksi ada-tidaknya fosil," ujarnya.

Selama tiga tahun penggalian, tim yang terdiri atas mahasiswa dan dosen antropologi menemukan bukti peradaban masa lalu berupa fosil manusia purba dan hewan besar, aneka peralatan, serta sisa makanan. Keseluruhan temuan, kata Toetik, merupakan data penting untuk memahami situs Song Gentong dalam konteks penghunian gua-gua masa prasejarah, khususnya di sekitar pegunungan selatan.

Pada tahun kedua penggalian, ditemukan fragmen tulang tibia. Temuan sisa rangka manusia berikutnya ialah bagian gigi berjumlah lima buah. Pada tahun ketiga, ditemukan lagi sisa rangka manusia, artefak batu, cangkang moluska, tulang berbentuk serpih, alat serut, dan penetak.

Moluska menjadi penunjuk apakah situs hunian manusia purba berhubungan satu dengan lainnya, terutama situs dengan latar belakang ekologi pantai. "Beberapa fragmen peralatan berbahan gerabah juga kami temukan," ujar Toetik.

Toetik dan kawan-kawan yakin aneka peralatan itu digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan makanan. Selain mengkonsumsi daging binatang, manusia Song Gentong diketahui memakan dedaunan, biji-bijian, dan buah-buahan. Adanya aliran sungai tak jauh dari gua makin menguatkan dugaan, selain berburu hewan besar di hutan, mereka mencari ikan. "Tanpa karbohidrat, mereka bisa hidup," ucap Toetik.

Rusyad Adi Suryanto, anggota tim ekskavasi dari Paleoantropologi Forensik Fakultas Kedokteran UGM, mengatakan, berdasarkan penelitian pangur gigi dan pengujian sampel di laboratorium, disimpulkan bahwa manusia Song Gentong tergolong Homo sapiens yang hidup 7.000 tahun silam atau 5.000 tahun sebelum Masehi.

Temuan ini sangat penting guna mengetahui sebaran lokasi dan sejarah nenek moyang manusia modern. Mereka seumuran dengan Homo wajakensis, yang merupakan ras Austromelanosoid. Jarak antara Wajak dan Besole yang tidak terlalu jauh dapat diasumsikan bahwa ada manusia atau kelompok selain manusia Wajak di wilayah pegunungan karst Tulungagung.

Homo sapiens—yang ditandai dengan penemuan situs di Wajak, Tulungagung—selama ini menjadi penanda sejarah manusia modern pertama di Indonesia. Penemuan Homo wajakensis membawa Indonesia pada posisi penting dunia terkait dengan sejarah penghunian sekaligus sebagai mata rantai perkembangan Homo sapiens di dunia.

Dalam konteks Song Gentong, kata Rusyad, walaupun masih segmenter, temuan gigi anak-anak, remaja, dan dewasa mengindikasikan bahwa kehidupan mereka sudah lumayan teratur. Temuan lain yang menguatkan kesimpulan manusia modern Song Gentong ialah disekatnya gua tempat tinggal mereka menjadi dua bagian, yang diduga sebagai bagian profan dan sakral. "Meski sudah modern, manusia Song Gentong belum masuk pada masa neolitikum," ujar Rusyad.

Sayang, temuan-temuan yang bisa mengarah pada identitas nenek moyang manusia Jawa masih terpotong. Arkeolog, misalnya, belum menemukan tengkorak dan bagian kerangka lain yang lebih utuh. Selain itu, penelusuran jejak peradaban terancam aktivitas tambang marmer. Kondisi situs dan sekitar situs telanjur rusak parah. Bukit yang "menyimpan" gua itu sudah luluh-lantak menjadi bongkahan batu.

Rusyad mengatakan pemerintah seharusnya dapat memberi penjelasan kepada masyarakat setempat tentang pentingnya situs Song Gentong. Ibarat keping puzzle, keberadaan situs tersebut dapat melengkapi sejarah peradaban manusia di Indonesia. "Sisakan ruang sedikit saja buat melestarikannya," kata Rusyad.

Puryoto, karyawan PT Industri Marmer, mengatakan hampir seluruh bagian bukit itu menjadi wilayah eksploitasi perusahaannya. Setiap hari mereka mengambil sedikitnya 600 meter persegi batu marmer untuk dikirim ke sejumlah daerah, termasuk ke mancanegara.

Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Trowulan Aris Soviani mengatakan, untuk menghindarkan situs Song Gentong dari kerusakan, pemerintah Tulungagung harus segera mendaftarkan wilayah itu sebagai daerah cagar budaya. Selain itu, temuan-temuan hasil ekskavasi perlu didaftarkan ke Direktorat Pelestarian Budaya dan Permuseuman Nasional. "Maka secara hukum wilayah situs tidak bisa diutak-atik lagi," ujar Aris.

Pemerintah Kabupaten Tulungagung terkesan tak ambil pusing atas terancamnya situs Song Gentong. Meski sudah menerima peringatan dari arkeolog, pemerintah belum melakukan langkah penyelamatan apa pun. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tulungagung Subarjo hanya menyatakan akan berkoordinasi dengan pemerintah kecamatan dan kelurahan setempat untuk melihat sendiri kegiatan industri marmer di situs itu.

Kukuh S. Wibowo, Hari Triwasono (Tulungagung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus