Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa Universitas Gadjah Mada (UGM) membuat alat pendeteksi gempa yang disebut bisa memprediksi gempa tiga hari sebelum kejadian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Tim Peneliti Sistem Peringatan Dini (EWS) Gempa UGM, Prof Sunarno, mengatakan alat itu sejauh ini baru ditanam di lima titik di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Oleh sebab itu, baru wilayah DIY saja yang sejauh ini bisa dianalisa dengan alat itu, kapan gempa akan terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penanaman alat itu di DIY sesuai dengan alokasi anggaran dari Kementerian Riset dan Teknologi yang diperoleh sekitar lima tahun silam. "Alat ini baru kami pasang di wilayah DIY, belum kami pasang di luar itu, jadi pembacaannya terbatas masih wilayah DIY saja," kata Sunarno kepada Tempo, Kamis, 3 Juni 2021.
Dalam lima tahun terakhir belum pernah terjadi gempa dahsyat di DIY, sehingga rekam jejak efektivitas alat itu belum ada datanya. Alat itu disebut Sunarno dirancang untuk mendeteksi gempa dengan kekuatan minimal 4,5 skala Richter alias tidak untuk membaca gempa yang kekuatannya relatif kecil.
Pengajar Departemen Teknik Nuklir dan Teknik Fisika Fakultas Teknik UGM itu menuturkan faktor dana diakui membuat pihaknya belum bisa membuat dan menanam alat itu lebih banyak dan luas.
Alat yang bekerja dengan menerapkan teknologi triangulasi untuk mengunci lalu mendeteksi kapan dan di mana kejadian gempa bumi bakal terjadi itu idealnya bisa ditanam ke lebih banyak titik, sehingga semakin banyak terbentuk area-area triangular untuk menangkap gejala potensi gempa dan menunjukkan lokasinya secara presisi.
"Sebenarnya ketika alat itu dipasang DIY kami juga mendapat pembacaan dari alat itu, namun alat itu hanya menunjukkan gejalanya, belum bisa menunjukkan lokasi pastinya di luar DIY itu di sebelah mana. Kalau di DIY bisa dipastikan lokasinya karena sudah alat itu," kata Sunarno yang juga telah merancang EWS untuk memantau kondisi Gunung Merapi itu.
Sunarno, yang tercatat sebagai anggota tim pengembang roket nasional, mengatakan baru mulai tahun ini pihaknya mendapat anggaran lagi dari Kemenristek itu untuk memperbanyak pemasangan alat itu di sepanjang Pulau Jawa. Kontrak pembuatan dan pemasangan alat dengan bantuan dari Kemenristek di sepanjang Pulau Jawa itu berlaku dalam jangka waktu tiga tahun ke depan.
Produksi alat itu dilakukan di laboratorium Program Studi Teknik Fisika Fakuktas Teknik UGM. "Dengan biaya Kemenristek itu kami akan produksi sedikitnya di 10 titik mulai tahun ini untuk dipasang seperti di wilayah Cilegon, Kebumen, Pacitan, " kata Sunarno.
Sunarno mengatakan jika ingin mendapatkan lokasi presisi kapan dan di mana gempa akan terjadi, setidaknya dari Aceh hingga NTT perlu dipasang di 60 titik. "Kelemahan alat ini agar bisa mendapatkan lokasi presisi kapan gempa terjadi ya karena harus tanam lebih banyak alat," kata dia.
Pemasangan alat deteksi gempa itu tak perlu rapat, bisa dengan radius 100-160 kilometer jarak setiap alat. Alat ini sendiri sengaja tak dipatenkan Sunarno karena dibuat berdasar pertimbangan kemanusiaan. Ia mempersilakan jika ada yang berminat meniru untuk membuatnya.