Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPA pun yang memenangi pertempuran di Aleppo, pihak paling kalah selama lima tahun lebih perang Suriah sesungguhnya penduduk sipil. Memakan korban sekitar 500 ribu nyawa, perang ini memaksa hampir 11 juta penduduk beralih status menjadi pengungsi di dalam dan luar negeri.
Aleppo, yang pernah menjadi kota bisnis makmur, kini bagai kuburan raksasa bertimbun puing dan reruntuhan gedung. Klaim pemerintah pimpinan Presiden Suriah Bashar al-Assad merebut Aleppo pada pekan lalu meredam hujan bom sesaat, tapi tak serta-merta mengakhiri perang. Pos tentara pemberontak masih terserak di kota ini, kelompok Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS berkeliaran di wilayah barat, dan tentara pemerintah tak ragu bertindak brutal di tengah gencatan senjata.
Tercatat sebagai salah satu perang saudara paling mematikan, pertikaian bersenjata di Suriah bermula pada 2011, menyusul lahirnya Arab Spring. Demo anti-pemerintah marak di berbagai negara Timur Tengah, termasuk Suriah. Transparansi, pemerintahan bersih, dan jaminan kebebasan hak-hak sipil merupakan tuntutan mereka—yang di Suriah diredam paksa oleh rezim berkuasa.
Presiden Assad perlu waktu enam bulan dengan topangan sekutunya, Rusia dan Iran, untuk memadamkan pemberontakan Aleppo dengan cara amat brutal: kota diduduki, bantuan makanan disetop, rumah sakit dan sekolah dihancurkan, wanita dan anak-anak mati cepat seperti serangga kena tepuk. Pengeboman markas pemberontak di wilayah timur Aleppo disebut sebagai kejahatan perang yang menelan korban 82 penduduk sipil.
Celaka kian menjadi karena bangsa-bangsa yang mengaku "membantu" sibuk menyelamatkan kepentingan masing-masing. Satu-satunya pangkalan militer Rusia di Timur Tengah terletak di Tartus, Suriah. Posisi ini membuat negara itu dapat membalans kekuatan Amerika Serikat di wilayah Timur Tengah—maka perlu diselamatkan. Iran menguluk pertolongan ke rezim Al-Assad bukan karena menjunjung keselamatan penduduk sipil, melainkan karena perlu menanamkan kaki di Suriah agar bisa unggul dari segi geopolitik untuk menghadapi negara-negara Arab—penyokong oposisi Suriah.
Walhasil, penduduk sipil macam pelanduk terjepit gajah berhantam. Berlindung di wilayah pemerintah sama berbahayanya dengan mengungsi ke area milisi bersenjata. Sengsara kian menjadi karena Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang salah satu tugas utamanya memelihara perdamaian dunia, praktis tak berdaya mengeluarkan resolusi untuk menyetop perang. Rusia, anggota Dewan Keamanan PBB yang punya hak veto, langsung menghadang resolusi itu sebelum diterbitkan.
Manakala lembaga dunia pengatur perdamaian bangsa-bangsa semacam PBB sudah dikerangkeng oleh veto anggota-anggota Dewan Keamanan, kita menaruh sisa harapan pada bantuan cepat jaringan relawan serta organisasi-organisasi internasional penyelamat korban perang, seperti Komite Internasional Palang Merah (ICRC). Tapi akses kerja relawan dan organisasi internasional membantu korban perang diancam, dipersulit, bahkan dihentikan.
Dunia internasional, termasuk Indonesia, perlu lebih sungguh-sungguh menggandakan bantuan melalui jalur kemanusiaan. Terutama tatkala kehendak politik meredakan perang tampaknya kian sulit diharapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo