Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJADI tuan rumah pesta olahraga antarbangsa semacam Asian Games 2018 semestinya membuka peluang Indonesia menunjukkan prestasi tertinggi. Namun, seperti yang telah terjadi berulang kali, hajatan mahal ini diduga menjadi obyek pesta-pora pejabat korup, makelar proyek, dan pemburu rente.
Berupa-rupa korupsi dana olahraga yang diungkap penegak hukum seperti tak membuat jeri. Kini dugaan korupsi berkaitan dengan tahap paling awal Asian Games 2018: sosialisasi. Polisi menetapkan Sekretaris Jenderal Komite Olimpiade Indonesia Dody Iswandi sebagai tersangka bersama seorang pengusaha rekanan, Ihwan Agus Salim. Selaku pejabat pembuat komitmen yang ditunjuk penyelenggara Asian Games Indonesia, Inasgoc, Dody disangka menggelembungkan biaya Carnaval Road to Asian Games di Surabaya.
Kerugian negara dalam perkara ini memang diperkirakan "hanya" Rp 1,1 miliar. Jumlah itu jauh lebih kecil daripada korupsi dana Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang, 2011, dan Pekan Olahraga Nasional Riau 2012, yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun perkara yang kini diusut polisi itu bisa jadi baru secuil dari puncak gunung es dugaan korupsi dana Asian Games.
Di bawah permukaan, dana bancakan ada kemungkinan lebih besar. Setidaknya hal itu tergambar dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 28 Mei lalu. Dari sekitar Rp 200 miliar dana persiapan dan pembinaan atlet Asian Games pada 2015, sekitar Rp 46,44 miliar tak jelas laporannya. Badan Pemeriksa mencium pelanggaran atas aturan lelang, pelaksanaan proyek oleh pihak ketiga (subkontraktor), serta pembayaran yang tak dilampiri kuitansi.
Menanggapi temuan auditor negara itu, Kementerian Pemuda dan Olahraga malah membuat pembenaran. Promosi dan sosialisasi Asian Games dipercepat setelah mendapat "lampu kuning" dari Olympic Council of Asia. Sebagai tuan rumah, Indonesia dianggap terlambat melakukan persiapan. Dalih menjaga "nama baik negara" ini semestinya tak menjadi alasan untuk mengabaikan prinsip tata kelola keuangan yang baik. Sekali prinsip itu diterabas, peluang korupsi terbuka lebar.
Karut-marut pengelolaan dana Asian Games sejatinya menunjukkan buruknya sistem pengawasan. Sebagai kuasa pengguna anggaran, Sekretaris Kementerian seharusnya mengawasi pengadaan barang dan jasa persiapan pesta olahraga itu dengan saksama. Faktanya, dari laporan Badan Pemeriksa Keuangan, terlihat jelas instrumen pengawasan di lingkungan internal Kementerian tak berfungsi dengan baik.
Kementerian semestinya melibatkan masyarakat luas, termasuk pegiat antikorupsi, untuk mengawasi penggunaan dana Asian Games. Penyelenggara Asian Games perlu memberi akses kepada publik, dengan menerapkan sistem pengelolaan dana yang lebih transparan, baik dana yang berasal dari anggaran negara maupun dana dari swasta.
Kementerian tak cukup mengumumkan gelondongan proyek Asian Games. Rincian semua pengadaan barang dan jasa, pejabat penanggung jawab, serta profil perusahaan pemenang lelang harus dibuka. Pada saat yang sama, perlu dibuat jalur pelaporan khusus untuk saksi pelapor. Hanya dengan pengawasan ketat, "pesta" sebelum pesta olahraga antarbangsa bisa dicegah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo