Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Mengikuti Perjalanan Mbah Sri

Film debut B.W. Purba Negara yang sederhana tapi sangat layak ditonton dan dihargai. Memperoleh satu nominasi dari Festival Film Indonesia tahun ini.

19 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di hadapannya, akhirnya ia melihat nama suaminya tertera di atas nisan batu itu.

Napasnya tertahan. Tubuh Mbah Sri yang ringkih kehilangan keseimbangan.

Adegan akhir film Ziarah ini, seperti juga 90 menit yang sunyi, tak penuh dengan kecerewetan dialog apalagi penjelasan-penjelasan yang berisik. Film pertama sutradara B.W. Purba Negara ini, seperti juga beberapa film independen yang beranggaran minim, begitu saja masuk, menyeruak, dan memberikan sebuah definisi ulang tentang road movie (film perjalanan).

Adalah perempuan sepuh, Mbah Sri, yang memiliki cita-cita sederhana sekaligus ruwet. Pada usianya yang ke-95, Mbah Sri ingin mencari makam Prawiro, suaminya, dan kelak ingin dikubur di sebelahnya. Keruwetan itu adalah tak ada yang tahu di mana makam Prawiro karena, pada saat Agresi Belanda II, Prawiro mengucapkan perpisahan kepada sang istri untuk bertempur. Sejak itu Mbah Sri tak pernah bertemu lagi dengan suaminya hingga perang usai dan dia diasumsikan tewas. Tahun demi tahun berganti, semua kawan Mbah Sri mangkat satu per satu dan selalu saja dikuburkan di samping makam pasangannya. Suatu hari, pada 2012, Mbah Sri bertemu dengan salah satu veteran yang mengaku mengetahui bagaimana Prawiro ditembak tentara Belanda pada 1949. Dengan bermodalkan kisah ini, Mbah Sri begitu saja melakukan perjalanan sendirian tanpa ditemani siapa pun hingga anak menantunya kelabakan kehilangan sang ibu.

Ziarah adalah sebuah film road movie yang-sungguh sayang-agak terlewatkan mata juri Festival Film Indonesia 2016 hingga hanya diganjar satu nominasi: Skenario Terbaik (yang juga kalah oleh skenario Jujur Prananto untuk film Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara).

Road movie, yang secara sederhana kita pahami sebagai film perjalanan yang melibatkan protagonis yang meninggalkan tempat tinggalnya ke satu tujuan dan mengalami atau menemui berbagai peristiwa, tokoh, dan pengalaman fisik atau batin yang kelak mengubah pandangannya, tentu saja sudah pernah digarap oleh beberapa sutradara Indonesia. Tampaknya ini bukan genre yang terlalu populer karena membutuhkan skenario yang sangat kuat dan ketat serta biaya tidak kecil. Garin Nugroho dalam Cinta dalam Sepotong Roti (1991); Riri Riza melalui film Tiga Hari untuk Selamanya ( 2007); Viva Westi dalam Raya, Cahaya di atas Cahaya (2012); dan Ismail Basbeth melalui Mencari Hilal (2015) sudah menjajalnya. Tak selalu memiliki gereget, tak selalu membuat saya terpaku, tapi sekali lagi film genre ini memang salah satu yang tersulit selain genre komedi. Film road movie tentu bukan sekadar sebuah cerita tentang perjalanan seseorang (atau lebih) yang diisi dengan berbagai peristiwa dengan akhir yang mengejutkan. Ada kewajiban mengisi setiap jengkal perjalanan itu dengan arti, dengan dialog yang relevan dan peristiwa yang tidak asal tempel agar ramai.

Film Thelma & Louise, Transamerica, dan Y Tu Mam Tambien sering menjadi rujukan para penggemar dan sineas film sebagai sebagian dari puluhan road movie yang mengesankan.

Di Indonesia, film Mencari Hilal adalah road movie yang jenaka, mengharukan, sekaligus sebuah kisah pencarian diri. Film Ziarah patut diperhatikan sebagai sebuah film road movie yang digarap dengan plot yang unik. Mbah Sri yang tak banyak bicara terlihat begitu yakin dan teguh dengan keinginannya mencari makam suaminya dari Bantul hingga Wonogiri. Naik bus, berjalan kaki, menyusuri sungai, naik bus lagi. Semua dilakukan sendirian. Sesekali dia bertemu dengan berbagai orang desa yang mengeluh soal tanah.

Sang anak kelojotan mencari ibunya ke sana-kemari hingga akhirnya menemukan ibunya duduk termenung di sisi sungai sembari mencoba mencari rute berikut yang akan ditempuhnya. Adegan menelepon dengan istrinya kemudian memberi sudut lain lagi, sebuah problem khas keluarga. Menantu yang jengkel, anak yang merasa terbelah antara merawat ibu yang dianggapnya keras kepala dan istri yang tak mau paham.

Purba Negara sengaja menggunakan pemain yang sama sekali tidak dikenal publik dan itu sebuah pilihan yang berani. Semua pemain, termasuk tokoh utama Mbah Sri, adalah bagian alamiah dari jagat yang diciptakan Purba. Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada ini sebelumnya sudah menghasilkan film-film pendek yang hadir dalam berbagai festival internasional, termasuk Berlin International Film Festival.

Pada akhir film, Purba memberikan sebuah twist yang perih. Mbah Sri tiba di hadapan makam suaminya dengan segala kejutan yang selama ini disembunyikannya.

Tanpa kemewahan dan cahaya bintang, film sederhana ini sudah bersinar karena Purba adalah seorang pencerita yang ulung.

Leila S. Chudori

ZIARAH

Sutradara: B.W. Purba Negara

Skenario: B.W. Purba Negara

Pemain: Ponco Sutiyem, Rosadi, Ledjar Subroto

Produksi: Purbanegara Films, Limaenam Films, Lotus Cinema, Hide Projects Films, Super 8mm Studio, dan Goodwork

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus