Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian izin pendirian sejumlah fakultas kedokteran diduga tidak taat prosedur. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengeluarkan izin pendirian dengan mengabaikan rekomendasi tim bentukannya sendiri. Keputusan yang serampangan dan bermuatan politik ini akan membuat mutu pendidikan kedokteran semakin amburadul.
Cara yang tak wajar itu terungkap dari laporan hasil investigasi majalah ini. Dari delapan fakultas kedokteran baru yang diberi izin pada Maret lalu, hanya dua yang memenuhi syarat. Universitas Bosowa Makassar, yang dimiliki kerabat Wakil Presiden Jusuf Kalla, termasuk yang lolos seleksi kendati tidak dikaji oleh Tim Evaluasi Studi Pendidikan Dokter. Tim inilah yang diberi tugas menelaah pengajuan izin fakultas baru, tapi rekomendasinya justru diabaikan oleh Menteri Nasir, yang diduga mendapat tekanan dari banyak pihak.
Kriteria sebetulnya telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter. Untuk mendirikan fakultas kedokteran, ada sejumlah syarat yang mesti dipenuhi, yakni menyangkut jumlah dosen dan fasilitas seperti laboratorium dan rumah sakit. Dalam aturan pelaksana ditegaskan rasio dosen-mahasiswa 1 : 10, dan enam di antara dosennya harus spesialis. Fakultas juga diwajibkan telah bekerja sama dengan fakultas kedokteran berakreditasi A sebagai pembimbing.
Kementerian semestinya tidak tunduk pada kepentingan politik dan bisnis sekolah dokter. Pemberian izin yang sembarangan membuat kualitas pendidikan dokter semakin buruk. Dari 83 fakultas kedokteran, sejauh ini baru 18 yang terakreditasi A. Sisanya baru mendapat akreditasi B dan C. Sejumlah fakultas memiliki rasio dosen yang masih jauh dari ketentuan. Misalnya, ada yang rasionya 1 : 26. Terungkap pula ada fakultas kedokteran yang menerima siswa dari jurusan ilmu sosial.
Buruknya kualitas itu seharusnya jadi prioritas pemerintah. Apalagi persoalan utama Indonesia saat ini bukan pada masalah kekurangan jumlah dokter, tapi lebih pada distribusi yang tak merata. Dokter muda menumpuk di kota-kota besar, sementara banyak daerah yang kekurangan. Jika mengacu pada perhitungan beban ideal dokter yang ditetapkan pemerintah, rasio satu dokter melayani 2.500 orang sudah terlampaui. Menurut data Konsil Kedokteran Indonesia per Mei 2016, jumlah dokter mencapai 110.720 orang, yang artinya satu dokter melayani 2.270 penduduk.
Hanya memang diperlukan terobosan. Bukan memeratakan fakultas kedokteran di berbagai daerah secara serampangan, tapi cukup membuat distribusi dokter lebih merata. Kebijakan memberikan insentif yang jauh lebih besar bagi dokter yang bersedia bekerja di daerah pelosok bisa menjadi solusi.
Urusan lain yang perlu dibereskan adalah program Dokter Layanan Primer. Program yang bertujuan mencetak dokter yang lebih mumpuni ketimbang dokter umum ini dikritik banyak kalangan karena dianggap berlebihan. Masa pendidikan dokter menjadi jauh lebih lama. Program yang tercantum dalam Undang-Undang Pendidikan Dokter itu sudah sempat digugat lewat Mahkamah Konstitusi, tapi ditolak. Kini yang perlu diperhatikan adalah meminimalkan dampak buruk dari program tersebut jika tetap dijalankan.
Program Dokter Layanan Primerbertujuan mengurangi sistem rujukan karena ketidakmampuan dokter umum melayani pasien secara tuntassebetulnya tak terlalu jelek. Tapi langkah ini kurang menyelesaikan masalah bila kualitas pendidikan kedokteran tidak dibenahi dulu dan malah mengobral izin pendirian fakultas baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo