Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tari Rasa Sakit dari Jepang

Kelompok MuDA dari Jepang menjadi penutup Festival Teater Jakarta dan Bedog Art Festival. Menghancurkan koreografi dalam sistem penataan ruang.

19 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM temaram cahaya, empat penampil itu bergelut seperti sedang berkelahi. Mereka saling tubruk dan banting, tapi kemudian memisahkan diri. Seorang lainnya lalu menarik satu buntalan yang tampaknya semacam kain yang diberi rantai panjang. Sedangkan yang lain kembali saling tubruk dan berebutan, saling serang dan menyingkirkan yang lain.

Setelah itu, keempatnya membanting tubuh mereka keras-keras ke lantai. Mereka menghunjamkan badan ke depan, lalu bangun. Gerakan ini mereka lakukan berulang-ulang, mirip pendulum yang mengayun, menandai gravitasi bumi. Suara gedebukan di panggung menjadi irama lain yang meneror telinga penonton.

Panggung yang semula bersih akhirnya penuh noda hitam, bekas coreng-moreng pada wajah empat penari yang membentur lantai berbahan kayu. Suasana gelap selama setengah jam. Panggung dalam ruangan yang berlatar pohon lo besar di pinggir Kali Bedog itu hanya diterangi satu lampu. Mereka berempat adalah anggota MuDA, kelompok hyperperformance asal Jepang.

Penampilan menegangkan berjudul Semegiai Random 03 itu menutup Bedog Art Festival di Studio Banjarmili, Kradenan, Banyuraden, Gamping, Sleman, Yogyakarta, pada 11-12 Desember lalu. Tahun ini merupakan festival ketujuh buah pikiran koreografer dan dosen Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Martinus Miroto, itu. Sebelum tampil di Yogyakarta, MuDA tampil menutup Festival Teater Jakarta 2016 di Jakarta. Mereka membawakan karya berjudul Semegiai Random 02. Tahun ini mereka juga tampil di Inujima Seirensho Art Museum, Takamijima Hama, dan CCO Black Chamber. MuDA pernah meraih penghargaan Geiso Connect dari Excellence Award pada 2012. Mereka dikenal sebagai kelompok yang kerap tampil membawakan pertunjukan bertema animasi, fisika, alam semesta, ritual, dan stres. MuDA menuangkannya dalam berbagai jenis seni, seperti seni peran, tari, musik, gambar video, teknologi, seni rupa, dan tata ruang.

Tapi, pada penampilan di Yogyakarta dan Jakarta kali ini, MuDA tak menggunakan efek teknologi, sehingga kurang menciptakan adegan yang dramatis dan menggugah. Misalnya teknologi animasi atau pencahayaan yang menghasilkan gambar percikan air saat mereka jatuh dan gambar bakteri yang menyelubungi tubuh mereka ketika di panggung. "Perlu alat sensor untuk menghasilkan teknik animasi itu. Pada pementasan ini kami tidak menggunakannya," kata pendiri MuDA, Takahiko Fukui atau biasa dipanggil Quick.

Pria peraih Best Show dalam Battle of the Year Final di Jerman (2005) ini mengatakan hawa panas Yogyakarta justru membuat mereka semakin bersemangat bergerak. MuDA tampil total di panggung. Pada pertengahan pentas, para penari saling bertumpuk dan berkelahi seperti pada gerakan sumo. Mereka saling terjebak dan sulit keluar. Ada juga gerakan menarik kepala. Rantai dari besi dan plastik mereka bentangkan, mengikat tubuh beberapa penari, kemudian dilepas. Quick melecutkan rantai. Mereka juga melakukan gerakan orang yang tersengat listrik, lalu jatuh ke lantai dan bangun lagi secara berulang.

Quick mengatakan, dari gerakan ekstrem yang mereka pentaskan, kadang-kadang tubuh penari terasa sakit dengan kadar berbeda. Tapi mereka hanya ingin terus bergerak demi menghasilkan komunikasi yang bagus dengan penonton. Penari dan penonton saling terhubung, menikmati pertunjukan, dan bersama merasakan sakit. "Ada penonton yang memahami, ada yang takut, ada yang khawatir, bahkan ada yang marah terhadap aksi kami."

Dibandingkan dengan penampilan mereka dalam Black Chamber atau Doro yang sudah diunggah di YouTube, penampilan mereka di Yogya dan di Jakarta tak terlalu ada unsur "kekerasan" yang menimbulkan rasa ngeri pada penonton. Quick bercerita, mereka pernah tampil dalam panggung yang dibentuk sedemikian rupa, seperti ruangan bersekat, dan penonton melihat aksi mereka dari atas. Panggung dibuat dengan sekat kotak serta penuh dengan tali karet dan properti lain, seperti rantai besi.

Ada pula adegan ketika mereka seperti melakukan gulat SmackDown saat badan salah satu penampil yang tergeletak diduduki dan kepalanya dikempit. Atau ketika mereka diikat dengan tali-tali karet. Saat penari akan berlari, tubuhnya terseret ke belakang. Penonton akan melihat tubuh mereka bertubrukan. Di saat yang lain, tubuh mereka seperti kelojotan terjatuh dan bangun dan berkelojotan lagi. Gerakan performance MuDA ekspresif dan tanpa aturan. Orang diajak merasakan sakit dan bertoleransi atas rasa sakit orang lain. Gerakan ekstrem mereka padukan dengan suara gedebukan tubuh yang membentur, bunyi musik, dan suara rantai yang mereka bawa ke panggung. Haruka Akiyama, Manajer MuDA, mengoperasikan musik melalui layar telepon seluler berukuran besar yang dihubungkan dengan pengeras suara. MuDA terinspirasi dari gerak yang berseberangan dengan manusia, seperti gerak benda angkasa dan bumi. "Kami ingin menunjukkan bagaimana setiap orang merasakan sakit. Jatuh kemudian bangun untuk kehidupan yang lebih baik," ujar Quick.

Quick juga mengatakan jatuh-bangun ini adalah bagian dari budaya manusia untuk melanjutkan kehidupan. Orang bisa berbuat apa saja tanpa melihat orang lain atau sekelilingnya, walhasil sering terjadi benturan. Pertunjukan mereka membutuhkan komunikasi, saling pengertian yang cukup tinggi. Mereka berlatih setidaknya tiga-empat jam dalam sehari untuk persiapan pementasan. Agar tak salah pengertian saat di panggung, mereka berdiskusi dulu dan saling memberi masukan.

Quick, yang mempunyai latar belakang sebagai penari breakdance, mengatakan breakdance, butoh, atau tari yang anti-keindahan membawa inspirasi bagi MuDA. Kadang, ketika mereka bergerak di lantai, gerakan breakdance sedikit dimasukkan. Butoh, yang berbicara tentang kehancuran jiwa terdalam manusia, juga sedikit berpengaruh. "Jiwa dan sisi manusia terdalam itu yang jadi inspirasi. Kami berbicara tentang manusia. Jadi performance bukan sekadar gerakan," katanya.

Direktur Bedog Art Festival Martinus Miroto mengatakan hyperperformance MuDA menarik karena mereka menggunakan gerakan yang liar, ngawur, dan gila-gilaan menghancurkan koreografi dalam sistem penataan ruang. Mereka tidak menata panggung secara rapi. Miroto menyebutnya sebagai gerakan keranjingan dan kesurupan menggunakan tenaga berlebihan. Pertunjukan itu juga berhasil mempengaruhi otak manusia, menjadikan penonton seperti terlibat dan merasakan stres. "Inilah yang disebut dramaturgi. Penampilan mereka, MuDA, njiwit (mencubit) kemandekan dunia tari kontemporer, terutama di Yogyakarta," ujar Miroto.

Pentas MuDA memang menyihir penonton, yang sebagian merupakan warga Kradenan, Kecamatan Gamping. Sal Murgiyanto, kritikus tari yang datang pada acara itu, mengatakan, "MuDA punya teknik yang kuat seperti gerakan bela diri bushido." Sementara itu, bagi Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Afrizal Malna, penampilan MuDA ini merupakan gambaran masa kini dunia seni pertunjukan, ketika batas teater, tari, musik, dan seni rupa melebur dalam ruang baru. "Mereka mewakili tantangan baru di dunia pertunjukan."

SHINTA MAHARANI, DIAN YULIASTUTI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus