Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Ambisi PLTN Pakai Thorium di Indonesia, Ini Pesan Dosen ITB

Dosen dan peneliti dari ITB ini mengakui thorium punya beberapa kelebihan dibandingkan uranium.

5 Februari 2021 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Dosen dan peneliti Andri Slamet Subandrio dari program studi Teknik Geologi di Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB) mengakui thorium punya beberapa kelebihan dibandingkan uranium. Dia menanggapi terus berkembangnya rencana pembangunan dan pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Thorium sebagai potensi nuklir baru di tanah air.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andri menuturkan, pasokan uranium sebanyak 250 ton di PLTN, misalnya, bisa digantikan oleh 1 ton thorium. Jika limbah dari uranium 250 ton bisa mencapai 35 ton, limbah dari 1 ton thorium disebutnya hanya 30 gram. “Dalam 10 tahun limbah thorium juga sudah tidak mengandung reaksi radioaktif lagi,” katanya, Kamis 28 Januari 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gambarannya dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi, thorium yang termasuk unsur logam tanah jarang itu juga lebih aman daripada uranium. Namun, kata Andri, kehati-hatian diperlukan karena limbah uranium dan torium sama punya kandungan Plutonium 239 yang bisa diolah untuk membuat bom atom.

Itu belum termasuk kesiapan dan kemandirian yang harus dimiliki Indonesia jika ingin memanfaatkan thorium sebagai bahan bakar PLTN. Pertama, soal bahan utama thorium. Di Indonesia, Andri menegaskan, belum ada tambang nuklir seperti uranium, thorium. Rencana impor, menurutnya, sulit.

“Negara yang punya uranium dan thorium tidak akan mudah ekspor ke negara berkembang,” kata anggota Kelompok Keahlian Petrologi, Vulkanologi, dan Geokimia ITB itu. Dia mencontohkan Amerika Serikat. Negara adi daya ini menggolongkan tambang uranium dan thorium sebagai aset strategis untuk ketahanan dan kemajuan negara.

Kedua, rencana pembangunan PLTN di Indonesia tidak akan hanya berizin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, melainkan harus dengan kementerian terkait karena menyangkut soal keamanan yang tinggi. Kesiapan untuk PLTT, ditekankannya, butuh dukungan massif dari pemerintah.

Termasuk untuk mengeksplorasi mineral radioaktif dengan nomor atom 90 serta nomor isotop radioaktif 230 dan 232 ini. Cara mengambil monazit yang paling mudah dan ekonomis yaitu hasil dari erosi batu granit sebagai endapan plaser mineral berat yang berada di daerah pesisir, pasir pantai dan laut dangkal.

"Selama ini kewenangan eksplorasi itu hanya menjadi milik Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)," katanya. 

Lalu, yang ketiga, soal adanya cadangan uranium dan thorium di Indonesia. Menurut Andri, angka cadangan selama ini hanya ahipotesis yang diperkirakan dari keberadaan batuan granit atau endapan plaser pasir disekitarnya.

Sejauh ini, menurutnya, belum ada suatu penelitian hingga menghasilkan angka cadangan yang terukur untuk torium dan uranium. “Misalnya kalau ditambang, produksinya berapa ton setiap tahunnya?" katanya.

Selain soal data riset yang belum ada, kesiapan sumber daya manusia untuk mengelola PLTN sekarang ini jumlahnya dinilai masih sedikit. Beberapa kampus yang punya jurusan Fisika Nuklir seperti ITB, UGM dan Universitas Indonesia. Sebagian lulusannya bekerja di BATAN.

Sedang hal terakhir yang diingatkan dosen dan peneliti ITB ini menyangkut edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat soal sumber daya energi termasuk radioaktif nuklir. Sederet pesan-pesan itu melengkapi suara dari sebagian kalangan yang menolak PLTT karena alasan sangat mahal dan potensi bahaya radioaktif nuklir itu. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus