Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jakarta kembali dilanda banjir setelah hujan deras mengguyur sejak awal pekan ini. Hingga Selasa, 4 Maret 2025, pukul 19.00 WIB, ada 117 RT dan 2 ruas jalan masih terendam, sementara 3.384 warga harus mengungsi akibat genangan yang meluas. Terdapat tiga wilayah yang masih terendam, di antaranya Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir di Jakarta bukan hanya sekadar dampak dari hujan biasa, namun turut dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi dan berlangsung dalam durasi panjang akibat fenomena cuaca ekstrem yang dipengaruhi dari sistem kompleks konvektif mesos atau Mesoscale Convective Complex (MCC).
Apa Itu Mesoscale Convective Complex (MCC)?
Dikutip dari publikasi ilmiah di Jurnal Komunikasi Fisika Indonesia yang ditulis Maulana, Wicaksono, dan Haryanto pada 2021, Mesoscale Convective Complex (MCC) pertama kali dikaji oleh Maddox pada 1980.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MCC merupakan bagian dari Mesoscale Convective System (MCS), sistem awan konvektif skala menengah yang dapat diamati melalui citra satelit enhanced infrared (IR). MCS ini merupakan sistem badai terstruktur yang terdiri dari kumpulan awan konvektif dan dapat menghasilkan curah hujan dalam skala horizontal sepanjang 100 kilometer atau lebih.
MCC dikenal sebagai jenis MCS terbesar dengan karakteristik awan berbentuk kluster yang bertahan lebih dari enam jam. Suhu puncak awannya mencapai ≤ -32°C, mencerminkan area stratus dengan luas ≥ 100.000 kilomter persegi. Sementara itu, inti awan konvektif memiliki suhu ≤ -52°C dengan luas ≥ 50.000 km². Eksentrisitas menjadi parameter utama dalam membedakan MCC dari jenis MCS lainnya, seperti bow echo, squall line, dan cloud cluster.
MCC ditandai dengan:
- Ukuran luas yang melebihi 100.000 km² dalam citra satelit inframerah.
- Durasi lama yang bertahan hingga lebih dari 6 jam.
- Intensitas curah hujan tinggi yang sering kali menyebabkan banjir besar.
- Kemungkinan disertai angin kencang dan petir bahkan bisa berkembang menjadi badai parah.
Fenomena ini sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. Di wilayah tropis seperti Indonesia, MCC dan MCS cenderung terbentuk di perairan saat malam hari dan di daratan saat siang hari. Pola ini berkaitan dengan perubahan suhu permukaan yang mempengaruhi proses konveksi atmosfer.
Dilansir dari Sky Brary, MCC dapat memicu kondisi cuaca berupa hujan es, angin kencang, tornado, dan hujan lebat. MCC juga biasanya berkembang pada sore hingga malam hari dan dapat bertahan hingga dini hari yang menyebabkan hujan deras dalam durasi panjang dan dapat menimbulkan dampak banjir apabila area sekitar tidak memiliki sistem drainase yang baik seperti banjir yang terjadi di Jakarta baru-baru ini.
Setiap tahun, sekitar 400 kejadian MCC terjadi di seluruh dunia. Fenomena ini lebih sering terbentuk di daratan, terutama di wilayah yang berada di sisi bawah pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan di daerah berangin barat. MCC lebih banyak terjadi di Belahan Bumi Utara dibandingkan dengan Belahan Bumi Selatan.
Selain cuaca ekstrem yang menyertainya, MCC juga dapat menciptakan mesohigh atau wilayah bertekanan tinggi yang terbentuk dari kumpulan udara dingin akibat downdraft beberapa badai petir. Meski disebut sebagai daerah bertekanan tinggi, mesohigh bukanlah antisiklon karena tidak memiliki pola sirkulasi antisiklonik.
Dalam sistem mesohigh, angin mengalir menjauhi pusat tekanan tinggi. Fenomena ini juga bisa menyebabkan "jeda" dalam badai atau hujan, di mana cuaca tampak lebih tenang untuk sementara waktu sebelum sistem cuaca ekstrem kembali aktif.