Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penghargaan ilmiah paling bergengsi dan bernilai besar kembali diumumkan. Dua ilmuwan asal Amerika Serikat diumumkan sebagai penerima Breakthrough Prize 2025 di bidang Ilmu Kehidupan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dr. Alberto Ascherio dari Harvard University dan Dr. Stephen Hauser dari University of California, San Francisco (UCSF), mendapatkan penghargaan atas temuan penting mereka dalam memahami multiple sclerosis (MS), penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya akan berbagi hadiah sebesar US$ 3 juta, atau sekitar lebih dari Rp 51 miliar (per dolar hari ini). Jumlah tersebut melampaui nilai hadiah Nobel Prize yang sebesar 11 juta kronor Swedia atau sekitar US$ 1 juta. Adapun penghargaan Breakthrough Prize 2025 ini diserahkan secara resmi dalam sebuah acara di Los Angeles pada 5 April 2025.
“Ini jelas sebuah kehormatan,” kata Dr. Ascherio kepada Live Science, dikutip Senin, 7 April 2025. “Saya menantikan untuk bergabung dengan forum lintas disiplin para pemenang sebelumnya yang berasal dari berbagai latar belakang ilmiah dan membantu menentukan pemenang di masa depan,” tuturnya.
Breakthrough Prize diberikan setiap tahun sejak 2013 untuk menghargai pencapaian luar biasa dalam fisika fundamental, matematika, dan ilmu kehidupan. Salah satu kategori tahun ini difokuskan pada riset gangguan neurodegeneratif, dan penemuan keduanya dinilai telah mengubah paradigma dalam memahami MS.
Penelitian Dr. Hauser mengungkap bahwa sel B, selain sel T yang sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya pemicu, juga memiliki peran besar dalam menyerang mielin, lapisan pelindung serabut saraf. Ia sempat menghadapi keraguan dari komunitas ilmiah, namun berhasil membuktikan efektivitas terapi yang menargetkan sel B dalam pengobatan MS.
“Pada awal penelitian saya, tidak mungkin membayangkan bahwa 35 tahun kemudian sel B justru akan menjadi pusat dari imunologi MS,” tulis Hauser dalam esai tahun 2015.
Sementara itu, Dr. Ascherio menerima penghargaan atas penelitiannya selama dua dekade yang menunjukkan bahwa infeksi virus Epstein-Barr (EBV) merupakan faktor risiko paling kuat terhadap MS. Ia dan timnya menemukan bahwa individu yang pernah terinfeksi EBV memiliki risiko terkena MS hingga 32 kali lebih tinggi.
“Fakta bahwa virus ini sangat umum membuatnya sulit untuk dibuktikan,” ujar Ascherio. Ia mencontohkan virus polio yang juga sangat menyebar luas namun hanya menyebabkan gejala serius pada sebagian kecil orang. “Jadi, sangat umum bagi virus yang hampir menginfeksi semua orang, tapi hanya menyebabkan penyakit parah, terutama penyakit neurologis, pada sebagian kecil,” katanya.
Sejak hasil penelitiannya dipublikasikan, terjadi perubahan besar dalam dunia medis. “Sekarang, EBV telah diterima sebagai pemain sentral dan penyebab utama MS," kata Ascherio.
Meski mekanisme pasti antara infeksi EBV dan munculnya MS belum sepenuhnya dipahami, Ascherio menyebutkan bahwa penelitian ini membuka peluang pengembangan vaksin. Ia menyamakan potensinya dengan vaksin herpes zoster yang mencegah reaktivasi virus cacar air.