Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti University of California Los Angeles Amerika Serikat melakukan studi penggunaan gelombang ultrasonik yang dipancarkan ke arah thalamus--bagian otak yang menjadi pusat pemerosesan--untuk memulihkan orang yang koma.
Memanfaatkan gelombang ultrasonik untuk merangsang saraf di bagian otak bernama thalamus.
Metode ultrasonik-thalamus ini dianggap sebagai terobosan dan layak ditunggu hasilnya.
MARTIN Monti, profesor psikologi dan bedah saraf University of California, Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, kian mantap dengan penelitiannya mengenai terapi gelombang ultrasonik (ultrasound) terhadap pasien koma. Lima tahun lalu, ia melaporkan pulihnya seorang pria 25 tahun yang mengalami koma setelah menjalani terapi ultrasonik yang diarahkan ke talamus—bagian otak yang terletak di tengah. Pertengahan Januari lalu, Monti mempublikasikan penelitiannya di jurnal Brain Stimulation perihal keberhasilan teknik itu memulihkan dua pasien yang mengalami cedera otak parah.
Bagi Salim Harris, pakar neurologi dan pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, upaya Monti dan rekan-rekannya memulihkan kesadaran orang yang jatuh koma dengan menembakkan gelombang ultrasonik ke talamus itu adalah sebuah terobosan. "Kesadaran, talamus, dan ultrasound, kita sudah tahu dari dulu. Tapi pemanfaatan ultrasound sebagai pembangkit kesadaran seseorang dengan menstimulasi talamus, itu hal yang baru," kata Salim pada Selasa, 6 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Metode terapi yang digunakan Monti adalah teknik yang disebut ultrasonik terfokus intensitas rendah. Teknik ini menggunakan stimulasi sonik untuk merangsang saraf-saraf di talamus, struktur berbentuk telur yang berfungsi sebagai pusat pemrosesan banyak aktivitas manusia. "Setelah koma, fungsi talamus biasanya melemah," ucap Monti seperti dilansir dari siaran pers di situs UCLA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti UCLA Martin Monti./montilab.psych.ucla.edu
Para peneliti menempatkan perangkat ultrasonik di sisi kepala setiap pasien dan mengaktifkannya selama 10-30 detik dalam periode 10 menit. Setiap pasien menjalani dua sesi terapi dengan jarak satu minggu. Menurut makalah Monti, dari tiga orang yang menerima perawatan ini, dua menunjukkan hasil positif. Satu pasien, pria 58 tahun yang mengalami kecelakaan mobil lima setengah tahun sebelumnya dan dalam keadaan sadar minimal, tidak menunjukkan reaksi.
Salah satu yang bereaksi positif dengan metode ini, pria 56 tahun yang menderita stroke dan dalam keadaan sadar minimal, tidak dapat berkomunikasi selama lebih dari 14 bulan. Setelah menjalani satu dari dua perawatan, dia menunjukkan, untuk pertama kalinya, kemampuan secara konsisten menanggapi dua perintah, yakni menjatuhkan atau menangkap bola dan melihat ke arah foto terpisah dari dua kerabatnya ketika nama mereka disebutkan.
Pasien tersebut juga bisa mengangguk atau menggelengkan kepala untuk menunjukkan "ya" atau "tidak" ketika disodori pertanyaan seperti "Apakah X nama Anda?" dan "Apakah Y nama istri Anda?". Pada hari-hari setelah sesi terapi kedua, pasien itu pun mendemonstrasikan, untuk pertama kalinya sejak terkena stroke, kemampuan menggunakan pena di atas kertas dan mengangkat botol ke mulutnya serta berkomunikasi dan menjawab pertanyaan.
Pasien lain yang membaik dengan metode ini adalah wanita 50 tahun yang dalam kondisi kurang sadar selama lebih dari dua setengah tahun setelah mengalami serangan jantung. Beberapa hari seusai perawatan pertama, dia bisa, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, mengenali pensil, sisir, dan benda-benda lain. Pasien tersebut juga menunjukkan kemampuan memahami ucapan. "Yang luar biasa adalah bahwa kedua pasien menunjukkan tanggapan yang berarti hanya dalam beberapa hari setelah intervensi," ujar Monti.
Perubahan yang dilihat para peneliti itu, Monti melanjutkan, memang masih tergolong kecil. Tapi, dia menambahkan, bahkan bentuk komunikasi terkecil sekalipun sangat berarti. Monti mengingat salah satu momen berkesan selama studi ini adalah ketika istri pria 56 tahun itu menunjukkan foto dan bertanya apakah dia mengenali siapa yang ia lihat. "Dia berkata kepada kami, 'Ini percakapan pertama saya dengannya sejak kecelakaan itu’," tutur Monti, menirukan pengakuan istri pasien. "Untuk pasien ini, langkah terkecil bisa sangat berarti bagi mereka dan keluarganya."
"Kita berharap sekali ini menjadi penelitian (dengan skala lebih luas). Bagaimana ultrasound bisa membangkitkan sel di talamus, kita belum tahu"
Menurut Monti, dari hasil perawatan, tampaknya pemanfaatan gelombang ultrasonik dapat ditoleransi dengan baik. Para peneliti tidak melihat adanya perubahan pada tekanan darah pasien, detak jantung, atau kadar oksigen dalam darah. Tidak ada pula kejadian buruk lain. Monti mengatakan perangkat itu aman karena hanya memancarkan sedikit energi, yaitu di bawah ultrasound Doppler atau USG Doppler atau kurang dari 4 megahertz.
Salim mengatakan talamus memiliki fungsi penting karena hampir semua kemampuan manusia, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan, diproses di dalamnya. Yang tidak diproses di situ hanya penciuman. "Peran talamus begitu besar dalam kesadaran manusia. Jika orang mengalami kerusakan talamus, dampak paling ringan adalah baal, gangguan penglihatan, gangguan perasaan. Kalau paling berat, gangguan kesadaran," katanya.
Pemanfaatan ultrasound, Salim menambahkan, juga sudah dikenal sejak dua abad lalu, yaitu suara dengan frekuensi di atas kemampuan pendengaran manusia, yakni di atas 2 megahertz. Sedangkan frekuensi suara yang bisa ditangkap manusia di atas 20 megahertz. "Kita berharap sekali ini menjadi penelitian (dengan skala lebih luas). Bagaimana ultrasound bisa membangkitkan sel di talamus, kita belum tahu," ujarnya. "Ini merupakan terobosan yang perlu kita ikuti perkembangannya."
Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, Nido D. Wardana, juga menyebut studi awal oleh peneliti di Amerika Serikat ini sebagai terobosan. Menurut Nido, ada beberapa metode yang sedang dikembangkan untuk membangunkan orang dari koma. Salah satunya dengan prosedur operasi di tempurung kepala dan memasukkan alat yang bisa mengirimkan sinyal listrik ke otak. “Karena metode ini bersifat invasif, risikonya besar. Metode ini belum dipakai dan masih dalam pengembangan,” ucapnya.
Nido menilai, meski prinsipnya sama, yakni mengirimkan gelombang suara, metode yang dikembangkan Monti tidak bersifat invasif alias tidak ada alat yang dimasukkan ke tubuh. "Ultrasound itu untuk membangunkan bagian otak. Ibarat mau menghidupkan mobil yang mati dengan metode jump-start," tutur pria yang meraih master neuropsikologi klinis dari Universiteit Groningen, Belanda, itu pada Kamis, 15 April lalu.
Apa yang dikembangkan para peneliti di California itu merupakan bagian dari studi neurosains. Sayangnya, kata Nido, penelitian semacam ini di Indonesia kurang ramai karena biayanya cukup besar. Riset tersebut biasanya melibatkan banyak ahli dari berbagai bidang, seperti psikologi, saraf, bahkan fisika. Monti pun melakukannya bersama koleganya di UCLA, yaitu Josh Cain, mahasiswa pascasarjana psikologi; dan Caroline Schnakers, mantan peneliti yang sekarang menjadi asisten direktur penelitian di Casa Colina Hospital and Centers for Healthcare di Pomona, California.
Para peneliti menekankan bahwa teknik ini masih eksperimental dan mungkin baru tersedia untuk umum beberapa tahun mendatang. Monti mengatakan timnya sedang merencanakan studi tambahan untuk mempelajari bagaimana tepatnya pengiriman gelombang ultrasonik ke daerah talamus bisa mengubah fungsi otak. Dia berharap bisa memulai uji klinis setelah para peneliti dan pasien yakin aman dari Covid-19. Tujuan akhirnya adalah menghasilkan perangkat portabel yang murah sehingga terapi "membangunkan" pasien koma dapat dilakukan di rumah.
ABDUL MANAN (UNIVERSITY OF CALIFORNIA, LOS ANGELES; BRAIN STIMULATION)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo