Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Jalan Simpang Biksu

Sikap komunitas biksu Myanmar terbelah terhadap kudeta militer. Para penentang junta segera diseret ke penjara. Para pendukung malah ikut memburu demonstran.

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Para biksu Buddha menunjukkan salam tiga jari sebagai bentuk dukungan terhadap unjuk rasa memprotes kudeta militer di Yangon, Myanmar, 8 Februari 2021. REUTERS / Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sikap para biksu Myanmar terbelah dalam menanggapi kudeta militer.

  • Kelompok nasionalis cenderung mendukung junta, yang lain mendukung demonstran.

  • Sikap biksu berperan besar dalam menentukan arah politik Myanmar.

NAMA biksu senior Yaypu Sayadaw kini tercantum dalam daftar orang-orang yang dipenjara rezim militer Myanmar. Dalam daftar itu juga tertulis sejumlah nama tokoh Myanmar lain, dari aktor, pekerja media, dokter, hingga seniman yang mengkritik kudeta militer pada 1 Februari lalu. Di antaranya adalah pasangan aktor Pyay Ti Oo dan Eaindra Kyaw Tin serta aktivis pembela hak perempuan Thin Thin Aung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Myanmar pada Sabtu, 10 April lalu, menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara kepada biksu Yaypu Sayadaw. Dia dianggap terlibat gerakan pembangkangan terhadap pemerintah ketika polisi dan tentara berusaha membubarkan unjuk rasa di kota Mogok, Mandalay, 11 Maret lalu. Padahal saat itu Yaypu justru berusaha melindungi para demonstran yang kocar-kacir di tengah kepulan gas air mata dan membujuk aparat keamanan untuk menghentikan tembakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Biksu Yaypu malah ditangkap di dekat gedung asosiasi pekerja sosial yang dipakai demonstran untuk bersembunyi. Dua biksu lain juga ikut ditangkap. Menurut seorang aktivis Myanmar, biksu Yaypu dipaksa menanggalkan jubahnya.

Penahanan biksu Yaypu memantik gelombang protes baru di Myanmar. Seperti dilaporkan The Irrawaddy, masyarakat dan para biksu menggelar aksi duduk sambil mendaraskan doa untuk Yaypu. Mereka juga mengacungkan pamflet berisi dukungan terhadap Komite Pyidaungsu Hluttaw (CRPH) atau parlemen tandingan bentukan para anggota Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

Sejumlah biarawan Buddha seperti biksu Yaypu Sayadaw menjadi tokoh penentang junta militer. Mereka memimpin dan memberkati para demonstran di berbagai kota besar di Myanmar. Barisan biksu pun tampak dalam aksi unjuk rasa di jalan-jalan sambil mengacungkan poster berisi tuntutan pembebasan pemimpin NLD, Aung Sang Suu Kyi.

Para biksu juga berpartisipasi dalam rangkaian aksi boikot publik pada Maret lalu. Mereka bahkan sampai membalikkan mangkuk yang biasa dipakai untuk menampung sumbangan masyarakat. Biasanya, setelah menerima derma, para biksu memberikan berkat kepada para penderma. Gestur para biksu membalikkan mangkuknya menjadi lambang penolakan terhadap junta militer.

Biksu turun ke jalan bersama masyrakat sipil memprotes kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Februari 2021. Myanmar Now/Handout via REUTERS

Selama ini biksu menjadi tokoh sentral dalam kehidupan warga Myanmar. Sekitar 90 persen dari populasi Myanmar yang berjumlah 54 juta jiwa itu menganut ajaran Buddha. Komite keagamaan atau Sangha bahkan berperan besar memberikan legitimasi terhadap pemerintah. "Ada simbiosis antara pemerintah, raja, dan para biksu Buddha di Myanmar," ujar Richard Hosey, peneliti politik dari International Crisis Group.

Menurut Hosey, petinggi militer juga sangat bergantung pada hubungan dengan Sangha untuk memperkuat kekuasaannya. "(Ini) juga untuk menyediakan layanan religius kepada rezim dan para pemimpinnya," tutur peneliti itu, seperti dilaporkan Bloomberg.

Pengaruh para biksu itu kerap muncul dalam setiap pergolakan politik Myanmar. Para biksu prodemokrasi bahkan ikut turun gelanggang bersama masyarakat menentang junta militer pada 1988. Tentara lalu memberangus gerakan perlawanan itu dengan kekerasan yang menyebabkan sekitar 3.000 orang tewas dan ribuan lainnya dipenjara.

Ribuan biksu juga berada di garis depan ketika terjadi Revolusi Saffron, merujuk pada warna jubah mereka, pada September 2007. Gerakan yang diikuti para pelajar dan aktivis politik itu merupakan protes atas kebijakan junta militer memotong subsidi bahan bakar yang membuat kehidupan rakyat makin terjepit di tengah harga-harga barang yang melejit.

Setelah kudeta militer terjadi pada 1 Februari lalu, sebagian besar biksu langsung bergerak memberi dukungan kepada demonstran. Namun tentara sudah berjaga. Tiga biksu senior yang sebelumnya terlibat dalam Revolusi Saffron langsung dicokok pada hari kudeta. Salah satu di antaranya adalah Ariyawuntha, kepala biara Myawaddy Mingyi di Mandalay yang dikenal sangat kritis terhadap rezim militer.

Sebelum digelandang, Ariyawuntha sempat memberikan khotbah kepada aparat keamanan yang menantinya. Menurut dia, Myanmar menjadi negara miskin karena keserakahan para prajurit dan biksu yang ingin memperkaya diri sendiri. "Kita semua bertanggung jawab untuk memperbaiki perilaku buruk itu demi bangsa ini," ucapnya, seperti dilaporkan Myanmar Now.

Sebanyak 47 biksu anggota Sangha Maha Nayaka atau Mahana, lembaga kepala biara Buddha yang dibentuk negara, mendesak junta militer menghentikan kekerasan, penyiksaan, dan penahanan demonstran. Para pemuka agama itu juga meminta pemerintah menyelesaikan krisis dengan cara damai lewat dialog. Hal ini dinilai paling sesuai dengan ajaran Buddha. "Mirip seperti pembangkangan sipil," ujar seorang kepala biara yang juga menjadi anggota Mahana, seperti dilaporkan The Diplomat.

Meski demikian, sikap para biarawan tidaklah padu. Dalam laporan International Crisis Group pada 2017, ada kelompok biksu nasionalis yang justru menyokong rezim tentara. Hal ini dipicu oleh kekhawatiran mereka bahwa pemerintahan di bawah kendali Aung San Suu Kyi dan NLD yang mengusung nilai toleransi beragama bisa mengancam umat Buddha.

Para biksu pendukung kudeta ini juga mendapat panggung. Menurut biksu Sitagu Sayadaw, dalam khotbahnya di hadapan para pejabat militer pada Oktober 2017, kekerasan terhadap etnis minoritas muslim Rohingya diperbolehkan. Pasalnya, kata Sitagu, seperti dilaporkan Foreign Policy, etnis Rohingya dianggap bukan manusia seutuhnya. Kala itu etnis Rohingya berada dalam tekanan serangan Tatmadaw yang membuat mereka terpaksa mengungsi.

Empat tahun sebelumnya, pernyataan biksu Ashin Wirathu sudah memantik konflik sektarian. Dia menyuarakan pemboikotan bisnis yang dijalankan warga muslim Myanmar. Biksu Wirathu, seperti dilaporkan Reuters, juga menyebut masjid sebagai "sarang musuh". Gara-gara ucapannya, kaum muslim semakin tertekan.

Biksu Wiranthu dan kelompoknya yang dikenal sebagai gerakan 969 kerap dikaitkan dengan aksi kekerasan yang menimpa etnis minoritas dan warga muslim di Myanmar. Pemerintah Myanmar, yang kala itu masih di bawah kendali kubu Aung Sang Suu Kyi, mengejar biksu Wirathu. Dia didakwa menghasut publik dengan ujaran kebencian.

Wirathu akhirnya menyerahkan diri ke polisi di Yangon enam hari sebelum pemilihan umum parlemen Myanmar digelar pada 8 November 2020. Meski menyerah, Wirathu tetap berkukuh menuduh pemerintah dan partai berkuasa NLD sudah merisaknya. Wirathu termasuk dalam barisan penyokong klaim kubu militer bahwa hasil pemilihan umum 2020 yang dimenangi NLD sudah dicurangi. Mereka juga menyatakan bahwa Tatmadaw adalah pelindung negara.

Setelah melakukan kudeta, junta militer terus berusaha memperkuat relasi mereka dengan kelompok religius nasionalis. Media-media pemerintah kerap melaporkan aktivitas pejabat negara serta pembersihan pagoda-pagoda yang sebelumnya berantakan digerebek Tatmadaw atau tentara Myanmar.

Ketika unjuk rasa berakhir ricuh, ada biksu-biksu yang ikut memburu para demonstran. Pada pertengahan Februari lalu, misalnya, sekelompok biksu membawa ketapel mengejar para pemrotes yang datang ke biara Bingalar di Yangon. Para biksu itu juga menyandang tongkat besar dan memukuli mobil-mobil di jalan.

Biksu kepala kelompok Wirawintha, Kaythara, menyebut para biksu dan pendukungnya yang terlibat kerusuhan itu tidak bisa mengendalikan diri. Meski tak ada di lokasi kejadian, dia mengaku tahu siapa saja biksu yang terlibat dalam insiden itu. Kaythara juga mendukung keputusan rezim militer yang menyebut partai Aung Sang Suu Kyi mencurangi pemilihan umum. Menurut dia, setiap orang punya pandangan berbeda tentang Tatmadaw. "Tapi Tatmadaw harus menjalankan tugasnya sesuai konstitusi," kata dia.

Biksu Sitagu Sayadaw juga sempat tutup mulut ketika tentara menembaki demonstran dan menyebabkan 50 orang tewas di awal kerusuhan. Dia dikenal dekat dengan pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing. Para pengikutnya kecewa dan mempertanyakan sikap diamnya soal kekerasan tersebut. Lewat akun Facebooknya, banyak orang meminta biksu itu bisa menghentikan kekerasan.

Menteri agama yang baru ditunjuk junta buru-buru bertemu dengan dan memberi sumbangan dana kepada Sitagu Sayadaw. Junta juga mengangkat sejumlah simpatisan nasionalis untuk menduduki sejumlah jabatan penting di pemerintahan dan membebaskan para tokoh antimuslim dari penjara sebagai bagian dari amnesti umum terhadap lebih dari 23 ribu narapidana.

Sikap biksu Sitagu itu berbeda dengan masa ketika dia rajin mengkritik rezim militer dalam khotbahnya pada periode 1988 hingga awal 2000. Ketika pemerintah sipil mulai berkembang pada awal 2011, dia justru berharap Presiden Thein Sein, yang merupakan bagian dari junta militer, dipilih lagi.

Setelah dikritik bertubi-tubi, biksu Sitagu Sayadaw sedikit berubah. Pada awal Maret lalu, bersama sembilan biksu pemimpin sekte Shwe Kyin, Sitagu mendesak pemimpin militer Min Aung Hlaing menghentikan aksi kekerasan terhadap warga sipil dan tak mencuri atau merusak properti warga. Para biksu itu juga meminta Min Aung Hlaing menjadi penganut Buddha yang baik.

Direktur Center for Global Policy Azeem Ibrahim mengatakan gerakan para biksu menentang kudeta militer bisa membawa perubahan penting di Myanmar. Pasalnya, kata Ibrahim dalam kolomnya di situs Arab News, para biksu adalah kelompok sipil dengan pengaruh politik besar, terutama dalam membentuk pemerintahan setelah kudeta. "Itulah sebabnya militer selalu bekerja keras mendapatkan dukungan para biksu," tutur penulis buku The Rohingyas: Inside Myanmar's Genocide itu.

Keputusan para biksu yang memilih berada di pihak penentang kudeta Myanmar juga mencerminkan sikap mereka kala mendukung gerakan prodemokrasi sebelumnya. Ibrahim mengatakan sejarah aliansi para biksu dengan kubu Aung Sang Suu Kyi dan NLD bisa jadi lebih penting dibanding hal yang ditawarkan kubu militer saat ini. "Efeknya tak langsung terasa, tapi mereka bisa membawa hal yang paling dibutuhkan dalam aksi protes yang selama ini selalu kurang, yaitu organisasi," ujarnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (MYANMAR NOW, THE IRRAWADDY, FOREIGN POLICY, REUTERS, THE STRAIT TIMES, NEW MANDALA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus