Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kewenangan Kami Masih Dianggap Abu-abu

Ombudsman Republik Indonesia memutuskan turun tangan dalam polemik impor beras pada Maret lalu. Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengatakan pengumuman pemerintah tentang rencana impor 1 juta ton beras telah memicu keresahan publik, terutama petani, karena dilakukan pada masa panen raya. Melalui mekanisme deteksi dini, Ombudsman menyatakan impor beras belum diperlukan sampai Mei 2021. Ombudsman juga menemukan ada potensi maladministrasi dalam pengambilan kebijakan impor beras. Menurut Najih, Ombudsman sudah meningkatkan perannya dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik. Selain menyelesaikan laporan dan aduan masyarakat, Ombudsman bakal terus meningkatkan pengawasan terhadap kementerian dan lembaga negara. Kepengurusan baru Ombudsman bakal berfokus pada isu pembangunan ekonomi dan dampaknya terhadap pelayanan publik. Najih menilai kewenangan Ombudsman perlu diperluas hingga tingkat kabupaten dan kota.

17 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih di Kantor Ombudsman, Jakarta, Kamis (8/4/2021). TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih mengatakan lembaganya memberikan early warning kepada pemerintah agar polemik rencana impor beras segera diatasi.

  • Ombudsman melihat ada potensi maladministrasi dalam mekanisme pengambilan kebijakan impor beras karena kebijakan tidak diambil berdasarkan data saintifik dan tidak melibatkan semua pihak yang relevan.

  • Mokhammad Najih mengatakan Ombudsman berupaya memperluas kewenangan dan memperkuat organisasi.

BELUM genap dua bulan dilantik, komisioner baru Ombudsman Republik Indonesia sudah dihadapkan pada polemik impor beras, Maret lalu. Pengumuman pemerintah tentang rencana impor 1 juta ton beras memantik reaksi pro-kontra dan keresahan masyarakat, terutama para petani, karena impor beras akan dilakukan saat memasuki masa panen raya. Para petani khawatir impor beras membuat harga gabahnya turun drastis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ombudsman angkat suara merespons polemik ini. Apalagi lembaga pengawas pelayanan publik ini mengendus adanya potensi maladministrasi dalam mekanisme pengambilan keputusan impor beras. "Kami memberikan semacam early warning kepada pemerintah dan penyelenggara negara untuk mempertimbangkan isu yang sedang berkembang," kata Ketua Ombudsman Republik Indonesia Mokhammad Najih, 55 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Kamis, 8 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Merujuk pada data stok pangan dan potensi produksi beras nasional 2021, Ombudsman menilai stok beras relatif aman. Ombudsman meminta pemerintah menunda impor beras hingga Mei nanti. Dua hari kemudian, Presiden Joko Widodo mengumumkan tidak ada impor beras sampai Juni 2021. "Kami mengambil satu sikap supaya isu ini segera ada keputusan dan selesai," ujar Najih.

Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi dan Nur Alfiyah, Najih menyatakan kepengurusan baru Ombudsman akan berfokus pada isu pembangunan ekonomi dan dampaknya terhadap pelayanan publik. Penyelesaian laporan masyarakat, rangkap jabatan komisaris badan usaha milik negara, dan impor komoditas juga masih menjadi perhatian lembaganya. Najih, yang berlatar belakang dosen ilmu hukum, mengatakan komisioner berupaya mengajukan usul perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI untuk memperluas jangkauan pengawasan Ombudsman.

Apa pertimbangan Ombudsman ketika memutuskan angkat suara dalam polemik rencana impor beras?

Di antara kewenangan Ombudsman untuk menyelesaikan keluhan publik, ada deteksi dini. Kami memberikan semacam early warning kepada pemerintah dan penyelenggara negara untuk mempertimbangkan isu yang sedang berkembang. Sebelum memberikan penyataan pers, kami mengamati sudah hampir sepuluh hari polemik bergulir. Kami mengambil satu sikap supaya ini segera ada keputusan dan selesai. Dari hasil deteksi dini, kami menggelar siaran pers. Secara inline, Presiden mengambil sikap yang sama dengan Ombudsman.

Bagaimana prosesnya sampai Ombudsman turun tangan mendata soal stok beras?

Ada dua pola dalam memeriksa suatu isu mengenai pelayanan publik. Pertama, dari pengaduan masyarakat. Kedua, kami berangkat dari isu yang mendapat perhatian publik dan berkaitan dengan pelayanan masyarakat. Contohnya impor beras. Ketika di media sedang ramai didiskusikan, diberitakan, sampai beberapa hari kok enggak mereda. Kami kemudian merespons. Sama halnya kami sekarang sedang menggali isu pemindahan ibu kota negara, yang beberapa hari terakhir kembali ramai diperbincangkan. Apa dampaknya terhadap pelayanan publik. Kajian yang perlu segera direspons kepada publik kami sampaikan salah satunya lewat konferensi pers.

Apakah ada laporan dari petani?

Tidak ada. Memang kami memiliki mekanisme respons cepat Ombudsman.

Mengapa memilih cara membuka kepada publik lewat media?

Maksudnya supaya (pemerintah) bisa segera mengambil kebijakan berkenaan dengan isu ini. Pimpinan Ombudsman setiap hari mengikuti media, koran, majalah, atau televisi. Lalu ada persoalan publik yang perlu segera kami respons.

Bagaimana tindak lanjut Ombudsman setelah impor beras ditunda?

Kami sedang mendalami kebijakannya. Kami mengkaji aturan-aturan mengenai impor beras, dari tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, sampai keputusan menteri dan lembaga yang terkait dengan impor beras. Prosesnya masih berjalan, jadi kami belum bisa menyampaikan kajiannya. Lalu, dari segi mekanisme, kami mengkaji proses pengambilan keputusan impor berasnya.

Kapan kajian dirampungkan?

Seperti disampaikan Presiden, sampai Juni tidak ada impor beras. Saya harapkan sebelum itu kami sudah menyelesaikan kajiannya. Nanti kami memberikan saran perbaikan atau tindakan korektif terhadap kebijakan yang dianggap timpang.

Apa potensi maladministrasi dalam mekanisme pengambilan kebijakan impor beras 1 juta ton yang ditemukan Ombudsman?

Mekanisme pengambilan keputusan di rapat koordinasi (Kementerian Koordinator Perekonomian) harus didukung bukti saintifik, yaitu kajian mendalam karena isu beras bukan hanya persoalan petani. Pengambilan kebijakan juga perlu melibatkan semua stakeholder terkait dengan masalah beras. Ada aspek sosial-politik yang sangat luas berkaitan dengan kebijakan moneter, pengadaan kebutuhan bahan pokok lain, serta masyarakat, terutama petani.

Menurut Ombudsman, apakah impor beras bukan masalah asalkan waktunya tepat?

Ada kekeliruan dalam cara merumuskan kebijakan impor beras ini. Sebenarnya impor diperlukan, tapi harus dengan mengambil kebijakan secara bersama. Badan Urusan Logistik (Bulog) memiliki data beras yang masih ngendon sekian ratus ribu ton. Beras itu sudah tidak layak, mau diapakan? Sedangkan pemerintah akan impor lagi. Bulog juga mengeluh kepada Ombudsman, "Kami disuruh menyimpan barang, tapi tidak diberi sarana untuk distribusi." Keluhannya dari aspek tidak ada kanal penyaluran beras. Bulog tidak diberi kewenangan untuk itu.

Sebelum menggelar konferensi pers, apakah Ombudsman telah berkomunikasi dengan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Perekonomian, dan Bulog?

Kami tidak melakukan komunikasi. Kami hanya mengumpulkan berbagai data, termasuk dari Bulog, kemudian kami ambil sikap bahwa mekanismenya tidak benar. Kami memberi teguran supaya jangan begitu. Kalau kami menerbitkan saran tertulis, disampaikan kepada Presiden, nanti menjadi bentuk pelanggaran hukum.

Apakah Ombudsman juga mengawasi komoditas penting lain?

Kami mendalami semua komoditas yang berpotensi impor, antara lain garam. Kalau soal beras ada perubahan kebijakan yang lebih baik dan terbuka, kami akan mencermati kebijakan impor komoditas lain. Ketika isu beras ramai, banyak keluhan dari masyarakat. Mengapa musim panen kok malah ada informasi tentang impor beras? Kan, tidak tepat. Ini menjadi kegelisahan kami sehingga kami ikut merespons supaya para petani tidak dirugikan.

Persoalan rangkap jabatan komisaris dan usaha milik negara terus terjadi. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengungkap temuan yang sama. Tanggapan Anda?

Isu komisaris rangkap jabatan di BUMN sudah disampaikan dalam laporan tahunan Ombudsman. Bahkan temuan kami lebih banyak dari KPPU. Pada 3 Agustus 2020, Ombudsman telah memberikan surat kepada Presiden tentang saran perbaikan serta analisis komisaris rangkap jabatan pada BUMN.

Apakah pemerintah sudah menjalankan saran Ombudsman?

Belum dilaksanakan. Saya kira saran Ombudsman sudah sangat jelas. Pertama, Presiden diminta menerbitkan peraturan presiden untuk memperjelas batas dan kriteria dalam menempatkan pejabat struktural dan fungsional aktif sebagai komisaris BUMN dengan pertimbangan kompetensi dan terhindar dari konflik kepentingan. Kedua, pengaturan sistem penghasilan tunggal bagi perangkap jabatan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kami sudah memberikan alternatif. Sebenarnya pandangan Ombudsman agak longgar di sini. Silakan rangkap jabatan, tapi dengan single salary.

Ada catatan lain?

Kami juga memerintahkan Menteri BUMN memperbaiki peraturan menteri tentang penetapan kriteria calon komisaris, sumber bakal calon, tata cara penilaian dan penetapan, mekanisme serta hak dan kewajiban komisaris di BUMN, serta akuntabilitas kinerja para komisaris. Kemudian dilakukan evaluasi cepat dan menghentikan para komisaris rangkap jabatan yang terbukti diangkat dengan cara yang bertentangan dengan hukum.

Saran atau rekomendasi Ombudsman acap tidak segera direspons oleh kementerian ataupun lembaga negara. Benarkah Ombudsman kurang didengar?

Saya kira ini problem budaya birokrasi kita. Mungkin karena kita terlalu banyak lembaga pengawas, he-he-he…. Dalam pemerintahan ada pengawas internal, namanya inspektorat. Lalu ada Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemberantasan Korupsi, KPPU, dan lain-lain. Fungsinya memang berbeda, tapi Ombudsman lebih berfokus pada pelayanan publik, apa yang dirasakan masyarakat. Tindakan korektif yang kami lakukan di tingkat kementerian dan badan negara sebenarnya sudah mulai baik.

Apa indikasinya?

Salah satu indikator yang ditentukan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi adalah lembaga atau badan negara yang tidak mematuhi saran atau hasil pemeriksaan Ombudsman akan berdampak pada tunjangan dan penilaian kinerjanya. Itu sudah mulai mendapat respons. Tapi ya itu tadi, kalau dimasukkan ke penilaian, baru diperhatikan.

Berapa banyak jabatan komisaris BUMN yang masih bisa ditoleransi untuk dirangkap?

Kalau memang orangnya hebat, semestinya harus diukur dari kinerja dan kompetensi. Apakah dengan banyaknya dia menjabat itu kinerja BUMN makin baik? Misalnya keuntungannya makin besar, dividen yang diperoleh makin banyak. Kalau iya, silakan merangkap lebih dari satu, tapi single salary. Sebab, dari informasi yang pernah saya peroleh, ada komisaris yang belum tentu tiga bulan sekali rapat, he-he-he….

Bagaimana komunikasi terakhir dengan Menteri BUMN Erick Thohir tentang evaluasi proses rekrutmen komisaris BUMN?

Menteri BUMN sempat meminta supaya datanya diperjelas. Menteri juga meminta masukan tentang perubahan aturan yang diperlukan dan seperti apa bunyinya.

Ketua Ombudsman Mokhammad Najih dalam acara Ngopi Bareng Ombudsman Era Industri 4.0 di Masa Pandemi Covid-19, secara virtual, Rabu, 10 Maret 2021. Istimewa

Kepengurusan Ombudsman periode lalu banyak berfokus pada isu-isu ekonomi, keuangan, dan perbankan. Bagaimana dengan kepemimpinan Anda?

Prioritas kami pada isu pembangunan ekonomi karena ini yang menjadi titik tekan pemerintah. Indikator yang hendak kami lihat adalah apakah pembangunan ekonomi selaras dengan perbaikan pelayanan publik. Ketika pembangunan jalan tol dan infrastruktur marak, banyak laporan seputar isu pertanahan yang masuk ke Ombudsman. Dampak lain adalah masalah ketenagakerjaan. Banyak orang kehilangan pekerjaan di sektor tradisional, seperti pertanian dan perkebunan. Aspek yang juga menjadi prioritas adalah pelayanan publik di bidang kesehatan. Dengan adanya pandemi, kami akan melihat bagaimana pemerintah mengubah akselerasi pelayanan pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, kefarmasian, dan yang sangat strategis berkaitan dengan isu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Ketua Ombudsman sebelumnya, Amzulian Rifai, pernah mengatakan ombudsman dibentuk untuk negara-negara yang birokrasinya lebih mapan. Dengan model lembaga pengawas seperti sekarang, apakah Anda sudah puas dengan kewenangan Ombudsman?

Kalau disebut cukup, tentu tidak. Tapi, ibarat pepatah, tidak ada rotan, akar pun jadi. Dari eksistensi kewenangan dan kekuatan Ombudsman, banyak orang masih menganggapnya abu-abu. Saran dan rekomendasi dipahami bukan dalam konteks legal. Padahal saran dan rekomendasi Ombudsman adalah produk hukum dan punya implikasi hukum. Kami memberi saran kepada pejabat publik yang terikat sumpah, aturan, etika, disiplin. Ketika saran kami tidak dipatuhi, implikasinya pejabat hukum itu melanggar sumpah dan janjinya. Menurut saya, secara hukum itu sudah kriminal.

Apakah Ombudsman RI perlu kewenangan seperti Ombudsman Taiwan (Control Yuan) yang menjadi kekuatan keempat setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta bisa memberhentikan kepala negara?

Memang kelemahan kami di kelembagaan. Kami diberi kewenangan mengawasi pelayanan publik dari pusat sampai daerah, tapi kelembagaan kami belum kuat. Kami masih terbatas di pusat dan perwakilan. Ada perwakilan kami di salah satu provinsi yang membawahkan 35 kabupaten dan kota, tapi sumber dayanya tidak sampai 25 orang. Beberapa daerah lain juga demikian.

Apakah pengawasan Ombudsman akan lebih efektif jika kelembagaannya diperluas sampai tingkat kabupaten dan kota?

Kami sedang menyusun kerangka usaha untuk memperkuat posisi Ombudsman, di antaranya lewat usul perubahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. Sebenarnya pimpinan sebelumnya sudah mengajukannya ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sudah masuk program legislasi nasional, tapi tidak menjadi prioritas. Berada di urutan 130-an. Kami memperkuat kajian untuk menambah argumen mengapa harus menjadi prioritas.

Apa saja yang dikaji untuk diubah?

Pertama, dari aspek kelembagaan. Ombudsman bisa diperkuat sampai tingkat kabupaten dan kota. Kedua, sisi keorganisasian. Kami hanya punya satu eselon I, yaitu Sekretariat Jenderal. Hitungannya, lembaga kami masih kecil. Berbeda dengan, misalnya, KPK, yang punya empat deputi. Pengembangan organisasi membuat pengambilan kebijakan makin solid dan tentu dukungan anggaran bisa lebih baik.

Kewenangan Ombudsman perlu diperkuat?

Kalau lembaga ini sebagai pengawas, saya kira sudah cukup. Tapi kami sedang mengupayakan penambahan wewenang pencegahan.

Seperti apa bentuk konkretnya?

Yang sudah dilakukan adalah deteksi dini seperti dalam isu impor beras beberapa waktu lalu.

Presiden Jokowi menilai pelayanan publik yang bersifat birokrasi masih kaku dan perlu dibenahi. Bagaimana Ombudsman membantu mengatasi persoalan ini?

Birokrasi kita memang masih menganut budaya amtenar atau budaya dilayani. Maunya kalau sudah jadi pejabat publik bukan melayani publik, tapi malah minta dilayani. Ombudsman sudah memberikan pengaruh dengan mulai berubahnya pola birokrasi yang dilayani menjadi melayani. Di beberapa instansi yang interaksinya dengan Ombudsman sudah baik, ada pencanangan wilayah bebas korupsi, wilayah birokrasi bersih dan melayani. Mereka meminta kami menjadi konsultan. Ada pemerintah daerah dan kementerian. Ini menunjukkan peran Ombudsman sudah mulai diterima dalam memberikan pengaruh supaya ada perbaikan birokrasi.

Apakah pengaruh Ombudsman itu dapat diamplifikasi ke semua kementerian dan lembaga negara?

Kalau ingin mengubah secara total, saya kira program Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara tentang reformasi birokrasi menjadi salah satu indikator. Hasil penilaian Ombudsman dijadikan salah satu indikator penilaian kinerja kementerian. Pada 2022, Ombudsman akan mengeluarkan opini Ombudsman, yaitu penilaian atas kepatuhan pelayanan publik.

Seperti apa konsepnya?

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik ada tugas dan mandat Ombudsman. Salah satu upaya pencegahan adalah mengeluarkan opini Ombudsman. Formatnya skor. Sekarang sudah ada, tapi masih global. Kami punya penilaian sampai tingkat kabupaten. Ada wilayah hijau, kuning, merah. Predikat merah akan mempengaruhi tunjangan kinerja suatu wilayah. Kami juga akan menerbitkan indeks persepsi pelayanan publik. Dengan dua penilaian itu, kami berharap ada dampak pada perubahan pelayanan publik sehingga fungsi pencegahan kami makin banyak.


MOKHAMMAD NAJIH | Tempat dan tanggal lahir: Lamongan, Jawa Timur, 17 Mei 1965 | Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur (1989); S-2 Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (1999); S-3 Politik Hukum Universitas Kebangsaan Malaysia (2014) | Karier: Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang/UMM (1990-2021), Dekan Fakultas Hukum UMM (2001-2005), Kepala Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum UMM (2013-2014), Staf Khusus Bidang Hukum UMM (2014-2015), Ketua Program Studi Magister Hukum Pascasarjana UMM (2015-2021), Ketua Umum Asosiasi Program Studi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (2017-sekarang), anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi | Penghargaan: Satyalancana Karya Satya X Tahun (2006), Satyalancana Karya Satya XX Tahun (2016)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus