Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Obat Lama Penyakit Baru

Tim peneliti Universitas Airlangga merilis lima kombinasi obat kimia sintesis yang dinilai potensial melawan Covid-19. Pemakaian obat lama untuk riset terapi Covid-19 tetap harus melewati uji klinis bertahap.

 

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Peneliti Universitas Airlangga Dokter Purwati menunjukan kombinasi obat berlabel Covid-19 di Media Center Gugus Tugas Nasional, Jakarta, 12 Juni 2020./HUMAS BNPB/Dume Harjuti Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peneliti Universitas Airlangga memanfaatkan kombinasi obat-obat lama untuk menghadapi virus pemicu penyakit menular Covid-19.

  • Hasil penelitian menunjukkan virus corona tak terdeteksi setelah 72 jam.

  • Penelitian itu hasil kerja sama Unair, Gugus Tugas Covid-19, dan Badan Intelijen Negara.

PENELITI Universitas Airlangga, Purwati, menunjukkan kotak putih kemasan kombinasi obat berlabel Covid-19. Obat-obatan itu, menurut Purwati, adalah hasil riset kolaborasi Universitas Airlangga, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan Badan Intelijen Negara. “Belum diperjualbelikan,” kata Purwati saat menyampaikan laporan riset obat untuk Covid-19 itu dalam konferensi pers di Graha BNPB di Jalan Pramuka, Jakarta Timur, pada Jumat, 12 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hasil penelitian tim Universitas Airlangga yang dipimpin Purwati itu membuka harapan bagi ditemukannya penawar untuk penyakit menular yang dipicu virus SARS-CoV-2 tersebut. Dari 14 regimen—komposisi dan frekuensi pemberian—obat yang diteliti, tim menemukan lima macam kombinasi obat yang dinilai paling potensial dan efektif untuk menghambat masuknya SARS-CoV-2 ke sel target sekaligus menurunkan perkembangan virus tersebut di dalam sel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelima kombinasi obat itu adalah paduan lopinavir atau ritonavir dan azitromisin, lopinavir atau ritonavir dan doksisiklin, lopinavir atau ritonavir dan klaritromisin, hidroksiklorokuin dan azitromisin, serta hidroksiklorokuin dan doksisiklin. Obat-obatan ini merupakan produk lama yang sudah beredar di pasar serta terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Di masa pandemi ini kita perlu obat darurat, tapi tetap memperhatikan keamanan pasien,” tutur Purwati, Ketua Pusat Penelitian dan Pengembangan Stem Cell Universitas Airlangga.

Lopinavir dan ritonavir lazim digunakan sebagai antivirus untuk pasien yang terinfeksi virus imunodefisiensi manusia (HIV). Hidroksiklorokuin sudah lebih dari 60 tahun digunakan sebagai antimalaria dan terapi penyakit autoimun, seperti lupus. Adapun klaritromisin, doksisiklin, dan azitromisin merupakan antibiotik untuk infeksi bakteri di berbagai organ tubuh. Obat-obatan itu juga beredar sejak belasan hingga puluhan tahun lalu. Doksisiklin bahkan sudah dijual di berbagai negara sejak 1967.

Obat-obat kimia sintesis itu pernah diteliti sebagai obat untuk Covid-19, tapi menggunakan dosis obat tunggal. Purwati mengatakan para peneliti memilih regimen kombinasi obat yang dinilai lebih efektif membunuh virus corona. Dosis dalam regimen kombinasi ini pun lebih kecil, yakni sepertiga hingga seperlima dari dosis tunggal. Dampaknya adalah efek beracun obat pada sel tubuh yang sehat dapat dikurangi.

Dari hasil pengujian kombinasi obat secara bertahap, jumlah virus yang tadinya mencapai ratusan ribu akhirnya tak terdeteksi lagi setelah 72 jam. Kadar sitokin inflamasi—protein yang dilepaskan sel imun untuk mengatur inflamasi—akibat infeksi virus juga menurun. Kadar sitokin inflamasi yang tinggi dapat berdampak buruk pada organ tubuh.

Menurut Rektor Universitas Airlangga Mohammad Nasih, keamanan kombinasi obat itu terjamin karena telah lulus uji klinis. Para peneliti, ujar Nasih, mengetes obat-obat itu pada sel paru, ginjal, trakea, dan hati yang ditumbuhkan sebagai target SARS-CoV-2. “Kami merekomendasikan lima kombinasi obat itu yang diidentifikasi sangat efektif,” tuturnya.

Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro mengapresiasi hasil riset tim Universitas Airlangga tersebut. Selanjutnya, kata dia, obat-obat itu harus dipastikan aman dan tak menimbulkan efek samping bagi pemakai. “Di dunia kesehatan ada protokol yang harus dipenuhi secara disiplin karena urusannya nyawa manusia,” ucap Bambang pada Rabu, 1 Juli lalu.

Menurut Bambang, hasil riset obat untuk Covid-19 tersebut perlu diperkuat lewat uji klinis bertahap terhadap pasien. Ini menjadi bagian dari prosedur pembuatan obat untuk indikasi penyakit baru meski menggunakan produk lama yang sudah memiliki izin edar. “Proses uji klinis ini tak mudah dan tak pendek, tapi harus dilewati,” kata Bambang, yang juga Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Agus Haryono mengatakan boleh saja peneliti mempelajari potensi penggunaan ulang obat-obat kimia yang sudah lama beredar untuk menangani indikasi baru, termasuk guna melawan Covid-19. Namun masih diperlukan uji klinis untuk mengetahui efek samping obat pada pasien mengingat dosisnya bisa berbeda. “Obat ini bisa tinggal lama di tubuh. Perlu dilihat lagi efeknya ke ginjal atau hati.”

Dekan Sekolah Farmasi Institut Teknologi Bandung Daryono Hadi Tjahjono mengatakan obat antivirus yang sudah beredar dan digunakan untuk indikasi penyakit infeksi lain tidak bisa langsung diaplikasikan pada pasien Covid-19. Obat tunggal ataupun kombinasi dengan antibiotik tetap harus melewati uji klinis. “Tanpa dasar pengujian yang valid, tentu berbahaya karena pasien yang menanggung risiko,” ujar Daryono pada Kamis, 2 Juli lalu.

Guru besar ilmu farmakologi dan farmasi klinik Universitas Padjadjaran, Keri Lestari, mengatakan pengujian obat baru dari awal memakan waktu bertahun-tahun. Sementara itu, Keri melanjutkan, pasien Covid-19 saat ini tidak bisa menunggu lama sehingga para peneliti mencari obat yang sudah diketahui profilnya. “Yang terpenting adalah mutu obat dan keamanannya bagi pasien,” tuturnya pada Senin, 29 Juni lalu.

Riset obat untuk penyakit baru, menurut Daryono, memakan waktu lama dan berlangsung dalam beberapa tahap. Pertama, kata Daryono, peneliti mengidentifikasi penyebab penyakit. Dalam kasus Covid-19, dia menjelaskan, penyebabnya adalah SARS-CoV-2 yang menginfeksi sel dengan bantuan protein angiotensin-converting enzyme 2 (ACE2) dan transmembrane protease serine 2 (TMPRSS2). Kedua protein itulah yang menjadi target pengembangan obat.

Menurut Daryono, tahap selanjutnya adalah mencari molekul yang dapat menyasar target tersebut. Kandidat obat juga diuji secara in vitro. Bila hasilnya dinilai efektif menghambat SARS-CoV-2, riset bisa dilanjutkan ke tes hewan percobaan. “Setelah riset ini, para peneliti bisa menyiapkan formulasi molekul kandidat obat dalam bentuk tablet, kapsul, atau sirup lengkap dengan dosisnya untuk uji klinis,” ucapnya.

Uji klinis fase pertama biasanya melibatkan 20-30 sukarelawan sehat untuk menilai keamanan dan dosis obat. Adapun uji klinis fase kedua melibatkan 100-300 pasien sukarelawan untuk mencari tahu khasiat dan efek samping obat. Fase ketiga bisa melibatkan 1.000-1.500 pasien sukarelawan untuk mengetahui manfaat obat dalam waktu tertentu. Semua tahap riset itu lalu ditinjau oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan. “Setelah ada review secara saksama oleh para ahli, bisa diberi izin edar,” kata Daryono.

Namun, dalam kondisi darurat pandemi Covid-19, menurut Daryono, tahap riset obat bisa disederhanakan dengan tetap mempertimbangkan faktor keamanan. Banyak perusahaan besar memilah obat-obat atau senyawa bioaktif untuk indikasi penyakit lain memakai komputasi yang lebih efisien dan bisa menghemat biaya riset. Karena obat yang diteliti Universitas Airlangga sudah digunakan untuk indikasi penyakit lain, Daryono melanjutkan, Badan POM bisa saja memberikan izin untuk uji klinis fase ketiga.

Daryono mengungkapkan, riset obat tidak harus dipublikasikan di jurnal ilmiah atau media lain selama tim memiliki kepakaran, integritas, dan etika ilmiah yang tepercaya untuk menjamin kesahihan data. Untuk mencegah penyanggahan dan mendapatkan masukan, hasil-hasil penelitian memang sebaiknya dipublikasikan. “Bisa pada media jurnal ilmiah atau konferensi yang bereputasi internasional,” ujarnya.

Purwati menyatakan hasil riset obat Universitas Airlangga telah disampaikan dalam tujuh laporan yang sudah didaftarkan di jurnal ilmiah internasional. Agus Haryono mengatakan hasil riset bisa saja ditinjau oleh komisi khusus secara terbatas. Namun akan lebih baik jika hasil itu dipublikasikan di jurnal ilmiah sehingga terbuka untuk ditinjau para peneliti lain. “Semua bisa melihat dan menilai valid atau tidak risetnya,” ucapnya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA, ANWAR SISWADI (BANDUNG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus