Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Saat Buyut Seah Ling Seah Bercerita

Singapore Heritage Festival hadir secara daring. Sejarah tempat dan komunitas multietnis Singapura disampaikan dengan variatif.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hello Pasir Ris dalam Singapore Heritage Festival yang dilakukan secara online, dan dapat dikunjungi melalui situs heritagefestival.sg./Tempo/Jati Mahatmaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Serangoon Road, Kallang, Singapura, pernah berdiri sebuah gerha megah berjulukan Bendemeer House yang rancangannya bergaya campuran Cina, Melayu, dan Eropa. Pada 1896, pemilik rumah itu, seorang taipan bernama Seah Ling Seah, menjamu Raja dan Ratu Siam dengan makan siang mewah. Jamuan untuk orang kaya dan bangsawan adalah tradisi yang dipelihara Seah di gerhanya yang dilengkapi ruang dansa, menara, dan kebun yang luas itu. Selain menjamu dengan acara makan-makan, pebisnis gambir dan merica itu menghibur tamunya dengan macam-macam kegiatan, seperti main senapan, kuis tebak-tebakan, dan kompetisi bersiul sambil mengunyah biskuit di mulut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setengah abad setelah perjamuan bangsawan Siam, pemerintah Singapura mengambil alih wisma bersejarah itu beserta seluruh lahan di sekitarnya yang seluas 30 kali lapangan sepak bola untuk membangun proyek perumahan dan kompleks industri Kallang Basin. Bendemeer House dan Seah Ling Seah tinggal kenangan, tapi keturunan Seah memastikan sejarah itu tetap awet dalam ingatan warga Singapura masa kini. Dalam Singapore Heritage Festival yang tahun ini berformat daring (online), keponakan buyut Seah Ling Seah, Shawn Seah Li Song, membagi cerita khusus tentang Bendemeer House dan kakek moyangnya lewat sesi “Grandfather Stories”. “Saya berbagi anekdot tentang paman buyut saya serta anak-anaknya, seperti Seah Eng Keo dan Seah Eng Tong, agar kita dapat memahami dengan lebih baik siapa kita dan dari mana kita berasal,” tulis Shawn Seah Li Song dalam pengantar programnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Shawn Seah Li Song adalah seorang pembicara dan penulis buku sejarah yang banyak mengangkat kisah keluarganya sendiri, seperti Seah Eu Chin: His Life and Times (2017), Leader and Legislator: Seah Ling Seah (2019), dan My Father's Kampung: A History of Aukang and Punggol (segera terbit). Dia juga menjabat ketua muda dalam Asosiasi Klan Seah Singapura. Dalam festival daring ini, Shawn menghadirkan gambar reka ulang Bendemeer House dan potret Seah Ling Seah serta cerita tentang riwayat klan Seah.

Klan yang bermula dari Seah Eu Chin (1805-1883) ini menjadi salah satu rumpun keluarga yang banyak berpengaruh dalam sejarah Singapura. Lahir di Desa Guek-Po, Cina, Seah Eu Chin bermigrasi ke Singapura pada 1823 untuk mengadu nasib. Memulai sebagai juru bayar, Eu Chin akhirnya memiliki perkebunan sendiri dan sukses sebagai pengusaha hingga mendapat julukan Raja Gambir dan Merica. Putra Eu Chin, Seah Ling Seah, meneruskan bisnisnya di bidang rempah-rempah. Sementara itu, anak bungsunya, Seah Peck Seah, menjalankan perusahaan minyak Chin Huat Hin. Keturunan mereka berbisnis ekspor nanas kaleng hingga air mineral. Klan ini berperan dalam menginisiasi banyak gerakan di Singapura, seperti Asosiasi Peranakan Singapura dan Sekolah Singapura-Cina untuk anak perempuan. Keturunan termuda di masa kini seperti Shawn dan David Siah Keok Ann menjadi penyimpan dan pencerita sejarah panjang tersebut.

Foto klan Seah Clan Association pada tahun 1950, dalam rangkaian slide foto Grandfather Stories di Singapore Heritage Festival. Heritagefestival.sg/Singapore Seah Clan Association

Sejarah tempat-tempat di Singapura dari perspektif personal seperti “Grandfather Stories” menjadi tema besar dalam Singapore Heritage Festival tahun ini. Festival yang sudah berlangsung 17 tahun ini mengangkat warisan dan tradisi Singapura agar tetap relevan bagi generasi baru. Biasanya, program festival paling populer adalah tur ke lokasi bersejarah di antero Singapura, sering kali tempat-tempat tersebut belum pernah diungkap atau tak bisa diakses oleh publik. Namun wabah Covid-19 membuat penyelenggara memikirkan cara berbeda untuk tetap menghadirkan festival sejarah yang dapat diakses dari rumah saja. Pertengahan Juni lalu, edisi digital festival ini pun diluncurkan lewat situs www.heritagefestival.org dan akan berlangsung hingga 5 Juli. Ada lebih dari 80 program dihadirkan dalam bentuk tur virtual, video dokumentasi, esai foto, film, podcast, teater virtual, hingga games interaktif.

Wilayah yang menjadi fokus dalam festival tahun ini adalah Tanjong Pagar, Pasir Ris, dan Kallang. Tiga wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang menyimpan banyak sejarah tentang migrasi, perdagangan, dan persinggungan multietnis di Singapura. Lewat festival ini, kawasan-kawasan tersebut diceritakan dari sudut pandang mereka yang pernah tinggal di dalamnya dan mengingat bagaimana perubahan terjadi.

Dari Pasir Ris, misalnya, Samat Sulaiman bercerita tentang masa kecilnya di Kampung Tampines yang kini menjadi Jalan Pasir Ris Drive. Kini berumur 76 tahun, Samat dulu adalah seorang fotografer yang menyimpan banyak potret situasi kampungnya pada 1950-1960-an. “Saya tertarik memotret sejak usia 17 tahun dengan kamera analog AGFA,” ujar Samat lewat esai foto “Growing Up in Kampong Tampines”. “Kamera adalah barang mewah di kampung saat itu. Saya dihadiahi oleh kakak ipar karena berhasil mendapat SIM motor.”

Empat generasi keluarga Samat hidup di kampung itu dalam situasi yang boleh jadi akrab juga bagi sebagian kita di Indonesia. Samat mengingat banyak warga Kampung Tampines menjadi nelayan yang menangkap ikan, udang, dan kerang di pantai Pasir Ris dan Sungai Api-api. Sebagian hasil tangkapan diolah menjadi belacan. Saat bulan Ramadan, seluruh kampung merayakan dengan menyalakan lampu pelita dari bambu serta memasak ketupat dan rendang. “Dalam situasi sulit, warga kampung saling membantu atau gotong-royong,” kata Samat.

Pada 1987, Kampung Tampines dipindahkan untuk pembangunan kota baru Pasir Ris. Keluarga Samat adalah yang terakhir pindah dari kampung itu. Wilayah Pasir Ris sendiri selalu diingat sebagai tujuan wisata pantai populer. Sejak akhir abad ke-19, di pantai ini telah didirikan bungalo-bungalo tempat berlibur pengusaha kaya. Wilayah ini makin populer pada 1950 karena bertambah banyak orang yang dapat mengaksesnya untuk piknik, berkemah di bawah pohon kelapa, atau menyewa bungalo.

Satu bangunan bersejarah yang tadinya hendak ditonjolkan sebagai tempat penyelenggaraan festival ini adalah gedung rumah sakit St. Andrew's Mission di Jalan Kadayanallur, Tanjong Pagar. Bangunan berbentuk segitiga ini dibangun pada 1923 untuk menampung pasien anak dan perempuan miskin dari kawasan Chinatown. Rumah sakit ini menjadi fasilitas pertama di Singapura yang dilengkapi lift, dipasang pada 1929. Lift itu biasa membawa pasien anak dengan tuberkulosis ke lantai atap yang terbuka agar mendapat sinar matahari dan udara segar. Dengan diubahnya format festival menjadi online, riwayat rumah sakit ini dihadirkan dalam bentuk tur virtual dan mini seri.

Gambaran Bendemeer House milih Seah Liang Seah dalam rangkaian Grandfater Stroies di Singapore Heritage Festival./heritagefestival.sg/Singapore Seah Clan Association.

Cerita lain dari Tanjong Pagar yang diangkat adalah harmoni antara komunitas muslim dan Cina. Bekas perkampungan nelayan ini telah ramai sejak 150 tahun silam oleh aktivitas perdagangan. Orang-orang dari daratan Cina dan komunitas muslim dari Kadayanallur, India, kemudian datang dan menetap di sini. Salah satu program dalam festival ini melihat lebih dekat keseharian komunitas muslim Kadayanallur Tamil di Tanjong Pagar. Komunitas ini mendirikan Umar Pulavar Tamil School pada 1946 dan jalan tempat sekolah itu berada kini dinamai Jalan Kadayanallur. “Ini adalah sebuah pengakuan akan keberadaan komunitas kami di sini,” ucap Naseer Ghani, pemimpin liga muslim Kadayanallur. 

Program-program lain menawarkan bermacam variasi mengenal sejarah komunitas di Singapura secara dekat dan paling kini. Dalam “Tanjong Pagar: Their View, Our Lenses”, siswa-siswa sekolah dilibatkan untuk memotret dan menggali cerita tentang situs sejarah di sekitar mereka, seperti Stasiun Jinriksha, Kuil Thian Hock Keng, dan Maxwell Road Food Centre, dari perspektif anak muda. Lewat video dokumenter tentang Ji Xiang Confectionery, sebuah toko penganan tradisional kue kura-kura merah paling terkenal, dikisahkan bagaimana pemilik usaha ini berusaha menjaga tradisi sekaligus beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Festival yang cukup disimak dari rumah ini memberi pengalaman yang kaya dalam mengenali Singapura, yang bukan hanya tentang patung singa dan belanja murah di Bugis Street atau Mustafa Centre.

MOYANG KASIH DEWIMERDEKA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus