Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lima perhimpunan dokter memberikan masukan kepada pemerintah tentang penggunaan klorokuin untuk pasien Covid-19.
Data awal menunjukkan klorokuin dan hidroksiklorokuin mengurangi lama rawat pasien corona.
Deksametason akan dimasukkan ke protokol pengobatan Covid-19.
DI depan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan, Agus Dwi Susanto menjelaskan data penelitian sementara Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) tentang penggunaan hidroksiklorokuin dan klorokuin, akhir Juni lalu. Ketua Umum PDPI itu menjelaskan bahwa dua obat tersebut tak meningkatkan risiko kematian pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesimpulan sementara itu mereka peroleh setelah membandingkan sekitar 870 pasien yang diobati menggunakan hidroksiklorokuin atau klorokuin dengan penderita yang tak diberi salah satu obat tersebut. Agus juga menjabarkan, dari data riset sementara mereka, dua obat antimalaria itu mempengaruhi kesembuhan pasien. “Lama rawat pasien yang diobati menggunakan klorokuin atau hidroksiklorokuin lebih pendek dibanding yang tidak,” kata Agus, menceritakan ihwal pertemuan tersebut, Selasa, 30 Juni lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam rapat daring itu mereka juga membahas perihal deksametason, yang disebut ampuh menurunkan tingkat kematian pasien. Uji klinis yang dilakukan Oxford University, Inggris, menyebutkan deksametason berdosis rendah bisa mengurangi jumlah kematian sampai sepertiga dari pasien Covid-19 yang membutuhkan ventilator dan seperlima dari pasien yang memerlukan terapi oksigen.
Koordinator Bidang Medik Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Akmal Taher, yang hadir dalam rapat tersebut, mengatakan mereka sepakat akan menggunakan obat tersebut. “Lima perhimpunan dokter bersama Kementerian Kesehatan memutuskan, deksametason termasuk baru, oke kita ambil,” ujarnya.
Menurut Agus, beberapa dokter spesialis paru sudah menggunakan deksametason. Mereka melaporkan, jika diberikan pada tahap awal saat pasien tergolong dalam derajat berat, obat berjenis kortikosteroid tersebut bisa mengurangi tingkat keparahan. Namun, kalau derajat beratnya sudah agak lama, pemberian obat anti-peradangan tersebut tak membuat kondisi pasien membaik. “Karena pengalaman dan hasil riset itu, kami berencana memasukkan deksametason ke pedoman tata laksana penanganan pasien yang baru,” tutur Agus.
Pertemuan online tersebut digelar setelah Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan apresiasinya terhadap data awal penelitian Oxford itu pada 16 Juni lalu. Sehari setelahnya, WHO mengumumkan penghentian Uji Coba Solidaritas (Solidarity Trial) untuk hidroksiklorokuin. WHO menilai racikan kimia itu tidak bermanfaat bagi penyembuhan pasien Covid-19. Uji klinis bersama tersebut dilakukan di lebih dari 400 rumah sakit di 35 negara.
“Lama rawat pasien yang diobati menggunakan klorokuin atau hidroksiklorokuin lebih pendek dibanding yang tidak.”
Salah satu yang mendasari keputusan WHO tersebut adalah riset Oxford University yang hasilnya dipublikasikan pada 5 Juni lalu. Penelitian menunjukkan hidroksiklorokuin tak mengurangi risiko kematian. Sebanyak 26 persen pasien yang diberi obat tersebut meninggal. Sedangkan pasien yang diberi obat lain sebanyak 24 persen yang meninggal.
Sebelum WHO menghentikan Solidarity Trial terhadap hidroklorokuin, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) mencabut izin penggunaan darurat klorokuin dan hidroksiklorokuin untuk merawat pasien Covid-19 pada 15 Juni lalu. FDA menilai obat tersebut tak menyembuhkan penderita penyakit yang disebabkan oleh SARS-CoV-2 itu. Tambar itu justru menimbulkan efek samping serius pada jantung.
Menurut Direktur Registrasi Obat Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Lucia Rizka Andalusia, kesimpulan studi Oxford University tersebut tak bisa diambil mentah-mentah oleh Indonesia. Salah satu alasannya adalah dosis yang diberikan kepada pasien di Indonesia dan Inggris berbeda. BPOM memutuskan tetap mengizinkan penggunaan hidroksiklorokuin ataupun klorokuin setelah berdiskusi dengan perwakilan perhimpunan dokter yang menangani langsung pasien Covid-19. “Untuk sementara waktu kami masih memberlakukan emergency use authorization,” katanya.
BPOM menyatakan baik hidroksiklorokuin maupun klorokuin masih menjadi salah satu pilihan pengobatan pasien Covid-19 dengan penggunaan terbatas. Dua obat tersebut terutama diberikan kepada pasien dewasa dan remaja dengan berat badan minimal 50 kilogram dan dirawat di rumah sakit. Penggunaannya pun harus diawasi ketat oleh dokter.
Ini bukan pertama kalinya WHO menyetop penelitian hidroksiklorokuin. WHO pernah meminta negara anggotanya menghentikan sementara riset pada 25 Mei lalu. Keputusan ini diambil setelah ada laporan mengenai analisis penggunaan hidroksiklorokuin atau klorokuin dengan atau tanpa mikrolida untuk pengobatan Covid-19 yang dipublikasikan di jurnal The Lancet.
Laporan ilmiah yang diterbitkan pada 22 Mei tersebut menyimpulkan hidroksiklorokuin atau klorokuin justru meningkatkan risiko kematian dan aritmia jantung. Namun tulisan Mandeep R. Mehra, profesor di Harvard Medical School, Amerika Serikat, dan sejumlah dokter dari berbagai lembaga tersebut kemudian menuai polemik lantaran memiliki beberapa kelemahan data, misalnya tak membedakan usia subyek dan penyakit penyertanya. Dosis yang diberikan pun cenderung tinggi. The Lancet akhirnya menarik tulisan tersebut dan WHO mengumumkan uji coba kembali dilanjutkan pada 3 Juni lalu.
Setelah WHO mengumumkan penghentian sementara pertama itu, menurut Agus Dwi Susanto, lima perhimpunan dokter yang terdiri atas PDPI, Perhimpunan Penyakit Dalam Indonesia, Perhimpunan Dokter Kardiovaskular Indonesia, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi, Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia, serta Ikatan Dokter Anak Indonesia berkirim surat ke Kementerian Kesehatan. Isinya antara lain menyampaikan rekomendasi bahwa hidroksiklorokuin atau klorokuin masih bisa diberikan dengan dosis seturut protokol. “Dosis yang diberikan di penelitian Mehra itu dua-tiga kali lipat lebih tinggi dibanding yang diberikan di Indonesia,” ujar Agus.
Agus mengatakan protokol yang sudah dikeluarkan lima perhimpunan tadi pun memberikan panduan yang ketat. Misalnya obat hanya diberikan kepada pasien bergejala Covid-19 yang berusia di bawah 50 tahun, tak memiliki riwayat penyakit jantung, serta dirawat inap. Protokol selektif juga rencananya diberlakukan untuk deksametason.
Dokter spesialis paru Erlang Samoedro, yang sejak beberapa bulan lalu menggunakan kortikosteroid seperti deksametason, mengatakan obat jenis ini hanya diberikan kepada pasien kritis yang mengalami sesak napas berat. Mereka kesulitan bernapas akibat reaksi berlebihan imun tubuh ketika mendapat serangan kuman yang disebut badai sitokin. Kondisi ini bisa berujung pada kematian pasien. “Jika sudah mengancam jiwa, baru pakai obat tersebut,” ucapnya. Ia menyebutkan, dibanding obat lain, deksametason berefek lebih cepat dan kuat.
Menurut Agus, lima perhimpunan dokter akan terus memantau hasil pengobatan, termasuk dengan hidroksiklorokuin atau klorokuin. Bila ternyata data terbaru yang diperoleh perhimpunan menunjukkan tak ada efek bagi kesembuhan pasien Covid-19, mereka akan menyetop penggunaannya.
NUR ALFIYAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo