Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Riset Covid-19 Harus Simultan

Berbagai riset terkait dengan wabah akibat virus SARS-CoV-2 dilakukan para peneliti dalam Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi. Kementerian mencari sumber pendanaan riset karena anggaran dipotong setelah pandemi merebak.

4 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional Bambang Brodjonegoro/TEMPO/Muhammad Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAGAM riset dan inovasi terkait dengan wabah akibat virus SARS-CoV-2 alias Covid-19 muncul selama masa pandemi yang sudah berlangsung lebih dari tiga bulan ini. Para peneliti Indonesia mampu membuat sejumlah alat kesehatan, dari rapid test kit hingga ventilator, untuk menghadapi penyakit yang menyerang sistem pernapasan manusia itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para peneliti dalam Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 yang dibentuk Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional juga meneliti obat dan material vaksin corona. “Suplemen untuk meningkatkan daya tahan tubuh melawan Covid-19 juga diuji,” kata Menteri Riset dan Teknologi yang merangkap Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro, pada Rabu, 1 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada wartawan Tempo Gabriel Wahyu Titiyoga, Mahardika Satria Hadi, dan Nur Alfiyah melalui sambungan aplikasi komunikasi daring (online), Bambang menjelaskan perkembangan riset penangkal Covid-19. Kementerian, menurut dia, juga harus beradaptasi mencari sumber pendanaan riset karena anggaran mereka dipotong setelah Covid-19 merebak. “Tugas kami menangani risetnya, industri yang mengurusi produksinya,” ujarnya.

Bagaimana Kementerian membangun ekosistem riset mengenai Covid-19?

Sejak ada Kasus 01 dan 02 di Depok, kami langsung berkoordinasi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, dan perguruan tinggi. Dari pertemuan awal itu dibentuk Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19.

Riset vaksin jelas menjadi prioritas, tapi obat juga tidak kalah penting. Sampai nanti vaksin dan obat ditemukan, pasien harus bisa ditangani. Tingkat kematian harus makin rendah, kalau bisa nol. Makanya alat kesehatan juga kami kedepankan, karena Indonesia masih kekurangan dan bergantung pada impor. Maka kami membuat ventilator, juga rapid test kit dan PCR test kit. Jadi memang harus simultan.

Seperti apa penelitian obat Covid-19 saat ini?

Untuk obat ada dua kategori, berbasis kimia dan herbal. Untuk obat kimia, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 dan Kementerian Kesehatan mengecek obat yang sudah dipakai di berbagai belahan dunia. Beberapa obat yang dianggap cukup sukses membantu mengobati pasien Covid-19 seperti avigan, remdesivir, klorokuin, hidrosiklorokuin, dan deksametason.

Tapi sampai hari ini di dunia belum ada obat yang dinyatakan resmi sebagai obat Covid-19. Obat-obat yang disebut tadi awalnya dibuat untuk penyakit seperti malaria atau virus lain. Kebetulan saja ketika dicoba kepada pasien Covid-19 ada yang sembuh, tapi ada juga yang tidak efektif. Kami bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan WHO membuat multicenter clinical trial untuk menguji obat-obatan.

Bagaimana dengan riset vaksin yang digarap Indonesia?

Vaksin untuk pencegahan penyakit dan membangun ketahanan tubuh. Vaksin ini solusi pamungkas. Sementara itu, obat baru bekerja setelah orang sakit. Banyak perusahaan dan lembaga riset di dunia berlomba mencari vaksin Covid-19. Kami lakukan dengan double track di Indonesia. Pertama, Lembaga Eijkman mengembangkan vaksin dengan metode protein rekombinan. Mereka juga menganalisis karakter virus Covid-19 dan melakukan whole genome sequencing. Jadi mencari vaksin dengan isolat virus dari Indonesia. Kedua, membuat vaksin bekerja sama dengan lembaga asing. Bio Farma bekerja sama dengan Sinovac Biotech dari Cina yang sudah masuk uji klinis. Lembaga farmasi Cina itu menggunakan inactivated virus (virus yang dinonaktifkan). Jika uji klinisnya sukses, di tahap awal bisa memakai yang sudah selesai itu. Tentu harus ada registrasi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan dulu.

Berapa kebutuhan vaksinasi Covid-19 di Indonesia?

Ini tak mudah. Harus memperhitungkan berapa orang yang harus divaksin. Hitungannya sekarang yang harus divaksin kira-kira 170 juta orang, masing-masing dua dosis. Biayanya pun masih harus dihitung lagi. Apalagi ini vaksin baru, belum ketahuan harganya.

Setelah bisa diproduksi, baru vaksinasi massal. Ini akan memakan waktu. Tapi, selama ada vaksin, itu sinyal bagus. Virusnya mungkin tidak hilang, tapi yang penting daya tahan tubuh terbangun. Orang bisa lebih lega dan bebas beraktivitas.

Suplemen atau ramuan herbal yang disebut-sebut bisa membantu melawan Covid-19 apakah harus melewati uji klinis?

Suplemen sifatnya untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Sekarang yang dites itu suplemen yang sudah ada dan lolos uji Badan POM. Aman dan tidak menimbulkan efek samping. Tapi harus diuji lagi apakah cocok untuk pasien Covid-19.

Uji klinis itu sangat detail dan harus dilalui oleh semua obat. Alat kesehatan seperti ventilator pun harus melalui uji klinis untuk meyakinkan alatnya cocok bagi pasien.

Bagaimana Kementerian menyiapkan dana riset Covid-19 setelah anggarannya dikurangi?

Begitu Covid-19 merebak, ada perubahan anggaran negara seperti yang disampaikan Menteri Keuangan. Anggaran kami dipotong dari Rp 2,7 triliun menjadi Rp 1,8 triliun. Ketika membangun konsorsium riset, pertanyaan pertama yang muncul itu dari mana biayanya.

Sejak 2019, selain dana abadi pendidikan, ternyata ada dana abadi penelitian, yang besarnya Rp 990 miliar. Pada 2020 jumlahnya Rp 5 triliun. Dana itu kami titipkan di Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Ketika membutuhkan dana penelitian untuk Covid-19, alhamdulillah LPDP merespons dengan dana Rp 90 miliar.

BPPT dan LIPI juga merelokasi anggarannya supaya bisa meneliti Covid-19. BPPT ada realokasi Rp 47 miliar dan LIPI Rp 10 miliar. Sejumlah perguruan tinggi juga mengubah topik penelitian ke topik terkait dengan Covid-19, sehingga total bisa terhimpun dana hampir Rp 200 miliar.

Dana itu mencukupi?

Tugas kami hanya sampai membuat prototipe. Ketika masuk ke tahap produksi, kami bekerja sama dengan industri. Apa pun yang diproduksi biayanya akan ter-cover dengan sendirinya kalau ada yang melakukan pengadaannya, bisa Kementerian Kesehatan atau Gugus Tugas Covid-19.

Jadi kuncinya bukan di anggaran kami, tapi justru di Kementerian Kesehatan, yang memiliki anggaran khusus penanganan Covid-19. Dana itu bisa dipakai untuk membeli PCR test kit, rapid test kit, dan ventilator. Rumah sakit atau fasilitas kesehatan di luar pemerintah dan BUMN juga bisa membeli langsung.

Bagaimana dengan pendanaan untuk pengembangan vaksin Covid-19 di Lembaga Eijkman?

Untuk Eijkman, kami akan dukung sampai Rp 10 miliar. Untuk tahap awal, saat ini Eijkman baru membutuhkan Rp 5 miliar.

Alat rapid test banyak dipersoalkan karena tidak akurat, sementara tes PCR tidak terjangkau publik. Bagaimana Kementerian menjembatani persoalan ini?

Kami membuat rapid test kit menggunakan isolat virus lokal. Ini penting sekali untuk memperbaiki akurasi. Dalam rapid test dan PCR, yang dites itu sensitivitas dan spesifisitas. Rapid test bagus di sensitivitas tapi lemah di spesifisitas. Risikonya ada false positive dan false negative. Kalau tes PCR, baik sensitivitas maupun spesifisitasnya mendekati 100 persen. 

Rapid test kit sudah diuji di Lembaga Eijkman. Sensitivitas dan spesifisitasnya di atas 90 persen. Jadi akurasinya cukup baik. Harganya murah, Rp 75 ribu per kit.

Saat ini kami baru bikin rapid test kit dan PCR test kit. Bukan mesin PCR, ya. LIPI juga sedang membuat RT-Lamp untuk menguji Covid-19. Ini semacam tes cepat PCR. Metodenya seperti rapid test, dengan waktu cepat tapi akurasinya mendekati tes PCR. Diharapkan bisa keluar Juli atau Agustus nanti.

Apa sampel yang digunakan untuk alat tes LIPI ini?

Menggunakan saliva yang nanti dimasukkan ke cairan tertentu. Nanti dilihat kekeruhan cairannya. Kami berupaya terus untuk tes itu makin akurat mendekati tes PCR.

Untuk rapid test kit dalam negeri, bisa diproduksi massal dalam waktu dekat?

Target produksinya 2 juta unit. Saat ini baru bisa 100 ribu unit per bulan. Mudah-mudahan bulan depan bisa 200 ribu. Kami bertugas membuat prototipe, sementara industrinya belum siap. Industri farmasi besar pun tidak biasa membuat test kit ini. Jadi isunya sekarang sudah bergeser ke kemampuan industri.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus