Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dua kandidat vaksin Covid-19 buatan Indonesia berasal dari Universitas Airlangga dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman.
Vaksin paling cepat bisa diproduksi pada kuartal pertama 2022.
Vaksin Merah Putih bisa berfungsi sebagai penguat ataupun vaksin pertama bagi yang belum mendapatkan.
TUNTUTAN untuk secepatnya menemukan bibit vaksin Covid-19 membuat para peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, berkejaran dengan waktu. Amin Soebandrio, kepala lembaga itu, mengatakan para penelitinya harus menghabiskan banyak waktu di laboratorium, sejak pagi hingga malam, bahkan saat hari libur. Sebagai ketua tim, ia pun harus siap mengikuti rapat kapan saja. "Karena kita yang harus menyesuaikan diri dengan perkembangan makhluk hidup saat meneliti vaksin ini," katanya, Senin, 2 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Eijkman adalah satu dari dua lembaga pemerintah non-kementerian yang tergabung dalam konsorsium pembuatan vaksin Merah Putih bersama lima lembaga penelitian perguruan tinggi yang dibentuk Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2020. Anggota lain adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI); Universitas Airlangga (Unair), Surabaya; Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta; Institut Teknologi Bandung; Universitas Indonesia; dan Universitas Padjadjaran, Bandung. Ketujuh institusi ini mengembangkan vaksin dengan platform berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Eijkman, LIPI, UGM, dan Universitas Padjadjaran memakai platform protein rekombinan. Universitas Airlangga memilih virus yang dimatikan (inactivated virus). Sedangkan Institut Teknologi Bandung menggunakan vektor virus atau adenovirus dan Universitas Indonesia mengembangkan vaksin berplatform RNA, DNA, protein sub-unit, serta partikel mirip virus. "Saat ini yang paling maju adalah Unair dengan inactivated virus dan Eijkman dengan protein rekombinan berbasis ragi," ucap Kepala BRIN Laksana Tri Handoko dalam wawancara melalui Zoom, Rabu, 4 Agustus lalu.
Peneliti beraktivitas di ruang riset vaksin Merah Putih di kantor Bio Farma, Bandung, 12 Agustus 2020./ANTARA/Dhemas Reviyanto
Dengan tahap pengembangan vaksin yang berbeda, kesulitan yang dihadapi kedua lembaga riset itu pun tak sama. Universitas Airlangga sedang melakukan uji praklinis tahap kedua. Sedangkan Lembaga Eijkman baru akan menggelar uji praklinis pada bulan ini hingga tiga atau empat bulan mendatang. Setelah itu, jika hasilnya bagus, riset memasuki tahap uji klinis yang diperkirakan membutuhkan waktu enam-delapan bulan.
Pembuatan vaksin Merah Putih itu tak sepenuhnya berjalan sesuai dengan rencana. Amin mengatakan Lembaga Eijkman sebenarnya sudah mulai membicarakan kemungkinan pembuatan vaksin dengan PT Bio Farma (Persero) pada Januari 2020, tak lama setelah virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 menyebar dari Cina. Penelitian dimulai pada akhir Maret tahun lalu, saat Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional menginstruksikan Lembaga Eijkman membuat vaksin bekerja sama dengan PT Bio Farma.
Pembuatan vaksin berplatform protein rekombinan, Amin menjelaskan, lebih panjang dibanding pengembangan vaksin dari virus yang dimatikan. Gen protein dari virus harus diisolasi dulu. Lalu gen disisipkan ke plasmid—molekul asam deoksiribonukleat (DNA) yang mampu bereplikasi sendiri—sebelum dimasukkan ke virus vektor. Selanjutnya, virus vektor yang telah memiliki gen itu dimasukkan ke sel mamalia yang nantinya memproduksi antigen. “Memang bukan platform yang paling baru, tapi juga bukan yang paling kuno. Teknologinya sudah dikuasai industri di Indonesia," tuturnya.
Sejak Januari lalu, Amin melanjutkan, ada dua proses utama yang dijalani peneliti lembaganya. Pertama, meningkatkan volume antigen. Di laboratorium, produksi baru memakai tabung kecil. Sedangkan produksi di industri memakai fermentor besar. Kedua, berupaya meningkatkan yield. "Ini agar proses industri nanti bisa berjalan lebih efisien dan harganya lebih murah," katanya.
Menurut Direktur Utama PT Bio Farma Honesti Basyir, pada April lalu Lembaga Eijkman sebenarnya sudah menyerahkan bibit vaksin. Dari sejumlah tes yang dilakukan Bio Farma, ternyata bibit vaksin itu perlu lebih dioptimalkan. "Kalau yield rendah, saat kita produksi biayanya akan sangat besar. Makanya kita lanjutkan proses dengan optimalisasi bibit vaksin dari Lembaga Eijkman itu," ujar Honesti, Jumat, 30 Juli lalu. Amin mengakui bahwa memang ada perbaikan untuk meningkatkan yield kandidat virus demi efisiensi produksi.
Rencananya, Amin menerangkan, peneliti Lembaga Eijkman akan melakukan uji praklinis mulai Agustus ini sampai November mendatang. Ia berharap pada akhir tahun nanti atau paling lambat awal Januari 2022 pengembangan sudah masuk tahap uji klinis fase I. Secara keseluruhan, uji klinis itu membutuhkan waktu delapan bulan. "Tapi mudah-mudahan, kalau semua bagus, sebelum uji klinis fase III selesai bisa keluar emergency use authorization (izin penggunaan darurat) dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan)," ucapnya.
Universitas Airlangga memilih platform virus yang dimatikan karena metode itu dinilai sebagai yang tercepat untuk saat ini. Platform ini sama dengan yang dipakai oleh Sinovac Biotech Ltd untuk membuat vaksin CoronaVac. "Ini memang metode klasik, tapi sampai hari ini masih dipakai, seperti dalam pembuatan vaksin polio dan sebagainya," kata Ni Nyoman Tri Puspaningsih, Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Community Development Universitas Airlangga, Selasa, 27 Juli lalu.
Nyoman Tri mengatakan, selain menggunakan inactivated virus, tim kampusnya sebenarnya juga memakai platform adenovirus. Namun adenovirus dalam metode ini masih dalam tahap konstruksi. Terdapat 15 peneliti yang terlibat dalam pengembangan vaksin Merah Putih buatan tim Universitas Airlangga yang dipimpin oleh Fedik Abdul Rantam. Nyoman Tri adalah peneliti vaksin Merah Putih platform adenovirus. Dalam pembuatan vaksin menggunakan virus yang dimatikan ini, Universitas Airlangga menggandeng PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia.
Direktur Utama PT Biotis Pharmaceutical F.X. Sudirman mengungkapkan, perusahaannya memberikan dukungan terhadap pembuatan vaksin Universitas Airlangga ini sejak tahap riset. "Bukan berupa anggaran. Dukungannya dalam bentuk in-kind," tuturnya. Misalnya dengan mempersilakan peneliti Universitas Airlangga menggunakan fasilitas laboratorium hewan percobaan bersertifikat biosafety level-3 (BSL-3) yang dimiliki PT Biotis.
Nyoman Tri menjelaskan, peneliti kampusnya menyelesaikan uji praklinis tahap I pada Mei lalu. Hasil uji praklinis yang dilakukan terhadap 100 mencit itu bagus. Karena itu, riset dilanjutkan ke tahap uji praklinis tahap II mulai Agustus ini terhadap hewan percobaan besar monyet kra (Macaca fascicularis), yang fisiologinya mirip manusia. "Mudah-mudahan uji praklinis tahap kedua bisa selesai Agustus ini," ucapnya.
Jadwal ini memang mundur dari rencana awal. Menurut Nyoman, semula uji praklinis tahap II akan dilakukan pada akhir Mei lalu. Namun hal itu tak bisa dilakukan karena kendala dalam pengadaan monyet. “Sebab, tak semua monyet bisa dipakai dalam uji praklinis tahap kedua ini. Monyet perlu di-screening dulu, harus bebas penyakit, supaya nanti saat imunisasi terlihat kondisi antara vaksin yang dimasukkan dan respons imun yang diberikan,” ujarnya.
Nyoman berharap uji praklinis selesai sesuai dengan target waktu yang dibuat sehingga pada September nanti vaksin sudah bisa diuji klinis ke manusia. Secara keseluruhan, kata Nyoman Tri, uji klinis akan memakan waktu enam-delapan bulan. Uji klinis fase I yang melibatkan 100 relawan akan dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Soetomo, Surabaya. Uji klinis fase II akan dilakukan di lokasi yang sama dengan melibatkan 400 relawan. Adapun uji klinis fase III bakal melibatkan 4.000 relawan di RSUD Dr Soetomo dan rumah sakit jejaring.
Nyoman mengungkapkan, ada upaya percepatan sehingga uji klinis tidak harus berjalan selama delapan bulan. Saat suntikan pertama diberikan dalam uji klinis fase I dan hasilnya bisa diamati, uji klinis fase II sudah bisa mulai dilakukan. Begitu pula untuk fase III. Dengan memakai skema itu, vaksin Merah Putih bikinan Universitas Airlangga ini diprediksi bisa selesai menjalani uji klinis fase III pada Maret 2022 untuk kemudian mendapat izin penggunaan darurat. "Kami bekerja sesuai dengan aturan dan juga di bawah pengawasan BPOM," tuturnya.
F.X. Sudirman menambahkan, PT Biotis sebenarnya telah siap memproduksi vaksin Covid-19 melalui fasilitas perusahaan di Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. "Namun, untuk memproduksi vaksin Merah Putih platform Universitas Airlangga, fasilitas produksi BSL-3 di tingkat upstream perlu ditambah. Ini yang sedang kami tambahkan dan diperkirakan selesai September 2021," katanya.
Laksana Tri Handoko mengatakan keterlambatan pembuatan vaksin oleh peneliti bisa dipahami. "Harus saya akui jam terbang, pengalaman, dan keahlian periset vaksin Indonesia belum ada. Memang belum pernah ada yang bikin (vaksin)," ujarnya. Di Indonesia pun belum ada perusahaan yang membuat vaksin. Produksi vaksin selama ini memakai formula dari luar negeri.
BRIN memastikan dukungannya terhadap pengembangan vaksin Merah Putih. Sesuai dengan komitmen, BRIN berbagi beban anggaran dengan Kementerian Kesehatan. "Kami menanggung biaya riset hingga uji praklinis. Adapun uji klinis fase I, II dan III ditanggung Kementerian Kesehatan," ucapnya. Namun ada perubahan dalam soal pembiayaan, yakni dari sebelumnya memakai skema hibah menjadi berdasarkan pengeluaran.
Menurut Handoko, dana bantuan untuk riset vaksin ini tak terbatas. BRIN sendiri memiliki alokasi dana sampai Rp 200 miliar. Untuk uji klinis, alokasi dari Kementerian Kesehatan sekitar Rp 500 miliar. "Tugas saya sebagai manajer BRIN bukan membuat vaksin, tapi memfasilitasi orang atau periset untuk bisa membuat vaksin yang terbukti secara ilmiah dan sesuai dengan regulasi otoritas kita," tutur Handoko.
Menurut Amin Soebandrio, biaya terbesar pembuatan vaksin memang untuk uji klinis. Dia menaksir biaya riset sampai uji praklinis sekitar Rp 20 miliar. Adapun biaya uji klinis ia hitung sekitar Rp 100 miliar. Taksiran angka sebesar itu diperoleh dengan asumsi biaya uji klinis untuk tiap relawan sebesar Rp 20 juta. Jumlah minimum relawan uji klinis sebanyak 5.000 orang. Biaya bisa membengkak jika jumlah relawan ditambah. Sebab, ada juga yang menyarankan uji klinis fase III memakai 20 ribu relawan.
BRIN terus mendorong penyelesaian riset vaksin oleh lima lembaga lain untuk mengantisipasi hal tak terduga. Universitas Gadjah Mada, misalnya, menggunakan platform protein rekombinan melalui sistem ekspresi bakteri Escherichia coli dan sel mamalia. "Tim pengembang vaksin Covid-19 nasional atau vaksin Merah Putih UGM menargetkan uji praklinis vaksin dilakukan mulai kuartal pertama atau Januari-Maret 2022," kata Koordinator Tim Vaksin Merah Putih Universitas Gadjah Mada, Yodi Mahendradhata, Rabu, 4 Agustus lalu.
Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengembangan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM itu mengakui ada kendala dalam pengembangan vaksin ini. Selain memerlukan dukungan anggaran, tim menghadapi kendala keterbatasan stok reagen, laboratorium yang menerapkan sistem buka-tutup, dan anggota tim yang terinfeksi Covid-19. Yodi menyebutkan sudah menjajaki tiga pelaku industri sebagai calon mitra, tapi belum ada yang siap karena perlu menghitung prospek investasi dan risiko.
Angka kasus infeksi yang masih tinggi juga memicu tekanan terhadap lembaga penelitian untuk mempercepat pembuatan vaksin Merah Putih. Menurut Nyoman Tri, pejabat kementerian menanyakan apakah uji klinis bisa selesai pada Desember tahun ini. Ia mengaku menginginkan hal yang sama, tapi semua tahap perlu diikuti karena sudah menjadi standar dan harus dijalani demi keamanan. "Itu proses yang terbaik," ujarnya.
Lembaga Eijkman mendapat permintaan yang sama: vaksin siap pada tahun ini. Namun Amin menerangkan bahwa fase dalam uji klinis bisa dipersingkat, tapi tak boleh dilewati. "Kalau dipaksakan, mungkin akan jadi pertanyaan dunia internasional,” tuturnya. “Vaksin ini memang sebagian untuk masyarakat Indonesia. Tapi kita mesti membantu negara lain yang belum punya akses terhadap vaksin.”
Handoko menyebutkan belum diketahui kapan pandemi akan berakhir. Para pakar sepakat menyatakan pandemi akan berlangsung lama. Karena itu, kata dia, kita mungkin membutuhkan vaksin penguat (booster). Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa, kebutuhan vaksin kita sangat besar. "Kalau menguasai formula sendiri, kita bisa membuat vaksin Covid-19 lebih cepat dan tak perlu berebut vaksin dengan negara lain. Syukur-syukur bisa berkontribusi ke negara lain," ucapnya.
ABDUL MANAN, MAHARDIKA SATRI HADI (JAKARTA), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo