Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Di Pasar Tuan Berjaya

Pemain besar sektor energi berlomba mengembangkan potensi wilayah kerja panas bumi. Pasar modal menjadi salah satu tumpuan pendanaan.

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Grup Barito Pacific lewat Star Energy menyiapkan rencana ekspansi panas bumi.

  • Akses pendanaan pasar modal juga dimanfaatkan Grup Medco untuk ekspansi usaha.

  • Peluang pengembangan panas bumi masih amat lebar.

AMBISI PT Barito Pacific Tbk untuk terus menguasai bisnis panas bumi di Tanah Air tak surut ditelan pandemi Covid-19. Kelompok usaha investasi milik taipan Prajogo Pangestu, orang terkaya ketiga di Indonesia versi Forbes, ini melanjutkan niatnya mengaplikasikan teknologi baru binary cycle di wilayah kerja panas bumi Gunung Salak di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor, Jawa Barat. “Rencana pengembangan bisnis tetap terus ada penjajalan,” kata Angelin Cornelia Sumendap, Head of Corporate Communications PT Barito Pacific Tbk, pada Jumat, 6 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angelin belum dapat menjelaskan detail strategi yang disiapkan BRPT—kode Barito Pacific—di bursa saham. Namun, sepanjang tahun lalu, geotermal memang menjadi satu-satunya segmen usaha Barito Pacific yang mencatatkan hasil positif.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapatan dari lini bisnis panas bumi Barito pada 2020 mencapai US$ 520,8 juta atau sekitar Rp 7,34 triliun, naik 1,4 persen dibanding pada tahun sebelumnya. Sedangkan pendapatan bisnis petrokimia yang dilakoni PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, anak usaha yang juga kantong cuan terbesar Grup Barito, nyungsep 4 persen kendati nilainya masih US$ 1,79 miliar atau sekitar Rp 25 triliun.

Barito Pacific menjadi penguasa energi panas bumi terbesar di Indonesia, juga ketiga di dunia, setelah merampungkan akuisisi terhadap Star Energy Group Holding Pte Ltd pada 2018. Total kapasitas pembangkit terpasang grup ini mencapai 875 megawatt, yang tersebar di tiga wilayah kerja panas bumi, yakni Wayang Windu di Kabupaten Bandung; Gunung Salak di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor; serta Darajat di Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung.


Liputan Tempo tentang tata kelola badan usaha milik negara sektor energi ini terselenggara dengan dukungan Judith Neilson Institute.


Tahun lalu, di tengah pandemi, Star Energy memulai proyek Salak Binary yang ditargetkan menambah kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Salak sebesar 15 megawatt dari daya terpasang saat ini 377 megawatt. Teknologi binary cycle memungkinkan pembangkit baru memanfaatkan uap panas bumi basah yang selama ini tak dapat digunakan di PLTP konvensional. PLTP binary cycle juga lebih efisien lantaran bisa berproduksi dengan air panas sisa PLTP konvensional.

Paparan perseroan pada Kamis, 5 Agustus lalu, mencatat pembangunan Salak Binary akan menelan modal hingga US$ 45 juta dan ditargetkan kelar pada 2022. Star Energy juga menyiapkan pembangunan PLTP Wayang Windu Unit 3 serta eksplorasi wilayah kerja Sekincau di Lampung Barat dan Hamiding di Halmahera Utara. Ditargetkan terlaksana selepas 2024, proyek-proyek itu diperkirakan menelan modal kerja lebih dari US$ 1 miliar.

Ke depan, Star Energy menargetkan kapasitas PLTP mereka terkatrol menjadi 1.200 megawatt sebelum 2028. Setidaknya diperlukan dana US$ 2-2,5 miliar untuk mewujudkan ambisi tersebut. Dengan capaian di pasar modal selama ini, lewat aktivitas penerbitan obligasi Barito sebagai induk usaha di Bursa Efek Indonesia ataupun anak-anak usaha Star Energy di bursa luar negeri, kebutuhan modal itu agaknya tak sulit digenggam.

Pada Oktober tahun lalu, misalnya, Star Energy Geothermal Salak Ltd dan Star Energy Geothermal Darajat II Ltd menerbitkan green bond senilai US$ 1,11 miliar atau sekitar Rp 16,4 triliun di Singapura untuk membayar utang dan ekspansi usaha. Di tengah lesunya perekonomian global, penerbitan obligasi itu justru disambut antusias sehingga terjadi kelebihan permintaan sampai tiga setengah kali dari target.

Sembilan bulan terakhir, Barito juga menggulirkan obligasi senilai total Rp 2,5 triliun untuk keperluan serupa. Semua aksi korporasi ini menggenapi besarnya akses pendanaan Barito lewat pasar obligasi dan penawaran saham terbatas (rights issue) yang sepanjang 2007-2020 mencapai US$ 7,9 miliar—kini sekitar Rp 114 triliun.

Kegiatan pengeboran Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Desa Blawan, Sempol, Bondowoso, Jawa Timur. ANTARA/Seno

Luasnya akses pendanaan di pasar modal pula yang selama ini menjadi tulang punggung pengembangan usaha PT Medco Power Indonesia. Sejak 2018, anak usaha PT Medco Energi Internasional Tbk ini gencar merambah pasar obligasi untuk menopang ekspansi sektor pembangkitan listrik, termasuk panas bumi.  

Saat ini Medco Power tengah meneruskan pengembangan aset PLTP milik perseroan di Blawan Ijen, Jawa Timur, yang sempat tertunda akibat pembatasan kegiatan di masa pandemi Covid-19. Perseroan menargetkan PLTP berkapasitas 110 megawatt ini mulai beroperasi pada awal 2024. "Blawan Ijen akan menjadi pengembangan PLTP pertama di Jawa Timur,” tutur Hilmi Panigoro, Presiden Direktur PT Medco Energi Internasional, Jumat, 6 Agustus lalu.

Medco Power juga tengah mengeksplorasi wilayah kerja panas bumi Sarulla di Sumatera Utara yang berpotensi menghasilkan kapasitas daya listrik 200 megawatt. Tahun depan, pengeboran panas bumi di wilayah kerja Bonjol di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, juga akan dimulai. Ke depan, menurut Hilmi, “Medco Power akan terus membesarkan geothermal platform dengan partner strategis untuk membantu pemerintah mempercepat pengembangan panas bumi.”

Peluang pengembangan sumber daya geotermal memang masih amat besar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat potensi panas bumi di Indonesia setara 29,5 gigawatt. Sementara itu, tingkat pemanfaatannya baru sekitar 7 persen.   

Ketua Umum Asosiasi Panasbumi Indonesia Prijandaru Effendi menilai potensi itu yang membuat sektor energi ini menarik minat para investor. Mereka bukan hanya pengembang panas bumi, tapi juga pelaku pasar modal. Dia menilai masuknya para pemain bisnis panas bumi ke bursa saham juga menguntungkan dari sisi industri. “Initial public offering akan membuat perusahaan lebih transparan dengan manajemen yang baik karena diawasi banyak pihak," kata Prijandaru. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa melihat sudut pandang lain sebagai salah satu peluang bagi pengembangan panas bumi. Pandemi Covid-19 makin mendorong perhatian dunia pada pentingnya energi baru dan terbarukan yang ramah lingkungan. Pemerintah, ucap dia, saat ini mulai mempercepat upaya mengurangi emisi gas rumah kaca, termasuk dari sektor energi. "Dari sisi pasar pun saat ini makin banyak perusahaan, pelaku industri yang mencari energi terbarukan," ujar Fabby. "Ini menarik."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Aisha Shaidra

Aisha Shaidra

Bergabung di Tempo sejak April 2013. Menulis gaya hidup dan tokoh untuk Koran Tempo dan Tempo.co. Kini, meliput isu ekonomi dan bisnis di majalah Tempo. Bagian dari tim penulis liputan “Jalan Pedang Dai Kampung” yang meraih penghargaan Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjadjaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus