Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Putar Arah Pembangkit Batu Bara

Holding perusahaan negara disiapkan di segmen pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Upaya mencari duit di tengah rencana mematikan pembangkit berbahan bakar batu bara. 

7 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tuntutan mendorong energi baru dan terbarukan makin besar.

  • Rencana pembentukan holding PLTU menyempil di peta jalan memangkas ketergantungan pada energi fosil.

  • Pengalihan aset direncanakan bertahap menyasar PLTU tua.

DI tengah rencana pensiun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, satu lagi proyek energi terbarukan masuk ke sistem kelistrikan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Adalah Pembangkit Listrik Tenaga Biogas Pasir Mandoge di Sumatera Utara yang akan menambah kapasitas setrum skala kecil, 2 x 1 megawatt saja. Pada Selasa, 3 Agustus lalu, pembangkit yang dikembangkan PT Karya Mandoge Energi ini resmi beroperasi secara komersial setelah dibangun dengan biaya investasi sekitar Rp 42 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembangkit Pasir Mandoge beroperasi dengan memanfaatkan limbah cair (POME) pabrik kelapa sawit PT Perkebunan Nusantara IV (Persero). PLN membeli setrum dari PT Karya Mandoge Energi seharga Rp 1.018 per kilowatt-jam. "Pengoperasian pembangkit ini mengurangi dampak lingkungan akibat emisi gas rumah kaca, meningkatkan rasio elektrifikasi, dan menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat," kata General Manager PLN Unit Induk Wilayah Sumatera Utara Pandapotan Manurung, Rabu, 4 Agustus lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski kecil, daya yang dihasilkan pembangkit Pasir Mandoge ini amat penting bagi PLN. Tahun ini, perusahaan memproyeksikan bauran energi terbarukan mencapai 13,3 persen. Paparan Direktorat Perencanaan Korporat PLN di webinar "Masa Depan Batubara dalam Bauran Energi Nasional", Senin, 26 Juli lalu, menunjukkan energi batu bara masih mendominasi sebesar 67 persen. Sumbangan energi fosil lain, seperti gas dan diesel, juga masih cukup tinggi.

Perusahaan menargetkan porsi energi baru dan terbarukan (EBT) meningkat menjadi 23 persen pada 2025 dan 24,2 persen pada 2030. Untuk mencapainya, tak hanya menggeber proyek EBT, PLN juga merancang skenario jadwal pensiun (retirement) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara secara bertahap sampai tak tersisa pada 2058, dua tahun sebelum target terbaru net-zero emission Indonesia.


Liputan Tempo tentang tata kelola badan usaha milik negara sektor energi ini terselenggara dengan dukungan Judith Neilson Institute


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga menghentikan rencana pembangunan 12 PLTU batu bara di Sumatera, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Sebelas di antaranya adalah proyek PLN, satu milik produsen listrik independen (IPP) yang dirancang menambah kapasitas pembangkit terpasang 117 megawatt. "Terminasi artinya enggak jadi dibangun,” tutur Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi Rida Mulyana, awal Juni lalu.

Sementara itu, Kementerian Badan Usaha Milik Negara punya ide lain. Kementerian yang dipimpin Erick Thohir ini menggagas monetisasi PLTU batu bara. Bahasa sederhananya: nduitin, agar menghasilkan duit. Paparan Kementerian BUMN dalam rapat bersama Kementerian Keuangan serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kamis, 5 Agustus lalu, mencatat rencana pemisahan aset (spin-off) pembangkit-pembangkit batu bara milik negara ke dalam perusahaan baru. Untuk sementara, paparan itu hanya menyebutnya NewCo—meski beredar kabar PT PLTU Indonesia sebagai nama holding tersebut.

Modelnya mirip-mirip dengan yang kini sedang ramai menjadi pembicaraan tentang rencana pembentukan holding BUMN panas bumi di bawah PT Pertamina Geothermal Energy (PGE). Bedanya, NewCo dirancang sebagai perusahaan yang betul-betul baru untuk menjadi induk unit-unit bisnis PLTU batu bara di bawah kendali Grup PLN.

Selanjutnya, NewCo mencari investor strategis melalui proses tender. Mereka yang berasal dari pengembang pembangkit EBT menjadi prioritas. Tujuannya, lagi-lagi disebutkan, bauran energi baru dan terbarukan bisa digenjot lebih kencang sesuai dengan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL), acuan tahunan bagi pengembangan infrastruktur kelistrikan sepuluh tahun ke depan.

Draf RUPTL 2021-2030—pemerintah hingga kini belum mempublikasikan naskah akhirnya meski disebut-sebut telah rampung—memang amat ambisius. Pemerintah menargetkan penambahan kapasitas 40.967 megawatt dalam sepuluh tahun ke depan, hampir separuhnya disumbang EBT. Sebagian besar rencana daya baru dari EBT itu disiapkan berasal dari proyek-proyek pembangkit listrik tenaga air.

Besarnya ambisi itu yang menjadi dalih Kementerian BUMN untuk mencari jalan memutar lewat pembentukan holding PLTU dari aset-aset yang selama ini dikelola PLN dan anak usahanya. Anggota staf khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengatakan beban PLN akan berkurang jika aset pembangkit batu bara dilepas. Di sisi lain, dia menambahkan, PLN mendapat dana segar setelah holding PLTU kelak dilepas ke pasar modal lewat penawaran umum perdana (IPO) saham. “Kami spin-off, terus di-IPO-kan,” tutur Arya, Jumat, 6 Agustus lalu. “Yang pasti, ini adalah cara PLN mendapatkan dana.”

Seperti niat penggabungan aset BUMN panas bumi, rencana pembentukan holding BUMN batu bara ini menuai resistansi dari serikat pekerja PLN dan anak usahanya. Mereka khawatir dua rencana tersebut akan menambah beban keuangan perseroan yang selama ini sudah tersedot habis untuk membeli bahan bakar dan produksi setrum IPP.  

Dalam hitungan Kementerian BUMN, skema spin-off aset PLTU diperkirakan menambah biaya pokok produksi PLN sebesar Rp 945 miliar per tahun. Di sisi lain, skema ini akan menurunkan rasio utang terhadap pendapatan perusahaan sebelum dikurangi bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) dari 5,72 kali menjadi 5,48 kali.

Selama ini, sebagai aset perusahaan, unit PLTU yang dikuasai PLN hanya menyedot biaya produksi seperti ongkos bahan bakar dan operasional, termasuk pembayaran beban utang. Sedangkan setrum PLTU milik IPP harus dibeli lewat kontrak yang di dalamnya terdapat beban lain berupa keuntungan bagi pengembang. “Kalau dilepas, di-IPO-kan, aset itu menjadi milik swasta, akan ada kontrak jual-beli setrum baru yang menyebabkan kenaikan harga,” ujar Herman Darnel Ibrahim, anggota Dewan Energi Nasional.

Dwi Hantoro, Ketua Persatuan Pegawai PT Indonesia Power—anak perusahaan PLN—khawatir pelepasan aset ke holding PLTU justru akan mempersulit perseroan dalam mengontrol beban usaha. “Ujung-ujungnya, konsumen yang akan terkena dampak,” ucapnya. Dia mengingatkan, bertambahnya biaya pokok produksi juga akan menambah tanggungan negara untuk menutup selisih dari tarif distribusi listrik lewat anggaran subsidi.

Kementerian BUMN menepis kekhawatiran itu. Arya menjelaskan, pembentukan holding hanya akan mengalihkan PLTU milik PLN yang sudah uzur. “Masak, kita mau pelihara barang tua. Daripada dibuang percuma, kalau bisa diberdayakan supaya keuangan PLN jadi lebih menarik,” katanya.

Merujuk pada paparan Kementerian BUMN, terdapat tiga kriteria dalam skema pelepasan aset PLTU batu bara untuk kemudian dialihkan ke NewCo. Pertama, umur teknologinya sudah tua sehingga PLTU tak efisien. Kedua, persentase kesiapan unit pembangkit untuk beroperasi menghasilkan tenaga listrik (availability factor) dalam lima tahun terakhir kurang dari 80 persen. Ketiga, proyeksi produksi listrik terhadap kemampuan dayanya (capacity factor) kurang dari 50 persen dalam lima tahun ke depan.

Mantan direktur PLN, Nasri Sebayang, menilai capacity factor PLTU batu bara milik PLN, khususnya di Jawa, memang merosot sejak pandemi Covid-19 melanda akibat berkurangnya beban listrik. “Perlu diingat, kita punya problem overcapacity, khususnya di sistem Jawa Bali,” ujarnya. Dalam kompetisi merit order—sistem prioritas pengoperasian pembangkit yang digunakan PLN—pembangkit milik perusahaan pelat merah ini kalah efisien dibanding PLTU swasta yang rata-rata baru dibangun.

Informasi kinerja PLN dan anak usahanya terbatas sehingga sulit meraba-raba pembangkit apa saja yang menjadi calon aset holding PLTU. Yang sudah terang, draf RUPTL 2021-2030 dan rencana PLN menyokong target net-zero emission pada 2060 menggambarkan misi memutar arah pemanfaatan pembangkit batu bara di Indonesia. 

Penghentian operasi PLTU batu bara akan dimulai bertahap pada 2030 terhadap pembangkit subcritical berkapasitas 1 gigawatt, disusul pembangkit 9 gigawatt lima tahun berikutnya. Pada 2040, program retirement mulai menjangkau PLTU supercritical dengan kapasitas 10 gigawatt. Pada tahun ini, pembangkit nuklir diproyeksikan masuk untuk menjaga keandalan sistem PLN. Dua dekade berikutnya, giliran kontrak PLTU ultra-supercritical akan disetop sehingga seluruh pembangkitan listrik di negeri ini akan ditopang energi baru dan terbarukan. Masih panjang jalan menagih ambisi ini.

KHAIRUL ANAM  
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus