Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Bencana gempa bumi dengan magnitudo 7,8 melanda Turki dan Suriah pada Selasa, 6 Februari lalu. Ribuan orang meninggal dan belasan ribu warga yang terluka akibat kejadian tersebut. Dari hasil laporan laporan Badan Survei Geologi Amerika (USGS) menyatakan bahwa pusat gempa di Turki berkekuatan 7,8 R itu berada 23 kilometer timur Nurdagi, di Provinsi Gaziantep Turki, pada kedalaman 24,1 kilometer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Geologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Wahyu Wilopo, mengatakan magnitude gempa di Turki yang cukup besar dan tingkat kedalaman pusat gempa yang dangkal menyebabkan risiko tingkat kerusakan bangunan yang begitu besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Kerusakan gempa bumi sangat dipengaruhi oleh kekuatan gempa, durasi gempa, jarak gempa (jarak horizontal dan kedalaman) dari lokasi, kondisi tanah dan batuan di lokasi termasuk ada tidaknya jalur patahan dan kekuatan bangunan yang ada,” kata Wahyu Wilopo dilansir dari laman UGM pada Rabu, 8 Februari 2023.
Di samping itu, tambah Wahyu, episentrum gempa juga berada di daerah daratan dan kejadian gempa yang besar terjadi bukan pada gempa pertama, namun pada kejadian gempa selanjutnya. “Yang terjadi pada pukul 4.17 pagi dengan magnitude yang lebih rendah, kemudian terjadi gempa lagi pada pukul 4.28 dengan magnitude 6,7 dan pada pukul 13.24 siang terjadi gempa dengan magnitude paling besar 7,8,” katanya.
Kejadian gempa yang berturut-turut dengan magnitude yang cukup besar ini menurut pengamatan dosen Fakultas Teknik ini justru akan lebih merusak dibandingkan dengan gempa yang agak besar diikuti dengan gempa-gempa kecil. “Masyarakat kita juga harus waspada terhadap gempa susulan, yang mungkin magnitudonya lebih besar dari gempa yang pertama seperti kasus yang terjadi di Turki ini atau di Lombok pada 2018,” katanya.
Ihwal banyaknya korban yang meninggal dunia tertimpa reruntuhan bangunan, Wahyu Wilopo menjelaskan secara umum bangunan di Turki sudah lebih baik secara kekuatan dibandingkan di Indonesia. Namun, dengan kejadian gempa yang cukup besar berkali-kali akan menyebabkan terjadinya keruntuhan. “Sebagian besar tipikal bangunan di Turki dibangun bertingkat bukan satu lantai, sehingga lebih rentan runtuh dan menimbulkan banyak korban,” jelasnya.
Belajar dari gempa di Turki dan Suriah, Wahyu mengatakan masyarakat harus selalu waspada terhadap kejadian gempa bumi yang ada di Indonesia. Salah satu kewaspadaan yang harus dilakukan adalah dengan membangun bangunan yang tahan terhadap gempa. Ia mencontohkan, salah satu contoh bangunan tahan gempa yang sederhana adalah RISBA yang dikembangkan oleh Teknik Sipil dan Lingkungan UGM.
Selain itu, masyarakat juga harus memiliki rencana evakuasi mandiri bila terjadi gempa dengan mengenali tempat-tempat berlindung atau jalur evakuasi untuk menuju tempat aman. Yang tidak kalah penting, melakukan pemetaan sesar-sesar aktif sebagai pemicu terjadinya gempa bumi juga perlu dilakukan lebih detail untuk menginventarisasi daerah berpotensi terjadi gempa bumi.
Sebab, pengembangan wilayah juga harus mengacu pada informasi bencana salah satunya gempa bumi, di mana harus ada rekomendasi kekuatan bangunan yang sesuai dengan ancaman gempanya.
Pilihan editor: Korban Tewas Gempa Turki-Suriah Bertambah Jadi 7.800 Orang, Bayi Baru Lahir Ditemukan Selamat
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.