Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Orang terdekat Ade Mansyur biasa memanggilnya Pak Robot. Bukan lantaran gerak patah patah tubuh Ade yang serupa dengan penari breakdance, atau karena sebagian tubuhnya yang terbuat dari besi. Suaranyalah yang membuat pria 52 tahun ini akrab dengan sebutan tersebut. Maklum, Ade biasa berkomunikasi dengan suara berdengung laiknya R2 D2, robot pendek dalam film Star Wars.
Nama Robot melekat pada Ade sejak pita suaranya diangkat lantaran kanker laring (kotak suara) beberapa tahun lalu. Ade kehilangan suara alias tak bisa bicara. ”Ini karena kebiasaan buruk sewaktu muda merokok dan minum minuman keras,” kata Ade sembari menempelkan alat sebesar genggaman tangan di lehernya, Rabu pekan lalu. Agar lancar berkomunikasi, pedagang di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, ini menggunakan alat bantu yang biasa disebut elektrolaring itu.
Elektrolaringlah yang membuat suara Ade berdengung seperti suara robot. Menurut Apriyanto, terapis wicara Departemen Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, elektrolaring merupakan salah satu cara membuat suara agar penderita tunalaring bisa berkomunikasi kembali.
Alat itu mampu menghasilkan suara dengan menempelkannya ke bagian leher, dekat kerongkongan. Dengan bantuan elektrolaring, tidak perlu ada tahap pembelajaran wicara atau operasi tambahan. ”Masalahnya, harga alat tersebut mahal dan hanya diproduksi di luar negeri, seperti Jepang dan Amerika,” kata Apriyanto.
Padahal sebagian besar dari sekitar seribu penderita tunalaring yang biasa berobat di RSCM berasal dari kalangan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Penderita tunalaring paling banyak laki laki (perbandingannya dengan perempuan 9 : 1). ”Trennya cenderung meningkat,” kata Apriyanto, yang setuju bahwa rokok dan minuman keras merupakan penyebab utama kanker pita suara. Bagi sebagian besar penderita, harga elektrolaring yang setara dengan satu motor bebek baru itu tentu memberatkan.
Masalah tersebut menjadi sumber ilham dua mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Ansorul Khalim dan Afif Zuhri. Kedua mahasiswa teknik elektro angkatan 2006 ini berinisiatif membuat elektrolaring murah dan mudah digunakan. ”Kami hanya butuh biaya Rp 1,3 juta,” kata Khalim. Elektrolaring buatan mereka menjadi salah satu juara dalam Lomba Cipta Elektronik Nasional 2010 pada pertengahan Oktober lalu.
Menurut Khalim, suara manusia normal dihasilkan oleh perpaduan antara paru paru, katup tenggorokan (epiglotis), dan pita suara serta artikulasi yang diakibatkan adanya rongga mulut dan rongga hidung. Pengangkatan laring otomatis akan mengambil perangkat suara manusia, sehingga menyebabkan orang tak dapat berbicara (bersuara). ”Pita suara adalah harta berharga bagi setiap orang, terutama penyanyi,” kata Khalim.
Khalim dan Afif butuh tiga bulan untuk merancang prototipe elektrolaring. Menurut Khalim, elektrolaring buatannya bekerja seperti pita suara manusia, yang berfungsi sebagai penghasil getaran.
Getaran dari elektrolaring akan diinterpretasikan berbeda beda, tergantung artikulasinya. Artikulasi ini dihasilkan oleh otot otot yang berkontraksi di daerah sekitar mulut. Suara yang timbul sewaktu mulut terbuka lebar berbeda dengan ketika mulut terbuka sebagian. Syarat agar elektrolaring bekerja: getaran yang dihasilkan harus dapat dirambatkan melalui otot otot yang berkontraksi. Caranya, itu tadi, menempelkan elektrolaring di leher. ”Sangat mudah,” kata Khalim.
Alat elektrolaring terdiri atas peranti keras dan lunak. Peranti keras meliputi rangkaian pengecas (charger), astable multivibrator, monostable multivibrator, amplifier. Rangkaian pengecas berfungsi mengisi baterai, dan astable multivibrator untuk menghasilkan frekuensi kontrol. Fungsi monostable multivibrator adalah menghasilkan intensitas kontrol. Sinyal dari asatable multivibrator dan monostable multivibrator akan dikuatkan oleh amplifier. Sinyal lalu masuk ke unit kontrol vibrator untuk menghasilkan getaran yang diinginkan. Getaran inilah yang akan dirambatkan melalui otot di sekitar tenggorokan. ”Adapun perancangan peranti lunak digunakan dalam unit kontrol vibrator,” kata Khalim.
Dosen sekaligus perintis teknologi elektrolaring ITS, Tri Arif Sardjono, mengatakan alat bantu bicara buatan kedua mahasiswanya itu sudah bisa digunakan dengan baik. ”Tapi suara yang dihasilkan datar seperti robot, belum bisa mengekspresikan emosi seseorang,” kata doktor lulusan Universitas Groningen, Belanda, ini.
Rudy Prasetyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo