Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua hal menyita perhatian Abas Alibasyah dalam perjalanan hidupnya yang sudah 84 tahun kini, dalam penjelajahannya ke sudut sudut seluruh Nusantara.
Mata pelukis ini mudah ”melekat” pada ragam hias atau corak hiasan pada berbagai benda ”milik” berbagai suku. Dari hiasan pada celengan gerabah, pada topeng, pada ornamen benda benda upacara di Bali, sampai susunan warna pada kain di Indonesia timur, ornamen pada batik. Juga pada benda yang pembawa ornamen itu, umpamanya totem.
Perhatian kedua, pada panorama alam dan panorama kehidupan. Gunung dan bukit, batu batu, sungai, laut. Lalu kampung nelayan, rumah di pinggir pantai. Tapi juga kehidupan yang segera ditinggalkan, misalnya kawasan yang sedang digusur, kawasan yang mungkin tak lama lagi hilang digantikan yang baru, atau juga kawasan yang segera lenyap karena bencana.
Seperti juga pada lukisan lukisan Abas yang bercorak dekoratif, yang menggunakan ragam hias sebagai unsur utama kanvasnya, demikian juga panoramanya: di sini tanda atau asal usul ragam hias dan panorama itu bukan hal yang disampaikannya pada karyanya.
Mungkin, pelukis ini sendiri menengarai asal usul berbagai bentuk hiasan di kanvasnya. Juga, di mana letak bukit, sungai, pantai, pembongkaran rumah yang ia lukiskan.
Tapi bukan itu yang utama pada kanvas Abas. Seperti bisa dilihat dalam pameran besarnya kali ini, di Galeri Nasional Indonesia, sampai pertengahan November ini. Pameran yang menyuguhkan karya tahun 1960 an sampai 2010. Yang ia sampaikan ialah empati pada ragam hias, empati pada suatu suasana, yang akhirnya, empati pada hidup.
Empati, lebih daripada simpati, karena yang pertama itu seperti menghilangkan jarak antara kita dan obyek. Maka, penjelajahan Abas sebagai seniman adalah pengembaraan mencari dan menemukan corak ragam hias yang menyentuh kalbunya, suasana sepi kampung nelayan yang tiba tiba melingkupinya dan seolah ia adalah bagian dari sepi itu.
Dalam bahasa Abas sendiri, itulah ”sentuhan kecintaan” (Gema Waktu Lukisan lukisan Abas, Agus Dermawan T., ASPI 2010, halaman 33).
Empati atau ”sentuhan cinta” itulah yang membentuk karya Abas dari corak yang mana pun. Di ruang pameran, sengaja atau tidak, sebuah karya bertarikh 1966, Abstraksi Topeng Primitif, merupakan karya yang total.
Pada satu karya ini ragam hias itu membentuk atau diwadahi dalam tiga wajah yang disusun meninggi (vertikal). Seluruh goresan rasanya digerakkan oleh gereget (lebih dari sekadar emosi), yang tentulah dicapai setelah berkali kali ”mencoba” sampai ditemukan komposisi yang pas.
Lihat karya Abas, kecuali yang bermedium batik, yang merupakan tumpukan tebal cat. Goresan menumpuk pada sapuan bidang, sapuan bidang merah menumpuk pada sapuan biru, misalnya. Dan di sana sini, warna itu pun bercampur.
Maka lukisan dekoratif Abas berbeda benar dengan, misalnya, karya Suparto dan Batara Lubis, atau generasi di bawah mereka, Irsam, Mulyadi W., dan Arief Sudarsono.
Corak dekoratif, menurut kurator pameran ini, Rifky Effendy, adalah corak ”menyusun berbagai elemen rupa”. Beberapa lukisan Abas terkesan demikian, menyusun garis, warna, bentuk dengan ”pedoman” ragam hias menjadi sebuah lukisan. Itu mungkin sebuah topeng, boneka, atau panorama berbagai bentuk ragam hias.
Namun ada kecenderungan Abas yang kuat terasa bahwa menyusun dalam lukisan Abas dilandasi dan didorong oleh emosi yang lepas. Pada karya Suparto atau Mulyadi W., misalnya, susunan elemen rupa terasa diciptakan dengan emosi yang terkendali.
Ini sangat terasa pada karya yang sudah disebutkan, Abstraksi Totem Primitif. Juga pada Aura Patung Kuno (1961), Menyapa Waktu (1965).
Dan sesungguhnya jejak emosi yang lepas itu tetap ada pada karya Abas yang lebih ”rapi”. Ini antara lain terasa dari bentuk yang ”bebas”, tak mencerminkan bentuk ragam hias.
Sekadar contoh, Ibunda yang Berbahagia (2000) dan Wajah Pancasakti (1990). Pada kedua lukisan ini latar belakang adalah bidang bebas tak berbentuk, lebih menyiratkan luapan emosi daripada ketekunan menyusun komposisi.
Kalau boleh membandingkan, Abas dan ragam hias bertolak belakang dengan Roy Lichtenstein dan lukisan ekspresionisme abstrak.
Lichtenstein ”mendekoratifkan” sapuan spontan pada karya ekspresionisme abstrak. Sapuan yang meleleh, misalnya, pada karya Lichtenstein bukan lelehan yang natural, melainkan dibuat dengan semangat, itu tadi, ”menyusun elemen rupa”.
Abas, sebaliknya, menyerap bentuk bentuk ragam hias, kemudian melontarkan bentuk itu pada kanvas didorong oleh emosi. Dalam hal Abas, apakah bentuk itu persis seperti ragam hias yang hendak diekspresikannya atau tidak tidaklah relevan. Yang penting, bentuk itu terkesan seperti ragam hiasan yang ”ditiru” nya.
Itu sebabnya, menurut saya, dengan mudah dan enak Abas bisa ”ganti lajur”, menghadirkan lukisan lukisan panorama yang impresif. Dari sisi bentuk, antara lukisan dekoratif dan panorama Abas tak ada kaitannya. Seolah dua corak karya itu diciptakan oleh dua pelukis, bukan satu.
Namun beberapa menunjukkan antara yang dekoratif dan lukisan panorama memberikan rasa goresan yang mirip. Lihat, misalnya, Pemandangan Kota (1960) yang dekoratif dan lukisan panorama Lautan Kesepian (1997). Atau susunan boneka kayu pada Parade Menong (1992) dan susunan tembok bangunan di kiri depan Senen Lama Pasca Pembongkaran (1990). Juga, goresan mendatar pada gundukan tanah di Tanah Lot I (1991) ”muncul” di beberapa karya dekoratif, antara lain Topeng Tersenyum (1986) dan Dansa Berdua (1995).
Abas tampaknya ingin mencatat, berbagai corak ragam hias kita yang sayang bila dilupakan—pada karya dekoratifnya. Dan mencatat, pada suatu ketika kita memiliki suasana kampung pantai, atau warung di sudut perempatan atau pertokoan yang tergusur oleh perubahan, seperti pada Perkampungan Nelayan (2006), Dialog di Pinggiran Jalan (1997), dan Telah Ditinggalkan (1989).
Bisa kita katakan, ketika itu—disadari atau tidak—pelukis yang juga dosen dan pejabat kebudayaan ini seperti melihat jauh ke depan berhadapan dengan yang akan hilang. Telah Ditinggalkan, misalnya, adalah lukisan suasana daerah Segitiga Senen, Jakarta, akhir 1989, ketika pertokoan lama tinggal rumah ”hantu”.
Kawasan ini siap dibuldoser untuk kemudian didirikan pertokoan baru: Atrium Senen, sekarang. Melihat lukisan ini sekarang, 20 tahun kemudian, ada nostalgia di situ.
Sangat mungkin, ini sangat subyektif. Namun suasana nglangut di situ, kita mengenal Senen lama atau tidak, tetaplah nglangut—sebuah kenangan tentang yang hilang, tentang Senen atau yang lain.
Di sisi ini, sesungguhnya Abas Alibasyah masih meneruskan ”jiwa tampak” Sudjojono. Pelukis yang berjasa meningkatkan Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogya, menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Asri Yogya (kini Departemen Seni Rupa dan Desain ISI Yogya) itu bertahan pada rasa.
Abas tak tertarik untuk melangkah lebih jauh. Misalnya, mensurvei berbagai ragam hias dan menciptakan yang baru. Meriset ihwal Segitiga Senen, kemudian merespons tentang penggusuran dan pembangunannya.
Ia merasa cukup mencatat—ragam hias dan suasana suatu panorama—dalam bentuk karya seni. Dan ini dilakukan dengan maksimal: keterampilannya menyusun elemen seni rupa dan menghadirkan suasana.
Soalnya, bagi Abas, tak ada ”seni baru” atau ”seni lama”. Baginya adalah ”seni bermutu” atau ”seni tak bermutu”. Meski, adakalanya, ”yang baru” dan ”bermutu” berkaitan. Pada perjalanan Abas sendiri itu terjadi.
Pada 1970, ketika pro dan kontra seni lukis batik ramai, Abas terjun ke medium batik dan, menurut saya, ia menyuguhkan karya karya yang semutu dengan lukisan cat minyak atau akrilik. Gereget yang terasa karena tekstur cat yang tebal ia terjemahkan pada batik dengan bentuk berliku, garis yang bergoyang, dan repetisi garis dan bentuk.
Sesudah itu, Abas setia menyusuri keyakinan tentang seni ”lama” dan ”baru” itu tadi. Dan itulah miliknya, yang ia pelihara dengan sungguh sungguh dan dengan keterampilan yang terasah. Meski ia pun menyadari ada perkembangan lain di luar dirinya. Ia pernah berterus terang, di hadapan sejumlah mahasiswa ASRI, bahwa Fadjar Sidik sudah melangkah jauh, ia harus mengakui itu. Ini dikatakannya ketika Fadjar meninggalkan figuratif, menciptakan bentuk bentuk fantasi yang unik.
Karena itu, mengherankan bahwa pada 1974, sebagai Ketua STSR Asri, Abas memecat beberapa mahasiswa yang memprotes keputusan dewan juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia. Apa kata Abas kini, 36 tahun kemudian?
Ia setuju pemberontakan dalam kesenian, karena dengan itu kreativitas akan jalan terus. Ia hanya tak menyukai cara mereka melancarkan protes.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo