Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kijang Innova itu berhenti di pinggir sawah di wilayah Lamongan, Jawa Timur. Penumpangnya turun dan melihat lihat jagung canthel yang ditanam di pematang. Seorang petani terheran heran menyaksikan orang kota bersepatu rapi itu melihat lihat tanaman yang juga disebut sorgum tersebut. Tanaman ini sudah tidak seterkenal pada awal 1970, saat digadang gadang bisa menutupi kebutuhan pangan Indonesia.
Si petani pun tak bisa menutupi keheranannya. ”Untuk apa, Pak (melihat lihat jagung canthel itu)?” tanyanya.
”Untuk penelitian, Pak, untuk etanol,” jawab penumpang Kijang Innova yang datang hanya ditemani sopirnya itu.
Si penumpang, Soeprijanto, memang peneliti pembuatan etanol. Inilah zat yang bisa berfungsi sebagai pengganti atau campuran bensin, bahan bakar mobil seperti Bio Premium keluaran Pertamina. Penelitian doktor di Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya itu, terutama soal pembuatan etanol dari serat tanaman, mulai jagung canthel sampai serat di jerami padi, bahkan mengantarkannya menjadi profesor sejak beberapa pekan lalu.
Petani yang melihat Soeprijanto menyusuri daerah Lamongan mencari cari jagung canthel beberapa bulan lalu itu bertambah heran. Saat ini tinggal segelintir orang yang menanam sorgum. Hasilnya pun tidak lagi diharapkan menjadi makanan pokok, tapi sekadar untuk camilan, atau malah ”turun pangkat” menjadi pakan ternak. Tidak terbayang jagung canthel bisa menjadi bensin dan menggerakkan sepeda motor atau mobil.
Bukan hanya petani itu yang terheran heran mendengar bahwa jagung canthel punya harapan bagus menjadi bahan etanol. Soeprijanto mulai menggeluti tanaman jagung canthel sekitar tiga tahun lalu. Awalnya dia diminta membantu Dinas Perdagangan Ngawi, kabupaten di Jawa Timur, yang mendengar potensi jagung canthel sebagai bahan etanol.
Di Indonesia, yang biasa dijadikan etanol terbatas hanya singkong dan tetes tebu. Jagung biasa bukan canthel sebenarnya bisa juga dibuat menjadi bahan etanol, tapi tidak dijalankan karena masih menjadi makanan pokok di beberapa daerah.
Soeprijanto tidak asing dengan jagung canthel. ”Saat saya kecil, saya biasa makan ini,” katanya sambil tertawa. Tapi mencari sorgum di masa ia kecil ternyata berbeda dengan setelah ia puluhan tahun mengajar di kampus di Surabaya itu. Ia mencari ke sana sini dan baru menemukannya di Wonogiri, dekat Ngawi, dan kemudian Lamongan.
Jagung canthel itu kemudian ia boyong ke laboratoriumnya di ITS. Proses pembuatan etanol dari biji jagung canthel tidak berbeda dengan proses dari bahan bahan berkandungan pati lainnya, seperti jagung atau singkong. Setelah menjadi pati, sorgum akan diubah menjadi zat semacam gula. Zat ini difermentasi dan disuling untuk menghasilkan etanol.
Tapi sorgum memiliki kelebihan lain. Etanol tidak hanya bisa ”dipanen” dari pati yang diambil dari bijinya, tapi juga dari batangnya. ”Proses (pembuatan etanol dari batang sorgum) jauh lebih sederhana,” kata Soeprijanto. Proses pembuatan etanol dari batang sorgum persis seperti pembuatan dari batang tebu: tinggal diperas untuk menghasilkan nira. Nira ini lalu difermentasi dan disuling untuk menghasilkan etanol.
Kalau masih belum cukup, ampas hasil perasan batang jagung canthel masih bisa dijadikan etanol juga. Tapi proses model ketiga ini—yang juga bisa diterapkan untuk limbah pertanian lain, seperti jerami memiliki persoalan ekonomi. Proses pengolahan serat menjadi etanol membutuhkan enzim impor yang sekarang harganya masih mahal. ”Jika sudah ada enzim yang dibuat sendiri, mungkin lebih murah,” kata Soeprijanto.
Selama belum ada enzim yang murah, mungkin ampas itu digunakan sebagai bahan bakar seperti kayu, dibakar begitu saja untuk mendidihkan ketel mesin uap dan, mungkin, bisa menghasilkan listrik. Prinsipnya seperti pabrik gula atau pabrik etanol di Brasil, yakni ampasnya dibakar untuk memanaskan ketel mesin uap.
Sorgum memiliki beberapa kelebihan dibanding bahan baku lain. Ia tidak seperti jagung, misalnya, yang kegunaannya masih berebut dengan kebutuhan manusia akan pangan karena di banyak tempat jagung masih menjadi makanan pokok. Sorgum juga bisa dimanfaatkan semua bagiannya, tidak seperti singkong yang menyisakan batangnya. ”Singkong memiliki masalah limbah,” kata Soeprijanto.
Secara terpisah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sebenarnya juga sudah mulai meneliti jagung canthel, terutama unit Balai Besar Teknologi Pati di Lampung. Kepala Balai Agus Eko Cahyono menyebut kelebihan lain jagung canthel: bisa hidup dengan baik di daerah kering. ”Kebutuhan air hanya separuh tebu,” kata Agus.
Saat ini harga biji sorgum di pasar Lamongan atau Wonogiri, menurut Soeprijanto, ”Satu kilogram Rp 3.000.” Sorgum satu kilogram itu, berdasarkan penelitian Soeprijanto, bisa menghasilkan sekitar 0,4 kilogram etanol. Dengan kata lain, satu liter etanol membutuhkan sekitar dua kilogram biji jagung canthel. Harganya kira kira sama dengan harga bensin Premium jika tidak disubsidi.
Nur Khoiri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo